Mubadalah.id – Rasidi (bukan nama sebenarnya), adalah guru sekolah swasta di sebuah desa di Jawa Barat. Setiap hari kecuali hari libur, ia harus berjalan jauh dan menyeberangi sungai menaiki perahu agar bisa sampai ke tujuan. Ia terpaksa melakukannya sebab akses ke jembatan penyeberangan lokasinya sangat tidak manusiawi. Di sisi lain ia tak punya kendaraan. Mau nggak mau, jalan kaki 10 km dan naik perahu di atas sungai yang aliran airnya kadang deras, harus ia lalui.
Rasidi terkenal sebagai guru tangguh dan pantang menyerah. Baginya, lokasi yang jauh bukan alasan untuk mengeluarkan kata-kata pesimisme dan keluh kesah. Meski demikian, imbalan yang ia terima tidak sebanding dengan cucuran keringat yang ia keluarkan.
Rasidi yang masih berstatus guru honorer, hanya menerima gaji 200 Ribu per bulan. Nominal yang tentu saja sangat tidak menjunjung nilai-nilai kemanusiaan. Namun hanya itu yang bisa Rasidi lakukan. Ia cuma berharap negara hadir di pelosok-pelosok desa, untuk melihat realita ekonomi guru.
Rasidi hanya satu dari sekian banyak guru honorer yang kesejahteraannya masih luput dari perhatian negara. Teman saya, sebut saja namanya Ana, pernah bercerita kalau ia hanya mendapatkan uang 400 ribu sebulan dari sekolah dasar tempat ia mengajar. Sementara, teman saya yang lain, Ula begitu ia saya sapa, cuma menerima gaji 500 ribu per bulan.
Bayangkan, dengan gaji segitu, apa yang bisa mereka perbuat? Pekerja yang gajinya UMR saja seringkali merasa kekurangan jika harus menghidupi satu istri dan dua anaknya. Apalagi yang cuma diberi upah di angka ratusan ribu. Jangankan untuk nongkrong bersama teman di kafe sambil selfa-selfi, untuk jajan bakso yang harganya 10 ribuan saja harus mikir-mikir.
Sudahkah Guru Sejahtera?
Isu kesejahteraan bagi guru, khususnya honorer, seringkali masih jadi perbincangan hangat di setiap saat. Tak terkecuali pada momen Hari Guru Nasional yang jatuh pada 25 November kemarin. Hari Guru merupakan momen penting yang kita peringati setiap tahun untuk menghargai jasa dan peran guru dalam membentuk kualitas generasi bangsa.
Jasa guru perlu kita hargai tidak hanya oleh murid dan wali siswa saja, namun negara juga perlu hadir memberi apresiasi yang lebih pada guru, melalui kebijakan-kebijakan yang lebih adil dan menjunjung tinggi aspek kemanusiaan.
Negara sering berlindung di balik kata “ikhlas”-nya seorang guru. Kata “ikhlas” seharusnya tidak digunakan sebagai dalih oleh lembaga pendidikan dan atau negara untuk tidak memenuhi hak-hak ekonomi guru. Jika memberikan gaji yang istimewa kepada anggota DPR saja bisa, negara seharusnya juga bisa memperlakukan hal yang sama kepada guru, baik honorer maupun PNS.
Selain gaji honorer yang sangat rendah. Gaji guru PNS, termasuk tunjangan, juga masih berkisar di angka 4-6 jutaan. Bandingkan dengan pendapatan anggota DPR. Total gaji dan tunjangan anggota DPR RI saat ini, menurut laporan dari CNN, sekitar Rp 65,59 juta per bulan. Itu belum termasuk lain-lain, seperti dana reses, dan dana kunjungan kerja.
Kesenjangan itu Nyata
Ada kesenjangan yang sangat mencolok antara pendapatan guru dan DPR RI. Sebuah artikel di kompas.com bahkan menuliskan “APBN untuk gaji sebulan DPR setara gaji 266.800 guru honorer”. Kesenjangan pendapatan yang sangat besar antara guru honorer dan anggota DPR RI menunjukkan ketidakseimbangan yang bertentangan dengan nilai keadilan sosial.
Kita sepakat, guru adalah salah satu elemen penting pembangunan bangsa, ia tidak hanya transfer knowledge, tapi juga berperan penting sebagai pendidik, pemberi motivasi dan pembimbing siswa agar menjadi lebih baik, sehingga sudah seharusnya mereka mendapatkan penghargaan dan kesejahteraan yang layak.
Dalam konteks pancasila sila ke-5, negara harus memastikan distribusi sumber daya dan penghasilan yang adil, guna memperkecil kesenjangan sosial dan memberi kesempatan yang setara bagi seluruh warga, termasuk para guru honorer.
