“Jiwa adalah sirkuit palinng rumit, yang seringkali orang-orang naif ingin mengendalikannya.”
Mubadalah.id – Kira-kira, 100 tahun setelah wabah aneh melanda dunia, keadaan internasional dilanda euforia informatika yang aneh. Wabah itu adalah wabah tak kasat mata yang siapa saja saling menyentuh, maka akan kejang-kejang lalu kemudian tergeletak dan meninggal. Sehingga kala itu, menyentuh sesama manusia menjadi hal yang sangat menakutkan.
Semua orang dilarang keluar guna meminimalisir refleksnya sentuhan antar manusia. Isolasi dilakukan hampir dua tahun penuh. Ekonomi menurun karena tidak ada pergerakan transaksi.
Sampai kemudian di saat-saat gejolak kematian hampir memusnahkan suatu bangsa akibat tidak adanya reproduksi serta transaksi, vaksin berhasil ditemukan dan hadirlah penemuan baru dari Asia Timur. Sebuah alat canggih yang menjadikan semua orang mudah mengakses apapun lewat alat itu termasuk pekerjaan.
Peraturan Baru: Dunia Baru
4 bulan setelah pemerintah memastikan setiap keluarga memiliki alat tersebut, perlahan peraturan dilonggarkan. Masyarakat diperbolehkan keluar dengan syarat harus memakai alat apa saja agar kulit tidak terlihat dan wajib menghindari sentuhan meski terhalang kain.
Wabah akhirnya dapat teratasi dan pergerakan kemanusiaan mulai membaik. Adapun benda canggih itu, setiap tahunnya mengalami pembaharuan. Mulanya benda canggih itu berbentuk seperti jam tangan, lalu berubah menjadi seukuran cincin saja yang bisa kita lingkarkan pada jari.
Dua tahun setelahnya, teknologi mencapai kemutakhiran yang semakin digdaya. Terdapat penemuan baru yang sangat fantastis. Temuan itu adalah sebuah chip yang bisa tertanam di tubuh manusia. Alat tersebut adalah alat pendeteksi identitas yang mampu memuat seluruh informasi pribadi mulai dari sidik jari hingga peredaran darah, detak jantung, lambung, kondisi hati dan kondisi bagian otak.
Alat itu sekaligus sebagai siaga satu jika ada gejala penyakit aneh yang menyebabkan terjadinya wabah kembali. Saat data yang sudah memuat kondisi tubuh itu terbit, pemerintah mulai mengkotak-kotakkan pekerjaan penduduknya. Jika ada penduduk yang sakit, akan ada petugas medis mengirimkan informasi lewat hologram kecil yang ada di setiap pintu apartemen.
Pemasangan chip pendeteksi di tubuh manusia itu berhasil 70%. Prosesnya pun tanpa kendala baik di medis maupun hukum. Alarm di pusat akan berbunyi menandakan jika chip tersebut rusak atau dilepas. Lambat laun pemerintah mengeluarkan peraturan lain. Yakni barang siapa yang dengan sengaja melepas chip tersebut disamakan dengan pembangkangan terhadap pemerintah dan akan mendapat hukuman.
Rapuhnya Peradaban
Tahun berikutnya muncul peraturan baru yang rupanya tak masuk akal. Pemerintah melarang setiap warganya saling berkomunikasi lewat alat canggih apapun. Pemerintah melarang warganya berbicara soal budaya, sejarah, atau apapun yang berkaitan dengan negeri bersuku bangsa ini.
Di pusat, aplikasi komunikasi antar warga pun terhapus hingga akar-akarnya. Karena saat itu komunikasi merupakan ancaman mengerikan. Kebocoran data adalah hal menakutkan. Pemerintah takut ada warga yang diam-diam membangkang, merencanakan suatu hal, atau menolak setiap inovasi baru dari teknologi yang tengah dibuat. Ketakutan itu, didasari oleh sikap melindungi negara dari kebocoran data pada pihak-pihak tak bertanggungjawab atau negara luar yang ingin menggulingkan kesatuan bangsa.
