Mubadalah.id – Menjelang akhir tahun 2025 ini saya menambah pengalaman dan pengetahuan mengenai pemikiran ulama perempuan dengan ikut serta kegiatan Dialog Publik dalam rangkaian Halaqah Kubra KUPI. Ini merupakan pengalaman pertama saya bertemu tokoh-tokoh penggagas pemikiran KUPI.
Sejak memasuki area kampus UIN Sunan Kalijaga, sebagai lokasi kegiatan, saya sudah merasakan vibes pesantren. Harmoni, egalitarianisme, toleransi, beragama secara luwes dan tidak statis sepertinya tepat untuk menggambarkan suasana itu.
Dan, sejak awal saya tahu bahwa gerakan ini berisi orang-orang dari berbagai kalangan. Mulai dari ibu nyai pesantren, akademisi, praktisi, hingga pemuda yang konsen terhadap pemikiran peradaban Islam yang inklusi dari seluruh Indonesia.
Memasuki Convention Hall saya begitu takjub. Sudah banyak sekali para ulama, baik perempuan dan laki-laki, yang telah datang dan saling menyapa. Semakin takjub ketika ternyata ada ulama perempuan yang datang dari Aceh. Betapa di tengah kedukaan, spirit membangun peradaban inklusif tetap menyala terang. Betapa gagasan, ide, dan pemikiran menjadi hal yang prioritas atas selemah-lemahnya keadaan.
Tentang Progresivitas KUPI
Mendengarkan sambutan ketua Majelis Musyawarah KUPI, Nyai Badriyah Fayumi, saya seperti menyelam lebih dalam tentang gagasan, tujuan, dan misi besar KUPI. Bahwa KUPI adalah gerakan sosial yang bergerak dan tergerak demi kesejahteraan bersama.
Hal ini menunjukkan bahwa KUPI adalah arena partisipatoris, bukan gerakan top down. Gerakan ini membangun budaya dialog, karena memang salah satu dari sembilan nilai yang diusung adalah kesetaraan dan kesalingan dalam relasi. Karena dengan lahirnya gerakan KUPI, maka secara otomatis terbangun pula relasi-relasi yang ada di dalamnya.
KUPI mengusung lima visi besar untuk mewujudkan peradaban Islam yang berkeadilan. Beberapa di antaranya adalah dengan produksi (bukan sekedar mereproduksi) pengetahuan. Tidak berhenti sampai di situ. Adanya produksi pengetahuan dilanjutkan dengan upaya edukasi, advokasi, dan mendakwahkan produk pengetahuan sehingga tercipta transformasi sosial. Langkah konkret yang selama ini telah dilakukan adalah adanya kaderisasi bagi kaum muda agar pemikiran KUPI berkesinambungan dan tetap eksis seiring perkembangan zaman.
Capaian Gerakan: Sebuah Kontribusi bagi Peradaban Islam
Inayah Rohmaniyah, sebagai salah satu pemantik Dialog Publik KUPI, setidaknya menyebutkan tujuh pencapaian gerakan KUPI. Pertama, bertambahnya jumlah Sumber Daya Manusia yang memiliki kapasitas dan kapabilitas keulamaan. Melalui peningkatan ini akan melahirkan pengakuan otoritas keulamaan perempuan. Yang mulanya dipandang sebagai objek pasif bergeser menjadi subjek aktif.
Kedua, idealisme kolektif yang melahirkan otoritas keagamaan perempuan dan legitimasi untuk menjadi seorang “ulama”. Ketiga, epistemologi komprehensif karena gerakan KUPI menggunakan empat sumber pengetahuan. Yaitu paradigma tauhid, suara perempuan, pengalaman bilogis dan sosial perempuan, serta konsep mubadalah.
Bukan hanya berkutat dalam ranah epistemologi, tetapi gerakan KUPI juga berjalan dalam ranah aksiologi. KUPI bukan hanya memproduksi narasi inklusif, namuan juga menganalisis dan merekonstruksi otoritas fatwa sehingga melahirkan fatwa baru sebagai rujukan, menjadikan KUPI sebagai gerakan yang sistematis. Paradigma tauhid yang menjadi prinsip KUPI memungkinkan para ulama perempuan untuk membangun pemahaman tentang konsep-konsep keadilan, kesetaraan, dan kesalingan terhadap sesama.
