Mubadalah.id – Alif siap-siap menuju masjid An-Nur sebelah rumah setengah jam lebih awal. Baju koko kesayangan warna biru muda yang sudah pudar terlihat sedikit kebesaran karena tubuhnya yang kerempeng. Hari itu masih tersisa mendung usai diguyur hujan semalam hingga pagi hari. Udara pun masih terasa dingin menyegarkan.
Aroma tanah basah masih mewarnai suasana di siang itu, ketika dengan penuh harap Alif melangkahkan kakinya keluar dari rumah. Ya, hari Jumat adalah hari terindah bagi Alif, sebagian para jemaah dan bagi orang-orang di sekitar masjid tersebut. Hari yang ditunggu-tunggu karena di hari itu selain salat Jumat, ada beberapa paket makan gratis dari para dermawan.
Tidak ada jadwal khusus siapa yang menyediakan paket yang sering disebut sebagai Jumat Berkah. Tidak pula harus yang berdomisili di sekitar masjid, siapa pun boleh. Dengan begitu kadang ada paket yang berlebih kadang hanya cukup untuk anak-anak yang hadir di masjid hari itu
*
Alif belum bisa melupakan pemandangan seminggu lalu yang membuatnya berjanji dalam hati untuk selalu menyenangkan hati sang adik, Abil.
Hari itu Alif pulang dari masjid dan membawa dua kotak paket nasi, pemberian seorang bapak yang mengetahui bahwa Alif punya adik. Dia ingin makan bersama Abil di rumah. Paket nasi ayam geprek lengkap dengan teh manis kemasan dan buah jeruk ia yakini akan membuat adiknya bahagia.
“Ini untuk Abil, Mas?” Tanya Abil kepada Alif saat dilihatnya Alif meletakkan dua paket nasi di meja depan Abil berada.
Abil terlihat senang sambil mencoba membuka paket nasi. Wajahnya sangat ceria sembari tersenyum ia pandangi paket ayam geprek di depannya. Hatinya berbunga-bunga.
“Iya, yang satu untukmu yang satu lagi untuk Mas, kamu suka?”
Dilihatnya Abil menganggukkan kepala tanpa menoleh kepada yang bertanya. Tak menunggu lama Abil pun menyantap menu ayam geprek dengan lahapnya.
Ibu yang sedari tadi terdiam, memandangi mereka berdua dengan penuh haru. Bibirnya bergetar mengucap syukur berkali-kali yang tentu saja tak terdengar oleh mereka. Dengan sekuat tenaga ia tahan agar embun di matanya tak jatuh.
Ada nyeri di dada yang ia rasa sekian lama. Ada marah dan sedih yang tak mungkin ia ungkapkan. Hanya dengan rasa syukur masih diberi kesempatan menghirup udara bersama buah hati tercinta, rasa sedih itu sedikit terobati.
Tahun Ketiga tanpa Sosok Ayah
Ini tahun ketiga bagi Alif dan Abil tanpa hadirnya sosok Ayah. Tiga tahun Ayah tak ada kabar setelah merantau ke Sumatra. Ayah pergi ketika Abil berusia satu tahun. Selama tiga tahun itu, tak henti-hentinya Ibu mencari kabar, tetapi buntu. Untuk menutup kebutuhan sehari-hari, Ibu mengandalkan jasa cuci setrika, dan beres-beres rumah di tetangga yang membutuhkan.
Melihat adiknya yang mengalami disabilitas, Alif hanya bisa menyayangi dan berusaha semampunya untuk membuat sang adik agar selalu ceria. Mendampinginya bermain, belajar mengenal huruf-huruf, berhitung, mengaji dengan menghafal surat-surat pendek dan sebagainya. Sesekali juga menyanyi bersama. Alif bertekad bahwa sang adik harus senang hatinya meski ada keterbatasan dalam beraktivitas.
Polio telah menyerang Abil sejak kecil dan terlambat penanganannya sehingga di usia empat tahun belum bisa berjalan seperti anak-anak lainnya. Aparat desa dan petugas kesehatan setempat sudah turun tangan, tetapi belum tampak hasilnya. Ibu dan Alif tak dapat berbuat banyak apalagi Ayah seolah lupa dengan tiga nyawa yang seharusnya menjadi tanggung jawabnya.
