Mubadalah.id – Hutan-hutan terpencil di Indonesia, mulai dari Pegunungan Jayawijaya hingga Dataran Tinggi Bukit Barisan, menyimpan banyak sekali cara dalam melestarikan alam yang jauh lebih tua, lebih dalam, dan seringkali lebih efektif yaitu melalui kosmologi, ritual, dan kepemimpinan yang dijalankan oleh perempuan adat.
Di sebagian besar masyarakat adat Indonesia, perempuan bukan hanya bagian dari komunitas, mereka adalah penjaga hubungan antara manusia dan alam semesta.
Kosmologi para perempuan adat dalam melihat bumi, langit, dan manusia menjadi sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Karena hutan bukan sekadar tempat tumbuh pohon dan hewan. Tapi rumah para leluhur, tempat ritual, dan sumber kehidupan yang harus dihormati.
Dan perempuan adalah yang memelihara hubungan itu melalui ritual, tradisi, dan pengetahuan yang diwarisi dari nenek moyang.
Di Pulau Sumba, perempuan masyarakat adat Marapu memegang peran sentral dalam merawat hutan yang disebut umbu atau hutan nenek moyang. Setiap pohon di dalamnya memiliki makna khusus, dan tak seorang pun boleh menebangnya tanpa persetujuan perempuan yang memimpin ritual.
Mereka memimpin upacara untuk memohon izin kepada leluhur sebelum memetik buah, menangkap ikan, atau membuka lahan untuk bertani. Hasilnya hutan keramat Sumba tetap utuh meskipun di sekitarnya lahan telah banyak berubah menjadi perkebunan.
Di Papua, perempuan masyarakat adat Asmat memelihara sungai yang menjadi sumber air minum dan tempat ritual penentuan status sosial. Mereka tahu bahwa setiap kali sungai tercemar atau aliran air terganggu, itu adalah tanda bahwa hubungan antara manusia dan alam telah terputus.
Oleh karena itu, mereka selalu memastikan bahwa tidak ada limbah yang masyarakat buang ke sungai, dan hanya menangkap ikan sesuai kebutuhan.
Data dari Lembaga Penelitian Masyarakat Adat menunjukkan bahwa sungai keramat Asmat memiliki kualitas air yang jauh lebih baik daripada sungai yang dikelola oleh proyek konservasi modern di kawasan yang sama, yang seringkali gagal mengontrol pencemaran dari aktivitas manusia.
Ritual sebagai Alat Konservasi
Ritual yang dijalankan oleh perempuan adat bukan sekadar bentuk kepercayaan semata, tapi alat konservasi yang efektif. Setiap ritual memiliki aturan yang ketat yang mengatur bagaimana manusia berinteraksi dengan alam.
Hal ini bukan aturan yang dibuat oleh pemerintah atau ahli, tapi aturan yang diberikan oleh leluhur, yang dipercaya akan melindungi komunitas jika dipatuhi.
Di Kalimantan Selatan, perempuan masyarakat adat Banjar memimpin ritual nyadran setiap tahun di hutan keramat tahura.
Upacara ini bertujuan untuk memohon kesehatan dan kemakmuran bagi masyarakat. Tetapi juga memiliki aturan yang jelas yaitu selama 7 hari sebelum dan sesudah ritual, tidak boleh ada penebangan pohon, penangkapan hewan liar, atau pembukaan lahan.
Hasilnya, hutan tahura Banjar tetap utuh dan menjadi rumah bagi hewan langka seperti orang utan dan harimau. Sementara proyek konservasi modern di Kalimantan Timur yang menggunakan metode pembekuan lahan gagal karena masyarakat lokal merasa terpinggirkan. Sedangkan dengan ritual nyadran Banjar berhasil karena melibatkan seluruh komunitas dan berakar pada kepercayaan mereka.
Di Sulawesi Tenggara, perempuan masyarakat adat Tolaki memimpin ritual pangale sebelum memulai musim tanam. Dalam upacara ini, mereka memohon izin kepada roh tanah untuk menggunakan lahan, dan membuat janji bahwa hanya akan menanam tanaman yang sesuai dengan musim dan tidak akan membakar hutan.
Sehingga ritual pangale Tolaki berhasil mengatur penggunaan lahan secara berkelanjutan selama ribuan tahun.
Peran Penting Perempuan Adat
Kepemimpinan perempuan adat dalam konservasi yang berbasis kosmologi adalah sesuatu yang tak tergantikan. Mereka tidak hanya memahami pengetahuan lokal tentang alam. Tapi juga memiliki otoritas untuk menegakkan aturan dari para leluhurnya.
Di sebagian masyarakat adat, keputusan tentang pengelolaan sumber daya alam tidak dapat masyarakat ambil tanpa persetujuan perempuan yang memimpin ritual.
Di Maluku Utara, perempuan masyarakat adat Banda memimpin pengelolaan pulau keramat yang menjadi tempat tumbuh lada liar, komoditas yang pernah membuat Banda terkenal di dunia.
Mereka menentukan kapan dan berapa banyak lada yang boleh dipetik, dan memastikan bahwa sebagian dari hasil panen digunakan untuk memelihara pulau dan membantu anggota komunitas yang membutuhkan.
Ini mencegah penebangan pohon lada secara berlebihan dan menjaga keberlanjutan sumber daya. Sedangkan proyek perkebunan lada skala besar di pulau tetangga gagal karena menimbulkan kerusakan lingkungan, pulau keramat Banda tetap menghasilkan lada dengan kualitas tinggi selama berabad-abad.
Di Nusa Tenggara Timur, perempuan masyarakat adat Rote memelihara hutan burung yang menjadi tempat bertelur burung langka. Mereka memimpin ritual setiap tahun untuk memohon perlindungan bagi burung, dan melarang orang untuk membunuh burung atau mencuri telurnya.
Hasilnya, populasi burung di hutan tersebut tetap stabil. Sedangkan di daerah lain burung tersebut semakin langka karena perburuan dan kerusakan habitat.
Oleh karena itu, untuk membuat konservasi agar berhasil, kita harus menghormati hak dan pengetahuan masyarakat adat, terutama perempuan.
Bahkan, ahli konservasi modern harus belajar dari pengetahuan lokal dan bekerja sama dengan perempuan adat dalam merancang dan melaksanakan proyek konservasi. Dan masyarakat luas harus mendorong perjuangan perempuan adat yang berjuang melestarikan bumi dan budaya mereka. []












