Keempat, terbangunnya komunitas yang epistemik sehingga menjamin keefektifan dan keberlanjutan gerakan. Kelima, KUPI menjadi ruang untuk strategi perubahan yang efektif dan transformatif. Keenam, adanya jejaring yang kuat karena terdapat tokoh-tokoh profesional yang keahlian dan wewenangnya diakui.
Misalnya dari pesantren, majelis taklim, hingga perguruan tinggi Islam. Ketujuh, peningkatan ketertarikan khalayak luas akan isu yang dibawa KUPI, yakni peradaban Islam yang ma’ruf, mubadalah, dan berkeadilan hakiki.
Tantangan Sebagai Bensin untuk terus Berbenah
Dalam sebuah gerakan sosial, sepertinya niscaya jika dalam prosesnya menemui tantangan, tak terkecuali bagi gerakan KUPI. Dalam forum Dialog Publik tersebut, Inayah Rohmaniyah menyinggung bahwa tantangan KUPI bukan hanya datang dari faktor eksternal, tetapi ada tantangan internal. Tantangan internal sering kali tidak kasat mata, namun sangat menentukan arah gerak perjuangan dalam jangka panjang.
Perkembangan media digital yang pesat menjadi salah satu tantangan eksternal. Seperti memiliki dua mata pisau, media digital di satu sisi menjadi ruang untuk mendiseminasikan pemikiran KUPI. Namun, di sisi lain media digital dengan segala kebebasannya memudahkan siapapun untuk berbicara apapun. Kondisi ini mengakibatkan ruang digital justru berpotensi menjadi area pelanggengan diskriminasi berbasis gender sehingga mereproduksi problem sosial baru.
Sementara itu, beban kerja gender tradisional, keluarga patriarkal, dan fenomena queen bee menjadi tantangan internal yang tidak dapat terelakkan. Pelanggengan beban kerja gender tradisional mengakibatkan ketimpangan terus terjadi. Terutama karena pembagian peran yang tidak seimbang ini terlihat sebagai sesuatu yang begitu adanya. Jika tidak digali dengan paradigma kritis, internalisasi pembagian kerja yang disandarkan pada fitrah ini akan terus menjadi residu dalam pikiran sehingga menjadi terlihat “normal”.
Kemudian keluarga yang patriarkal juga menjadi tantangan tersendiri. Keberdayaan perempuan di ruang publik tidak selalu berbanding lurus dengan kebebasan di ruang domestik. Di dalam ruang domestik, keluarga masih kerap melanggengkan norma patriarki, sehingga perempuan justru menghadapi tekanan ketika kembali berhadapan dengan keluarga.
Fenomena queen bee yang juga menambah tantangan internal yang dihadapi KUPI. Di mana perempuan yang menduduki posisi otoritas atau kekuasaan di lingkungan yang dominan laki-laki, kemudian memperlakukan kolega atau bawahan perempuannya lebih buruk. Fenomena ini mengaburkan spirit woman support woman yang menjadi salah satu cita-cita keadilan gender.
Sebuah Akhir
Ketegangan antara kerja-kerja internal dan tantangan eksternal inilah yang menjadi medan perjuangan KUPI hari ini. Dalam situasi ini, KUPI ‘tertuntut’ untuk tidak hanya konsisten secara gagasan, namun juga adaptif dalam strategi gerakan.
Namun, KUPI telah membuktikan bahwa tantangan yang ada tidak otomatis dimaknai sebagai hambatan. Justru dilihat sebagai bensin untuk membaca ulang realitas sosial untuk menegosiasikan perubahan. Upaya untuk membanguan jejaring dan pemikiran keulamaan perempuan tidak tampil sebagai jawaban final. Melainkan sebagai kerja kolektif yang akan terus berjalan dan berbenah agar terus relevan dengan perubahan zaman. []







































