Mubadalah.id – Poligami hanya dapat dilakukan jika laki-laki mampu berbuat adil kepada istrinya secara material dan psikologis. Meskipun faktanya, konsep adil ini sulit untuk dipraktikkan oleh siapapun. Monogami tetap yang harus kita utamakan. Pandangan Insanul Fahmi terkait poligami menunjukkan sesat logika dalam memahami ajaran agama.
Insanul Fahmi (IF) yang merupakan sosok influencer muda dengan framing religius menyatakan bahwa sebetulnya ia tidak perlu meminta izin istri pertama untuk berpoligami.
Demikian juga, ia tidak perlu memberitahu statusnya terlebih dahulu pada istri kedua. Ungkapan manipulatif seperti ini, ia ucapkan untuk membenarkan perbuatannya yang salah secara agama dan moral.
IF juga menganggap pernyataan tidak setuju istri pertama atas poligami karena ia terpengaruh oleh orang-orang di sekitarnya. IF percaya dengan mengedukasi istri pertama, ia yakin poligami akan melahirkan kolaborasi dann revolusi keluarga.
Narasi-narasi religius yang IF gunakan untuk membenarkan perbuatannya adalah sesat tafsir terhadap ajaran agama sebab argumennya tidak berdasar. Dalam banyak wawancara, IF selalu menyalahkan istri pertamanya karena satu dan dua hal sehingga menimbulkan keinginannya untuk berpoligami.
Mengapa Poligami Dilarang
Mayoritas ulama kontemporer menganggap turunnya QS. Al-Nisa’ [4]: 3 bukanlah pembenaran atas poligami. Namun, ayat tersebut merupakan respons atas kebiasaan laki-laki Arab yang gemar menikahi perempuan tanpa batas dan aturan yang jelas. Ayat tersebut turun untuk membatasi jumlah istri yang dapat laki-laki nikahi di masa Nabi.
Tujuan utama dari ayat tersebut sebetulnya adalah untuk melarang poligami sama sekali. Hal ini dapat kita lihat dari syarat poligami yang terdapat dalam ayat tersebut, yaitu adil.
Tafsir yang ada menyebut adil dalam ayat ini adalah adil secara material dan psikologis. Sesuatu yang nyaris mustahil untuk kita lakukan. Inilah revolusi keluarga sebenarnya yang terkandung dalam ayat ini. Pernikahan monogami yang ideal.
Dalam kasus IF, ia mengaku sudah dua bulan tidak bertemu dengan istri pertama dan anak-anaknya. Kiai Husein Muhammad dalam bukunya, Poligami: Sebuah Kajian Kritis Kontemporer Seorang Kiai menyebutkan kasus tersebut merupakan kekerasan akibat poligami dalam ruang publik. Kekerasan dalam ruang publik tersebut berbentuk penelantaran istri dan anak.
Selain itu, penelantaran psikis dan mental istri juga merupakan kekerasan akibat poligami. Bedanya, K. Husein Muhammad menyebutnya dengan kekerasan di wilayah privat. Jika IF menelantarkan istri dan anaknya, apakah ini masih bisa disebut dengan adil?
Mengesampingkan Suara Perempuan
Ketika menyampaikan keinginan untuk berpoligami pada istri pertama, IF mengancam akan “jajan” di luar jika tidak diizinkan. IF juga menegaskan pada istrinya bahwa ia sebetulnya tidak butuh izin dari istrinya. Hal tersebut ia lakukan semata-mata karena IF mencoba transparan pada istrinya.
Padahal, dalam perspektif Mubadalah, pernikahan adalah dua suara yang saling mengisi dan saling mendengarkan. Suara perempuan dalam rumah tangga sama pentingnya dengan suara laki-laki. Dalam persoalan sebesar poligami, pendapat istri merupakan pendapat yang seharusnya paling dipertimbangkan. Sebab, perempuan dalam poligami merupakan pihak yang paling terdampak secara psikologis.
Sebaliknya, IF menganggap suara perempuan tidak penting karena ia merasa laki-laki memiliki hak untuk berpoligami. IF merasa laki-laki memiliki kuasa pengetahuan yang lebih atas perempuan sehingga memandang dirinya berhak mengedukasi istrinya terkait kebolehan poligami.
Jika kita mau lebih mengedukasi diri sendiri dan mengkaji tafsir Al-Qur’an yang ada, seperti tafsir Kemenag dan NU Online, kita dapat melihat bahwa sebetulnya poligami dilakukan dalam beberapa kondisi seperti jumlah perempuan yang lebih banyak daripada jumlah laki-laki selama peperangan, istri mandul menurut pemeriksaan dokter dan belum mendapatkan keturunan.
Sejalan dengan hal tersebut, UU Perkawinan di Indonesia memiliki asas monogami. Undang-undang mengatur secara ketat pernikahan poligami dengan syarat-syarat tertentu, antara lain, memiliki izin dari istri, mengajukan permohonan ke pengadilan, jaminan dapat berlaku adil dan lain-lain.
Kondisi tersebut di atas jelas bukanlah kondisi yang IF hadapi sehingga ia merasa butuh untuk berpoligami. Menghindari “jajan” di luar jelas alasan yang salah dan terlalu mengada-ada. Sedari awal, IF sudah tidak dapat berlaku adil secara psikologis terhadap istri pertama.
IF sebagai simbol anak muda, modern, dan religius tidak menjamin argumennya logis dan sumbernya valid. Menormalisasikan poligami dalam konteks beragama dan bernegara di Indonesia kontemporer adalah salah satu bukti dari sesat logika terkait poligami. []




















