Selain itu data masyarakat lokal yang pemerintah kendalikan juga masuk dan dapat diakses oleh petugas di Asia Timur tersebut, di mana karyawannya datang dari berbagai negara di dunia. Undang-undang internasional hanya memprivasi data negara. Maka tak ada alat elektronik apa pun kecuali benda canggih pembantu kehidupan dan chip pendeteksi tubuh bagian dalam.
Konon katanya, akan ada proyek baru yang tengah pemerintah dunia garap untuk menciptakan alat yang lebih menakjubkan. Karena itu komunikasi dengan alat elektronik tidak akan pernah kau temui di dunia ini sebab pemerintah nasional khawatir adanya penyadapan informasi dari oknum-oknum perusak dunia lewat chip tersebut.
Perang yang mengerikan adalah perang data. Kebocoran data nasional bisa menjadi senjata negara lain untuk mengambil alih suatu bangsa. Akibatnya, dunia ini kehilangan sejarah dan peradaban. Sikap patriot dan cinta negara punah lantaran kemandekan informasi tentang sejarah, politik, pendidikan, dan budaya.
Jangan tanya soal agama. Keyakinan tentang hal-hal gaib telah hilang 20 tahun pertama sejak wabah itu mereda. Hilang secara perlahan ketika dunia ini sibuk dengan pekerjaan mereka dalam menciptakan alat-alat canggih pendukung untuk bertahan hidup.
Penjajahan Modern Berkedok Nasionalisme
Menginjak tahun ke-124 setelah wabah, informasi tentang peradaban negara ini tak akan pernah kita temui lagi. Entah itu di lembaga pendidikan manapun kecuali di Kantor Nasional yang terjaga ketat oleh negara.
Selain itu juga perpustakaan-perpustakaan yang hanya boleh dimasuki warga lokal dengan syarat-syarat yang menyulitkan. Seperti, pegawai yang sudah mendapat surat perintah khusus dari negara untuk menelaah kehidupan manusia sejak abad kekosongan. Sebagai bahan riset dalam menciptakan alat-alat yang canggih.
Vexya Goervo. Pemuda berusia 24 tahun itu hampir dikeluarkan dari kantor cabang elektronika di Ibukota. Direktur hendak memecatnya karena dia tak pernah berhasil menciptakan alat pendukung seperti mobil yang bisa kita lipat, makanan yang tidak akan basi selama setahun, sampai alat yang bisa membuatmu berpindah tempat dengan jarak 1 kilometer hanya dengan kecepatan cahaya buatan.
Namun akhirnya urung karena Vexy merupakan salah satu pegawai yang jujur dan tekun. Memang benar dia terlihat mandeg. Namun katanya, ada hal yang merasa lebih penting untuk ia urus. Entah itu urusan apa aku tidak tahu.
Abad 21 dalam Literatur
Sudah berpuluh-puluh buku yang Vexy baca tentang peradaban pada abad ke-21. Pembahasan mengenai perkembangan teknologi yang semakin pesat adalah topik yang paling membuatnya tertarik. Dari sana, dia menemukan indahnya kemanusiaan peradaban manusia pada zaman dulu.
Dari Vexy aku tahu bahwa proyek baru yang tengah pemerintah dunia garap adalah alat pendeteksi jiwa dan pikiran manusia. Namun, kata Vexy, jujur saja dia merasa miris dengan program baru pemerintah tersebut.
Hal unik tentang Vexy adalah, meski keyakinan telah asing di telinga umat manusia, Vexy merupakan 2 dari 10 umat manusia yang menganut agama. Aku tahu, rata-rata orang berkeyakinan seperti Vexy menolak pembuatan alat pendeteksi jiwa tersebut karena dianggap sudah terlalu jauh dan seperti ingin menantang Tuhan.
Namun dia bisa apa? Proyek pendeteksi jiwa itu adalah bagian dari manufaktur industri modern yang telah ditanda tangani petinggi, pembesar dunia dan pemerintah dunia internasional.
Seorang Penganut Agama
Pertama kali aku bertemu Vexy saat mengunjungi Perpustakaan Nasional. Aku tertarik mendekatinya sebab dia tengah khidmat membaca buku tentang abad ke-21.
