Mubadalah.id- Fasilitas umum yang aksesibel memang masih menjadi masalah di berbagai wilayah di Indonesia. Padahal beberapa tahun terakhir sangat gencar pembangunan infrastrukstur. Sayangnya masih ada kelompok yang seringkali terlupakan, yaitu penyandang disabilitas.
Fasilitas umum seperti trotoar, rumah ibadah, tempat pendidikan, transportasi, fasilitas kesehatan dan fasilitas umum lainnya masih jauh dari kata aksesibel. Hal ini sangat ironis, apalagi jika mengingat poin “kemanusiaan yang adil dan beradab” sebagai salah satu dasar negara.
Aksesibilitas fasilitas umum adalah hak masyarakat difabel. Saat ini fasilitas aksesibel masih terkesan seperti hadiah; bagi siapa yang beruntung. Masalahnya bukan hanya pada tidak ada atau tidak meratanya fasilitas yanga aksesibel, melainkan juga pada birokrasi yang seolah menjadikan aksesibilitas sebagai “proyek seremonial”.
Maksudnya adalah pemerintah daerah sering menggemborkan kalimat ‘ramah difabel‘, namun pada kenyataannya pembangunan fasilitas ramah difabel tersebut tidak terwujud dengan sempurna. Ketidaksempurnaan ini bisa karena tidak memenuhi standar atau tidak melakukan tindak lanjut setelah pembangunan sehingga fasilitas tersebut mudah rusak atau ada pihak yang menyalahgunakannya.
Menyoroti Kurangnya Aksesibilitas Fasilitas Umum
Fasilitas umum merupakan aspek penting dalam tata kota setiap daerah. Fasilitas umum yang memadai menandakan sebuah daerah mampu memberikan pelayanan dan kenyamanan bagi masyarakatnya. Tetapi, bagaimana fasilitas umum dapat menjangkau semua kalangan, termasuk penyandang disabilitas?
Beberapa masalah terkait aksesibilitas yang sering terjadi adalah banyak masjid tidak memiliki jalur landai, tempat wudhu atau toilet yang tidak terdapat jalur untuk pengguna kursi roda, atau tidak adanya petunjuk suara bagi jamaah tunanetra.
Akibatnya, hak dasar untuk menggunakan fasilitas ibadah pun menjadi tidak setara. Padahal, Islam menekankan prinsip kesetaraan dan kemudahan dalam beribadah sebuah nilai yang seharusnya tercermin dalam negara yang berprinsip ketuhanan ini.
Selain itu, beberapa kasus guiding block yang asal-asalan juga sering menjadi sorotan berita atau viral di media sosial. Keberadaan guiding block yang seharusnya membantu difabel netra untuk berjalan sendiri dengan aman malah sering disalahgunakan, misal sebagai lahan parkir bahkan tempat berjualan.
Belum lagi, guiding block yang tidak terpasang dengan benar. Beberapa kasus terdapat guiding block yang terhalang pohon, tiang, mengarah ke lubang drainase, atau tidak menunjukkan ke arah tempat publik lainnya seperti toilet.
Ketimpangan juga masih sangat terlihat di kota-kota besar dan di kabupaten. Berdasarkan pengalaman saya beberapa waktu hidup di Jakarta, memang Jakarta telah bergerak membangun fasilitas yang aksesibel dan inklusif.
Namun ketika saya melihat kabupaten-kabupaten kecil di Jawa Timur, fasilitas umum masih sangat jauh dari kata inklusif. Bahkan di pusat kabupaten pun masih cenderung kurang memadai. Ya, meskipun pemerintah kabupatennya sudah menyuarakan dukungan kepada penyandang disabilitas.
Untungnya, Indonesia terkenal memiliki masyarakat yang ramah dan gemar membantu. Sehingga jika ada difabel yang butuh bantuan di tempat umum, sangat mungkin untuk mendapatkan bantuan dari pegawai maupun pengunjung lainnya. Namun hal ini tidak serta-merta menutup mata pemerintah yang berwenang untuk membuat kebijakan dan melakukan perbaikan, ya.
Sebenarnya, Begini Regulasinya
Indonesia sebenarnya sudah memiliki perangkat hukum yang mengatur jaminan hak penyandang disabilitas terkait aksesibilitas. Di antaranya adalah pada UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas serta Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2020 tentang Akomodasi yang Layak telah secara tegas menempatkan aksesibilitas sebagai kewajiban negara.
Standar teknis bangunan aksesibel juga tertera pada aturan Kementerian PUPR (SNI 03-1730-2004) tentang bangunan aksesibel. Masalah umum Indonesia adalah lemahnya pengawasan dan tidak adanya sanksi tegas atas kelalaian, pengabaian, dan kerusakan fasilitas aksesibel.
Selanjutnya, sebagai turunan dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016, terdapat beberapa peaturan pemerintah yang menjabarkan lebih lanjut. DI antaranya adalah PP Nomor 70 tahun 2019 tentang evaluasai pemenuhan hak penyandang disabilitas.Selain itu ada PP Nomor 27 Tahun 2019, PP Nmor 39 Tahun 2020 dan PP Nomor 42 Tahun 2020.
Semua aturan di atas menunjukkaan adanya semangat pembangunan infrastruktur inklusif. Tetapi memang masih perlu pengawasan dan perbaikan dari waktu ke waktu. Terutama di daerah terpencil, kota kabupaten, dan fasilitas umum yang bukan termasuk di pusat kota.
Jadi, silakan berisik jika fasilitas umum di daerah kalian masih belum memadai atau bahkan tidak mengakomodir kebutuhan difabel!
Akhirnya, kita semua memerlukan perubahan cara pandang bahwa aksesibilitas bukan sekadar fasilitas tambahan, tetapi bagian dari tata kota yang manusiawi. Fasilitas ramah difabel bukan hanya proyek dan jargon formalitas semata.
Pemerintah daerah harus memastikan pengawasan dan perawatan berkelanjutan. Keterlibatan komunitas difabel dalam proses evaluasi juga sangat penting untuk menindaklanjuti pemanfaatan fasilitas aksesibel di setiap wilayah. Karena sejatinya hak untuk bergerak, beribadah, dan hidup setara merupakan salah satu hak seluruh masyarakat; termasuk pada penyandang disabilitas. []











































