Mubadalah.id – Akurasi data tentang disabilitas masih menjadi momok misterius yang belum tuntas hingga saat ini. Belum lama, Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) menyebut bahwa problema akurasi data belum lagi beres.
Akibatnya, kebijakan untuk kalangan penyandang disabilitas seringkali tidak tepat sasaran (missing). Masalah perihal akurasi data ini muncul akibat belum adanya data tunggal (single data) terkait kebutuhan disabilitas.
“Dengan adanya satu data yang valid dan dapat diakses bersama, setiap kebijakan dan program pembangunan akan memiliki pijakan yang lebih kuat dan terukur,” tutur Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Keluarga dan Kependudukan Kemenko PMK Woro Srihastuti Sulistyaningrum.
Akurasi data dan pendidikan inklusif
Selaras dengan ujaran Srihastuti, kebutuhan akan akurasi data memang berperan penting dalam upaya pemenuhan hak disabilitas. Kementerian Sosial (Kemensos) kini tengah mencanangkan penerbitan kartu penyandang disabilitas (KPD) sebagai sebuah terobosan.
Kartu ini nantinya berfungsi sebagai “kartu sakti” untuk memperoleh layanan kesehatan, transportasi, serta tentu saja pendidikan. Pendidikan menjadi hak vital disabilitas yang mesti menjadi fokus sekaligus prioritas pemerintah.
Mengingat, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2024, lebih dari lima juta penyandang disabilitas belum tamat sekolah. Data BPS secara eksplisit menunjukkan bahwa kebutuhan publik akan pendidikan inklusif sangatlah tinggi.
Namun, selagi masalah akurasi data masih belum beres, pendidikan inklusif cuma omong kosong dan mimpi siang bolong. Lantas, sebenarnya bagaimana desain pendidikan inklusif yang ideal?
Pendidikan inklusif dalam kaca pandang Al Ghazali
Sembari membereskan masalah akurasi data, tak buruk kiranya jika kita menerawang desain pendidikan inklusif kedepan. Al Ghazali, ulama kenamaan yang masyhur dengan julukan hujjatul IsIam memberikan beberapa rambu-rambu penting.
Pengarang Ihya’ Ulumiddin itu menegaskan bila pendidikan inklusif mesti menyasar tiga aspek penting dalam diri manusia. Ketiganya yakni aspek nalar pikiran (kognitif), hati dan perasaan (afektif), serta fisik jasmaniah (psikomotorik).
Pendidikan inklusif, bagi Al Ghazali, tak sekadar melulu bicara perihal kehadiran akses, kurikulum, atau hal teknis lain. Namun, inklusivitas juga berarti pendidikan holistik (kesemestaan) yang mengembangkan seluruh potensi manusia. Tentu, muara akhirnya yakni tumbuhnya manusia sebagai figur paripurna atau insan kamil.
Pembelajaran berdiferensiasi dan perayaan diversitas
Sehaluan dengan teladan Al Ghazali tentang pendidikan inklusif, pemerintah secara perlahan memang mulai menata sistem pendidikan nasional. Selain tengah berupaya merealisasikan adanya akurasi data, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) kini memberlakukan pendekatan pendidikan berdiferensiasi.
Apa itu pendidikan berdiferensiasi?
Pendidikan berdiferensiasi merupakan strategi pengajaran yang bersifat student’s needs-based. Artinya, aktivitas belajar mesti menyesuaikan memenuhi kebutuhan, minat, serta kemampuan siswa. Strategi ini sangatlah sinkron dengan ajaran Ki Hajar Dewantara untuk merayakan diversitas.
Lewat kalimat “tidak bisa mengubah padi menjadi jagung”, Ki Hajar menekankan bahwa setiap anak telah membawa bekal alaminya sendiri. Tak pelak, guru selaku “petani” hanya berkewajiban untuk menyuburkan dan mengembangkannya hingga berbuah.
Lagi pula, jagung dan padi punya fungsinya masing-masing, sehingga tak perlu diadu-padankan.
Readiness, interest, dan learning outcomes
Pembelajaran yang inklusif melalui strategi diferensiasi setidaknya mesti mengacu pada tiga aspek. Ketiganya yaitu readiness (kesiapan siswa), interest (minat), serta learning outcomes (luaran pembelajaran).
Kesiapan siswa dalam menerima materi pembelajaran dapat guru ketahui lewat aktivitas pre-tes. Hasil pre-tes ini berfungsi untuk memberi kompas bagi guru dalam menentukan materi pertama yang akan diajarkan.
Selanjutnya, pengajar/guru juga mesti mengetahui minat dan bakat siswa sebelum memulai aktivitas pembelajaran. Dengan begitu, materi ajar dapat sesuai dengan kebutuhan untuk mendukung pengembangan minat siswa.
Terakhir, pemahaman pengajar terhadap dua hal tersebut dapat menjadi penentu guru dalam menentukan luaran pembelajaran. Diferensiasi luaran akhir merupakan bentuk apresiasi nyata atas variasi dan diskrepansi kesiapan dan minat siswa.
Komitmen no one left behind
Manakala upaya serius pemerintah untuk menjamin akurasi data telah mewujud, lalu pendidikan inklusif ala Al Ghazali juga berturut dengan desain pendidikan berdiferensiasi, tugas selanjutnya adalah komitmen bersama.
Pendidikan, mau bagaimanapun, merupakan bagian dari hak asasi manusia (HAM). Tak boleh ada satupun anak bangsa yang tak bisa mengakses pendidikan dan akhirnya tertinggal oleh perkembangan (left behind).
Mengutip pandangan Pierre Bourdieu, upaya menuju komitmen bersama itu mungkin tak bakal mudah. Sedari awal, manusia memang telah tersekat oleh perbedaan modal (capital distinction).
Namun, kita tak boleh menyerah atau berpangku tangan. Meminjam ujaran Bourdieu, kita mesti berdiri di antara perusak kemapanan dan penyeru utopia (mimpi-mimpi). Kemapanan hari ini memang belum mewadahi pendidikan inklusif.
Hanya saja, dengan segenggam mimpi, percayalah bahwa inklusivitas itu bakal mengada. Panjang umur harapan dan mimpi mulia! []