“Apa menurutmu yang menarik dari abad ke-21?” tanyaku tiba-tiba yang sudah berdiri di sampingnya.
Mulanya dia kaget lantaran aku yang datang tiba-tiba dan bertanya begitu saja.
Dia tengah menimbang jawaban sambil berpikir, “Seputar, awal mula mengapa agama menghilang dari dunia ini?” jawabnya.
“Agama? Apa kau gila? Kau percaya?”
Tanyaku histeris. Orang beragama adalah orang-orang minoritas yang katanya hampir punah. Tak kusangka jika akan bertemu salah satu di antara mereka.
“Tentu saja aku percaya. Aku adalah salah satu orang yang menganut agama.”
Aku tercengang, “Wah, kau seperti artefak smartphone! Ceritakan. Ada berapa penganut agama itu sekarang? Siapa pemimpinnya?”
“Mengapa kau tiba-tiba tertarik?”
Aku menimbang, “Anggap saja karena kita sama-sama tertarik dengan abad 21?”
Vexy mengangguk. “Pemimpinku, dia disebut, seorang Habib. Aku memanggilnya Guru Habib. Dia adalah seorang pria tua yang berpenampilan unik. Memakai baju terusan longgar berwarna putih, memegang butiran kayu berbentuk bulat, katanya tasbih namanya, alat untuk mengingat Tuhan, dan mengikat kepalanya dengan sebuah kain putih.”
“Di mana gurumu itu sekarang?” tanyaku.
Vexy terdiam. Lalu dengan ragu menjawab, “Dia di tahan di gedung x5port16.”
“Gila! Bukankah itu gedung bawah tanah terakhir yang hampir mencapai inti bumi?”
Vexy mengangguk.
“Biar kutebak mengapa dia di sana. Pasti pemerintah takut, kan Gurumu itu memiliki banyak pengikut sampai menggagalkan beberapa proyek?”
Vexy mengangguk kecil tanpa ekspresi.
Virus Genosida
Belakangan pemerintah menyatakan dengan terang-terangan keberatannya pada penduduk yang menganut agama. Karena katanya, menurut sejarah, kebanyakan orang beragama sering merepotkan keadaan politik dunia, sering membangkang, dan bahkan faktor pemicu perang.
“Lalu kau, apa yang menarik dari abad 21?” tanyanya.
“Aku pernah membaca sebuah artikel di hologram kantorku, soal wabah yang pernah menimpa dunia sehingga terjadi perubahan pesat media-media sosial yang menghubungkan seluruh orang dari berbagai negara. Menurutku, perubahan itu hampir sama dengan berkembang pesatnya teknologi sekarang setelah 100 tahun wabah aneh itu berlalu,” jawabku.
Vexy mengangguk, dia kemudian bercerita padaku bahwa terakhir dia mengunjungi gurunya adalah dua bulan lalu. Hanya ada 34 murid yang diperbolehkan mengunjungi Sang Habib.
Saat itu gurunya mengatakan bahwa Tuhan adalah yang mengatur, mencipta, dan ikut berperan dalam pergerakan dunia ini. Karena itu tetap berpegang teguhlah pada keyakinanmu akan Tuhanmu dan jangan pernah menciptakan sesuatu dengan maksud menandingi Tuhan.
“Percayalah, Nak, di tengah kemegahan dan gemerlapnya hidup ini, semuanya adalah rancangan Tuhan,” nasihat Habibnya kala itu.
Terikat Simpati Dan Empati
Lambat laun aku dan Vexy semakin dekat. Kami sering berdiskusi tentang keterkaitan tahun ini dengan abad 21 lalu merambat pada pembahasan soal alat pendeteksi jiwa dan pikiran manusia.
“Alat pendeteksi jiwa memungkinkan seseorang yang telah meninggal hidup kembali dalam bentuk robot. Memori yang tersimpan dalam alat pendeteksi jiwa itu bisa kita pasang dalam benda-benda canggih selain tubuh manusia. Itulah kenapa para donatur mendukung penuh proyek tersebut. Mereka ingin hidup abadi!” ucapku.
“Kudengar, alat pendeteksi jiwa itu sudah siap diuji coba. Pemerintah tengah mencari orang yang akan mereka jadikan eksperimen.”
