Mubadalah.id – Koordinator Jaringan Islam Antidiskriminasi (JIAD), Aan Anshori, menilai poligini sebagai isu paling polemis yang terus membayangi perempuan Muslim Indonesia dalam sejarah perkawinan.
Pandangan tersebut disampaikannya melalui tulisan yang dimuat di laman Kupipedia.id.
Menurut Aan, sejak masa awal kemerdekaan, perdebatan mengenai poligini tidak pernah benar-benar berpihak pada pengalaman dan penderitaan perempuan. Ia mencatat bahwa pada masa Orde Lama, hampir seluruh organisasi Islam yang dipimpin laki-laki mendukung model perkawinan poligini. Termasuk organisasi perempuan yang berafiliasi dengan mereka.
Aan menyinggung kebijakan Presiden Sukarno melalui Keputusan Nomor 19 Tahun 1952 yang memberikan tunjangan ganda bagi pegawai negeri sipil yang menjalankan poligini, termasuk tunjangan pensiun.
Kebijakan tersebut, kata dia, mendapat dukungan dari sejumlah organisasi Islam seperti Masyumi, Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII), serta Muslimat NU.
Namun, kebijakan tersebut memicu penolakan keras dari berbagai organisasi perempuan lintas agama. Aan mencatat sedikitnya 19 organisasi perempuan menyuarakan penolakan karena menilai negara tidak seharusnya menggunakan uang publik untuk melanggengkan praktik yang merugikan perempuan.
“Penolakan tersebut menunjukkan bahwa poligini bukan sekadar persoalan teologis, tetapi juga persoalan keadilan sosial dan kebijakan negara,” tulis Aan.
Kemudian, Ia menekankan bahwa absennya organisasi perempuan Islam dalam gelombang penolakan tersebut memperlihatkan posisi dilematis yang perempuan Muslim hadapi. Di satu sisi mereka terikat secara ideologis, namun di sisi lain mengalami dampak langsung dari praktik poligini.
Melalui Kupipedia.id, Aan mendorong pembacaan ulang sejarah perkawinan di Indonesia dengan perspektif keadilan gender.
Menurutnya, tanpa keberanian merefleksikan sejarah, praktik diskriminatif terhadap perempuan akan terus direproduksi dalam kebijakan dan tafsir keagamaan. []








