Seperti biasa, Alif sengaja mengambil posisi di dekat pintu siang itu. Dia sudah berwudu dari rumah sebelum berangkat ke masjid. Tiga kali hari Jumat, paket Jumat Berkah dari dermawan itu selalu menarik tidak hanya bagi anak-anak, tetapi bagi orang dewasa. Dalam hati Alif berharap masih ada menu ayam geprek lagi atau semacamnya yang bisa ia bawa pulang untuk Abil.
Mungkin karena Jumat kali ini bersamaan dengan hari libur nasional, jemaah yang hadir di masjid berjumlah dua kali lipat dari biasanya. Hadir pula beberapa jemaah dari luar yang tidak Alif kenal.
Ayam Geprek
Selama khotbah Jumat, Alif sempat melirik ke samping kanan masjid. Dia melihat tumpukan paket nasi dengan tulisan Ayam Geprek. Ada rasa khawatir di dada Alif mengingat jumlah jemaah yang luar biasa. Apakah dia mampu membawa pulang buat sang adik?
Di balik kenyataan yang ada, Alif memutar otak untuk mempersiapkan kata-kata yang sekiranya bisa diterima Abil jika tak berhasil membawakan menu yang ia idamkan. Timbul di benaknya, andai Abil seperti anak-anak yang lain tentu bisa diajak ke masjid agar melihat sendiri bahwa jatah paket itu terbatas. Ah, Alif sadar dan segera ia tepis perasaan itu.
Imam sudah memulai takbir, tetapi Alif masih memikirkan adiknya. Dia berusaha untuk konsentrasi salat meski bayang-bayang wajah Abil seolah ada di tempat ia bersujud. Dia masih sabar melantunkan doa-doa usai salat. Keinginan untuk segera pulang dan mengabarkan pada Abil bahwa hari itu tak ada ayam geprek, mampu ia tahan.
Tiba saatnya pembagian paket ayam geprek dari sang dermawan, Alif hanya bisa menelan ludah dan sedih. Bagi Alif sendiri, tidak mengapa jika memang habis dan tidak kebagian. Dalam pikirannya hanya ada Abil, sang adik yang sudah pasti menunggu sesuatu seperti Jumat-Jumat yang lalu. Sosok dermawan itu tidak tahu bahwa hari itu jemaah membludak sehingga paket ayam gepreknya tidak mencukupi seluruh jemaah yang hadir.
Di tengah jalan tiba-tiba Alif sendiri ragu apakah bisa berbohong atau tidak, karena selama ini ia selalu diajari orang tua untuk senantiasa jujur. Dia kebagian paket lain yaitu nasi uduk orek tempe dan sepotong telor. Di tengah jalan tak henti-hentinya berdoa berharap Abil tak kecewa dengan menu nasi uduk yang ia bawakan.
*
Abil sudah menunggu di balik pintu ketika Alif mengucap salam. Mata yang tadinya berbinar penuh keceriaan seketika berubah menjadi sayu, sendu dan menggores kalbu siapa pun yang menatapnya. Sambil terbata menahan rasa sedih, Alif berusaha menenangkan adiknya dengan segala cara. Ibu juga mencoba menghiburnya, tapi tangis Abil justru pecah. Alif pun ikut meneteskan air mata.
“Assalamualaikum, permisi. Nak Alif, paket Jumah berkahnya ketinggalan di masjid. Ini bapak bawakan untukmu,” ucap Pak Sholeh tetangga Alif yang biasa menjadi imam salat.
“Wa’alaikumussalam,” jawab Alif dan Ibu bersamaan hampir tak terdengar.
Setelah menyerahkan dua bungkusan kepada Ibu dan Alif, Pak Sholeh lalu mohon diri di saat mereka masih belum hilang keterkejutannya. Seperti dikomando, mereka berdua bersujud syukur hingga lupa mengucapkan terima kasih kepada Pak Sholeh. []