Ironisnya, pada suatu hari aku mendengar percakapan seorang staf pusat yang tengah mengunjungi pabrik hologram di kota bagian selatan tempatku bekerja. Sebagai teknisi, aku yang mengantar mereka juga ikut bertemu dengan seorang warga asing yang ternyata seorang petinggi dari timur tengah.
Mereka membicarakan sebuah informasi yang mungkin biasa saja, tapi aku yakin info itu akan sangat menusuk bagi Vexy. Aku juga sangat tercengang mendengar percakapan tersebut. Maka, tanpa pikir panjang, akibat hasrat ingin menyelamatkan jiwa dan raga temanku itu, aku bergegas mendatanginya menggunakan lift antarkota.
Sesampainya di apartemen Vexy, aku langsung menceritakan informasi yang kudengar.
Eksperimen
“Vexy, orang yang pertama kali akan menjadi eksperimen adalah Habib! Gurumu! Alat itu merupakan alat yang sangat canggih. Pasien akan mereka baringkan di sebuah ruangan transparan yang akan mendeteksi jiwa dan pikiran dengan cahaya. Selama proses itu, hologram akan muncul menampilkan kondisi data jiwa orang itu. Keberhasilan alat itu akan dimodif menjadi lebih kecil. Nantinya, alat ini akan menjadi referensi untuk mereka menciptakan robot yang menyimpan memori jiwa dan ingatan manusia. Akan tetapi efek sampingnya, orang yang dijadikan eksperimen itu akan mati akibat cahaya berlebih yang menembus tubuh, tulang, darah, otak dan hatinya,” terangku panjang lebar.
Vexy terkejut tak kepalang. Seketika wajahnya pias dan matanya kosong. Perlahan tubuhnya mulai bergetar.
“Apa yang akan kau lakukan?” tanyaku sambil memegang erat kedua bahunya.
“Mungkin inilah saatnya…” ucapnya lirih.
“Apa? Apa rencanamu?” ulangku tak sabar.
“Kau mau membantuku?” Vexy menatapku ragu. Namun matanya berharap banyak.
“Meskipun kita cukup berbeda, nurani dalam jiwaku sangat setia pada kawan-kawanku, terkhusus padamu, Ve, orang yang sangat baik, jujur, dan tulus berteman denganku,” tukasku mantap. Seketika kulihat wajah Vexy mengharu biru.
Pergerakan Misi Rahasia
Akhirnya Vexy mulai mengambil langkah. Mulanya kami melepas chip yang tertanam di lengan kami dengan pisau. Setelah chip sebesar biji jagung itu berhasil ia ambil kami membabat luka di tangan dengan kain dan alkohol yang sudah Vexy sediakan.
Kami tahu resiko dari tindakan tersebut. Yakni menyalanya alarm di pusat yang menandakan ada chip yang sengaja kami lepas. Namun resiko dari perbuatan itu belum terprediksi, hanya saja kami harus segera bertindak.
Vexy kemudian mengajakku masuk lebih dalam ke apartemennya. Kami berjalan melewati lorong demi lorong lalu sampailah kami pada sebuah ruangan yang sangat gelap. Dalam keremangan kulihat di ruangan itu ada benda seukuran lift. Saat memasukinya, hawa panas cahaya berkekuatan tinggi langsung menyengatku.
“Tempat apa ini?” tanyaku gemetar, lantaran tubuh yang menegang menahan panas. Vexy tak menjawab, namun aku mulai mendikte alat apa yang berada di depanku itu. “Kita akan teleportasi?”
Alat-alat Canggih
Aku terus mendesak. “Ini alat teleportasi itu? Yang bisa membawa kita sampai jarak satu kilometer? Gila! Kau bahkan sudah memilikinya di rumahmu padahal belum pemerintah resmikan!”
Vexy tak menggubris. Dia fokus menekan tombol-tombol hologram.
“Pakai ini!”
“Apa ini?”
“Ini jubah menghilang!”
“Kau sungguh luar biasa, Kawan!”
