Mubadalah.id- Salah satu isu global yang mendesak saat ini adalah lingkungan. Lingkungan di era antroposen membutuhkan perhatian lebih. Degradasi lingkungan, perubahan iklim, sampai kerusakan eksosistem menjadi tantangan serius bagi umat manusia. Kenapa hal ini menjadi sangat penting? Karena dampak yang ditimbulkan sangat besar. mulai dari aspek fisik dan ekonomi, hingga keseimbangan ekologis yang menjadi fondasi kehidupan di bumi.
Berbagai pendekatan teknis dan kebijakan pemerintah seringkali kurang memadai. Hal ini tentu karena tidak sampai menyentuh kepaada akar permasalahannya, yaitu perilaku manusia terhadap alam. Bagaimana kiranya bisa mengubah perilaku yang tidak beretika? Di sinilah dimensi spiritual dan religius memainkan peran penting.
Dalam mengatasi permasalahan ekologis, agama sangat penting terlibat. Agama, sebagai sistem nilai yang mempengaruhi cara pandang dan perilaku manusia, dapat memberikan landasan etis dan spiritual untuk membentuk etika lingkungan yang berkelanjutan. Islam, agama yang komprehensif, menawarkan sejumlah prinsip dan ajaran yang berkaitan dengan lingkungan, yang dikenal sebagai ekoteologi Islam.
Krisis lingkungan pada aslinya adalah krisis spiritual yang berakar pada hilangnya pandangan sakral terhadap alam. Kehilangan cara pandang manusia terhadap alam, penyebabnya karena keserakahan manusia itu sendiri.
Kalau sifat keserakahan itu tidak kita imbangi, atau kita bentengi dengan iman, maka alam yang menjadi sasarannya. Padahal Islam memandang alam semesta sebagai manifestasi dari lingkungan Allah, dan manusia sebagai khalifah yang bertanggung jawab untuk menjaga kelestariannya.
Konsep Tauhid
Al-Qur’an dan hadis, banyak mengandung prinsip baik secara eksplisit maupun implisit yang mengatur hubungan manusia dan lingkungan. Misalnya konsep tauhid yang menjadi landasan ekoteologi Islam. Konsep ini menegaskan bahwa seluruh alam semesta adalah ciptaan Allah yang tunduk pada ketetapan-Nya.
Kalau manusia menyadari konsep ini, maka dia tidak akan merasa berhak secara mutlak untuk mengeksploitasi alam secara membabi tuli, dan buta. Artinya, ekotelogi Islam, tauhid mengajarkan keterpaduan antara manusia dan alam dalam satu kesatuan ciptaan.
Pandangan atau konsep semacam ini membangun kesadaran bahwa segala bentuk tindakan yang dapat merusak lingkungan, pada hakikatnya bentuk pengingkaran terhadap amanah dari Allah. Al-Qur’an menegaskan hal ini dalam surah Al-Anbiya:
أَوَلَمْ يَرَ ٱلَّذِينَ كَفَرُوٓا۟ أَنَّ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضَ كَانَتَا رَتْقًا فَفَتَقْنَٰهُمَا ۖ وَجَعَلْنَا مِنَ ٱلْمَآءِ كُلَّ شَىْءٍ حَىٍّ ۖ أَفَلَا يُؤْمِنُونَ
“Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?” (QS. Al-Anbiya [21]: 30).
Dalam konsep tauhid, alam semesta dipandang sebagai teofani, yaitu manifestasi dari nama-nama dan sifat-sifat Allah. Pandangan ini menegaskan bahwa setiap elemen di alam, mulai dari langir, bumi, dan makhluk lainnya, sebagai cerminan kebesaran dan keagungan-Nya. Dengan demikian, konsep kesatuan penciptaan dalam tauhid mendorong manusia untuk melihat alam sebagai sesuatu yang bernilai pada dirinya sendiri, bukan sebagai objek eksploitasi.
Islam Mendorong Perilaku yang Bertanggungjawab terhadap Alam
Sebagai khalifah, manusia tidak hanya diberi wewenang untuk memanfaatkan sumber daya alam, tetapi juga memiliki kewajiban moral dan spiritual untuk melestarikannya. Amanah ini menuntut sikap bijaksana dalam mengelola lingkungan, memastikan bahwa penggunaannya tidak merusak ekosistem, serta menjaga keberlanjutannya bagi generasi mendatang.
Islam mendorong perilaku yang bertanggungjawab terhadap alam, seperti penggunaan sumber daya secara berkelanjutan, konservasi lingkungan, serta sikap hormat terhadap seluruh makhluk ciptaan-Nya. Alquran menyatakan dalam surah Al-Baqarah:
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَٰٓئِكَةِ إِنِّى جَاعِلٌ فِى ٱلْأَرْضِ خَلِيفَةً ۖ قَالُوٓا۟ أَتَجْعَلُ فِيهَا مَن يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ ٱلدِّمَآءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ ۖ قَالَ إِنِّىٓ أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ
“(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”. (QS. Al-Baqarah [2]: 30).
Peran Manusia sebagai Khalifah
Ayat ini memberikan landasan teologis dan moral bagi etika lingkungan dalam Islam. Manusia harus membangun hubungan harmonis dengan alam sebagai bagian dari amanah ilahi. Dan manusia perlu tahu dan menyadari bahw merusak lingkungan alam adalah perbuatan yang dibenci oleh Allah. Dalam kitabnya Ibn Katsir mengatakan:
وقد علمت الملائكة من علم الله أنه لا شيء أكره إلى الله من سفك الدماء والفساد في الأرض
“Malaikat mengetahui, berdasarkan ilmu yang Allah berikan kepada mereka, bahwa tidak ada sesuatu yang lebih dibenci Allah daripada penumpahan darah dan kerusakan di bumi”. Ibn Kathīr, Tafsīr Ibn Kathīr, ed. al-Salāmah (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, n.d.), 220.
Dalam tafsirnya, Ibn Katsir juga menjelaskan bahwa konsep khalifah mengandung makna pengelolaan yang adil dan seimbang terhadap semua makhluk Allah. Sebagai khalifah, manusia dituntut untuk bertindak dengan kebijaksanaan dan keadilan dalam mengelola sumber daya alam. Memastikan bahwa keseimbangan ekosistem tetap terjaga dan tidak terjadi eksploitasi yang merusak.
Melalui kesadaran ini, manusia dapat menjalankan perannya sebagai khalifah dengan lebih baik, memastikan bahwa bumi tetap menjadi tempat yang layak huni bagi semua makhluk dan generasi yang akan datang. []










































