Mubadalah. id – Penyandang disabilitas membawa keunikan yang berbeda dengan insan lainnya. Meski demikian, tentunya mereka memiliki potensi, impian, serta hak yang setara seperti setiap individu normal lainnya. Sayangnya mereka yang non difabel selalu salah dalam mengartikan keterbatasan orang difabel menjadi kekurangan yang menjadi bahan bullying serta stigma.
Bullying terhadap penyandang disabilitas merupakan manifestasi paling kejam hari ini. Di mana orang non difabel menganggapnya sebagai hal yang normal. Nyatanya, mereka sangat kejam, secara tidak langsung mereka telah menghancurkan impian, masa depan, bahkan perasaan keluarga yang memberikan kasih sayang penuh kepada difabel.
Hakikatnya bullying bukan hanya sekedar kenakalan yang menjadi bahan candaan, melainkan bentuk penindasan yang memanfaatkan perbedaan sebagai alasan untuk menyakiti. Dalam jangka panjang akan berdampak pada krisis kesehatan mental dan tentunya memicu pada peningkatan resiko depresi, dan trauma psikis. Selain itu menimbulkan kerusakan harga diri serta menjadikan para disabilitas enggan melakukan interaksi dengan orang lain.
Sebagai manusia non difabel melakukan tindakan terhadap difabel tidak hanya sebatas membantu dan peduli. Akan tetapi seharusnya berdayakan penyandang disabilitas. Dengan menghilangkan seluruh hal yang menghambat jalan dalam mewujudkan kekuatan para penyandang disabilitas dalam menunjukan kekuatan dirinya.
Hambatan Penyandang Disabilitas
Stigma dan bullying tentunya menjadi hambatan bagi mereka para disabilitas yang memiliki impian menunjukan kekuatannya. Karena bagi para pembuli mereka menganggap panyandang disabilitas adalah beban dan menganggap mereka tidak mampu melakukan segala hal. Kenyataannya dari setiap individu dengan keterbatasan berbeda-beda mereka juga memiliki kemampuan khusus yang beragam.
Dengan stigma negatif bagi mereka penyandang disabilitas dapat memicu asumsi bahwa mereka tidak layak mendapatkan akses pendidikan bahkan pekerjaan yang layak. Akibatnya, asumsi tersebut menghalangi kesempatan mereka untuk mencapai kemajuan dan menjadikan banyak kalangan disabilitas yang kompeten, terperangakap dalam kemiskinan dan ketergantungan.
Namun asumsi negatif tersebut tentunya tidak benar, karena kenyataannya, banyak para penyandang disabilitas yang mengalami bullying, sehingga mereka tidak dapat menunjukan sisi kehebatan dari perjuangannya. Seperti kisah seorang remaja bernama Aisyah Cahyu Cintya. Dia seorang pejuang cerebral palsy, tapi dengan keterbatasannya dia menjadi sosok yang mandiri membantu pekerjaan rumah ibunya. Bahkan ia mampu menulis buku “Say Hello to My World.” Diunggah di video tiktok @DAAI TV Indonesia.
Oleh karena itu, harus ada upaya berdayakan penyandang disabilitas yang bersifat advokasi, struktural, dan peningkatan kapasitas diri. Seperti seorang guru bernama Tati Leliana yang merelakan sebagian gajinya untuk membantu anak disabilitas ia bermimpi membentuk “DISTAS” (Distro Disabilitas) karena baginya anak-anak disabilitas hidup untuk kita hargai bukan dikasihani.”
Strategi Pemberdayaan Berbasis Hak
Dalam memberikan hak kesetaraan bagi penyandang disabilitas tidak cukup hanya rasa empati tapi harus dengan strategi yang komprehensif. Yakni bentuk upaya yang menyeluruh, terencana, dan saling terhubung dalam berbagai sektor kehidupan. Tujuannya agar mereka bisa hidup bebas mandiri, dihargai, dan berdaya seperti masyarakat lain pada umumnya.
Strategi berdayakan penyandang disabilitas berupa hak yang patut didapatkan yaitu:
Pertama, revolusi pendidikan dan persepsi pendidikan yang berupa insklusif total. Lembaga pendidikan menjadi garda terdepan dalam pemberdayaan disabilitas khususnya sekolah. Karena khususnya di kota Subang masih belum ada pendidikan yang insklusif terhadap kurikulum. Penyebabnya karena keterbatasan sarana prasarana dan kekurangan tenaga pendidik.
Kedua, media dengan narasi positif, bahwa perlu ada dorongan dan dukungan kepada mereka para difabel untuk berperan aktif dan berdaya dalam produksi konten di media. Baik itu film, iklan, berita dengan syarat tidak hanya menjadikan difabel sebagai objek menyedihkan atau kisah inspiratif yang dangkal. Tapi mereka pihak media menjadikan difabel sebagai peran utama yang berperan penting dalam produksi media.
Ketiga, penguatan inklusi struktural dan hukum perihal kesetaraan penyediaan akomodasi terhadap semua sektor telah ditetapkan dalam regulasi UU No. 8 Tahun 2016. Akomodasi bukan bentuk “kasihan”, tapi suatu kewajiban bagi negara dan masyarakat untuk memastikan bahwa semua orang dapat berpartisipasi secara setara yang disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan difabel.
Keempat, dengan menegakkan hukum anti buliying di berbagai instansi. Setiap instansi baik pendidikan, kepemerintahan dan tempat kerja seharusnya memiliki prosedur yang jelas atas keadilan dalam kesetaraan antara difabel dan non difabel serta memiliki sanksi yang tegas dalam menindak segala bentuk ableisme dan bullying yang terjadi.
Kelima, pemberdayaan diri serta kemandirian. Perlunya mengatasi stigma internal demi pemberdayaan diri dan kemandirian difabel. Karena dengan stigma internal (buliying dan diskriminasi dapat memicu keraguan terhadap kemampuan diri mereka sendiri.
Hentikan Bullying
Pendorong utama keberhasilan pemberdayaan penyandang disabilitas adalah menghentikan diskriminasi dan bullying. Menghentikan bullying adalah kewajiban moral. Seluruh pihak baik dari pemerintahan, elemen masyarakat, serta setiap individu dapat berkomitmen dalam menciptakan keadilan kesetaraan bagi para difabel.
Dengan menghilangkan hambatan stigma dan bullying kita memberikan ruang bagi disabilitas dengan hak mereka yang patut untuk kita hormati, kita dukung, agar sama-sama menjadi manusia yang bermartabat, mandiri dan berdaya. []











