Keadilan Sosial bagi Guru
Dari perspektif ekonomi guru, kesejahteraan tidak sekadar soal gaji atau penghasilan semata, melainkan mencakup berbagai aspek yang menunjang kualitas hidup dan profesionalisme guru. Ketidakmampuan institusi pendidikan memenuhi kebutuhan dasar dan penghargaan materi yang layak bisa berdampak pada motivasi dan kualitas pengajaran. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan penting: Apakah distribusi kesejahteraan bagi guru sudah adil?
Teori keadilan dalam perspektif Imam Al-Mawardi misalnya, memberikan kerangka yang menarik untuk membahas isu ini. Al-Mawardi, seorang ulama dan pemikir sosial Islam abad ke-11, menekankan pentingnya keadilan distributif dalam masyarakat agar setiap individu menerima haknya sesuai dengan perannya dan kontribusinya. Dalam konteks guru, teori ini menuntut adanya pemerataan kesejahteraan yang seimbang, dimana guru harus mendapatkan penghargaan ekonomi sesuai posisi strategisnya sebagai pendidik dan pembentuk generasi.
Menurut Al-Mawardi, keadilan sosial menuntut agar para penyelenggara negara memperhatikan kebutuhan dasar para guru agar mereka mampu menjalankan tugas dengan optimal. Pembayaran gaji yang layak, jaminan sosial, dan fasilitas pendukung merupakan bentuk keadilan yang harus dipenuhi sebagai pengakuan atas peran guru dalam pembangunan masyarakat. Tidak hanya soal besaran nominal, tetapi bagaimana struktur ekonomi yang adil bisa melindungi hak guru dan menjadikan profesi guru berkelas dan bermartabat.
Pemikiran Al Mawardi sejalan dengan pandangan Immanuel Kant, seorang filsuf asal Jerman yang hidup pada abad ke-18. Kant (1785) juga memberikan kontribusi penting dengan menegaskan bahwa keadilan harus berbasis pada penghormatan terhadap martabat dan hak asasi setiap individu. Negara bertanggung jawab menjamin bahwa setiap warga negara diperlakukan sebagai tujuan akhir, bukan sekadar alat, sehingga keadilan sosial tercapai melalui kebijakan yang menghormati kebebasan dan kesetaraan.
Kesejahteraan Naik, Kualitas Meningkat
Kesejahteraan guru yang baik juga akan mendorong kinerja mereka, menghasilkan generasi yang lebih cerdas, kreatif, dan siap menghadapi tantangan zaman di era disrupsi yang penuh ketidakpastian. Sehingga, upaya pemerintah maupun masyarakat memperbaiki kondisi ekonomi guru bukan hanya investasi bagi guru sendiri, tapi juga untuk kemajuan bangsa secara keseluruhan.
Selain menghidupi anak-anaknya sendiri, guru juga harus mengatur keuangan untuk belanja kebutuhan dapur agar urat nadi kehidupan tetap berdenyut, hingga menyiapkan kebutuhan keluarga lainnya. Bayar tagihan listrik, wifi, dan air. Tekanan finansial ini sering kali membuat mereka harus pintar-pintar mengelola setiap rupiah agar tetap bisa memberikan pendidikan terbaik sekaligus menjaga kesejahteraan keluarganya.
Selain tugas mengajar, guru juga menghadapi tantangan besar dalam kehidupan personal, seperti biaya persalinan jika ia seorang perempuan dan kebutuhan medis yang kadang tidak terduga.
Mengandalkan gaji yang terbatas, banyak guru harus mencari cara tambahan agar tetap bisa menghirup udara segar. Mulai dari pekerjaan sampingan hingga mengurangi kebutuhan sendiri. Asal tidak melanggar norma agama, apapun guru lakukan, seperti menjadi konten kreator, menjoki tugas kuliah, hingga jadi driver ojek online.
Kondisi semacam itu menunjukkan betapa pentingnya perhatian lebih dari pemerintah dan masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan guru. Karena di balik gaji yang minim, guru tetap berjuang keras agar anak-anak bangsa dapat tumbuh dan belajar dengan baik tanpa khawatir akan kebutuhan dasarnya.
Sekali lagi, di momen hari guru inilah, negara perlu hadir: menengok dan mendengarkan suara guru di pelosok-pelosok desa. Memperhatikan kesejahteraan guru dengan lebih adil. MBG memang penting, tapi guru, sebagai penyuplai ilmu bagi siswa-siswi di sekolah, jauh lebih mendesak untuk diperhatikan kehidupannya. []












