Jubah menghilang. Alat itu bisa membuat tubuhku menjadi tak terlihat. Jubah itu juga salah satu penemuan hebat yang sayangnya belum diresmikan. Aku tak tahu darimana Vexy mendapat benda-benda ajaib ini.
Di kejauhan suara sirine polisi terdengar mengaung-ngaung. Aku tahu segerombolan polisi tengah menuju ke sini hendak memeriksa chip yang diketahui telah dilepas.
“Kita akan kemana?” tanyaku. Wajahku mulai pias.
Vexy tak menjawab. Sejenak aku mulai merasakan pergerakan alat itu. Tubuhku bergoyang. Lalu sesuatu seakan menarik tubuhku dengan paksa sehingga membuatku pusing. Dan tiba-tiba saja, aku sudah berada di sebuah tempat berbeda.
“Di mana kita?”
“Tentu saja gedung tempat guruku ditahan,” jawabnya tegas.
Aku terbelalak. Ini sangat menakjubkan! Alat teleportasi ini ternyata bisa berpindah lebih dari satu kilometer!
Penjara
Kami berada pada lorong panjang dengan laser merah di depannya. Sulit menembus laser-laser merah di sepanjang lorong gedung ini. Laser itu dapat mengetahui orang-orang selain petugas dan orang berkunjung yang sudah melakukan check-in di lobi. Dalam artian, aku dan Vexy, jika nekat menembusnya, maka alarm keamanan akan meraung memenuhi langit-langit gedung.
Aku juga melihat Vexy tengah menimbang. Menjengkelkannya, dalam kebingungan itu terdengar sebuah ceramah dari langit-langit ruangan. Ceramah dadakan seorang petinggi!
“Orang beragama adalah ancaman. Mereka seharusnya menyembah pada otak manusia. Mengabdi sepenuhnya pada ilmu pengetahuan. Ber-Tuhan hanya akan membuatnya ragu, plin-plan, banyak menimbang, tak punya pendirian dan tampak kaku!”
Maka tak perlu penjelasan, bahwa para petinggi telah memutuskan untuk menindaklanjuti adanya penganut agama di negeri ini setelah salah satunya diketahui melepas chip pendeteksi tubuh bagian dalam.
Petinggi itu menyatakan bahwa 73 penganut agama di negeri ini telah diamankan dan terdapat dua orang tersangka yang hendak merencanakan sesuatu. Maka tak butuh waktu lama, aku dan Vexy telah menjadi buronan.
Buronan Nasional
Dalam waktu singkat, wajah kami terpampang pada hologram-hologram di setiap tempat umum. Namun rupanya kami masih selamat 20 menit setelahnya saat Vexy, entah alat dari mana berhasil mematikan laser tersebut. Sejujurnya aku tercengang atas tindakan-tindakannya. Tapi aku segera teringat ucapannya soal dia yang tengah menyiapkan sesuatu. Mungkin inilah salah satu dari sesuatu tersebut. Alat pemadam laser keamanan.
2 menit setelahnya kami melakukan teleportasi kembali. Rupanya benda teleportasi itu, asalkan tidak ada cahaya elektronika yang lain, dia bisa kita hidupkan, terbentuk, dan mulai berfungsi.
Kami telah sampai di depan ruangan tempat Habib ditahan dan bersembunyi di balik tembok besi. Sayangnya, sebuah teriakan menghentikan gerakan kami.
“Guru Habib hilang!” pekikku tertahan kepada Vexy. Mengulangi laporan seorang petugas yang kudengar. Padahal sangat jelas, tidak ada tanda-tanda Habib kabur, ruangan yang dibobol, atau alarm peringatan. Habib menghilang begitu saja. Hilang tanpa jejak.
Di sampingku, Vexy terdiam. Tak ada kata-kata yang keluar sampai beberapa detik setelahnya dia mengatakan sebuah kata: “Moskwa.”
Borgol
“Jangan bergerak!”
Belum sempat aku menyerap gumaman Vexy dan bertanya apa itu Moskwa, 3 orang petugas menodongkan senjata laser kepada kami. Rupanya, kami tak sadar jika jubah menghilang yang kami pakai terjatuh saat teleportasi.
Kami pun tertangkap. Pasrah menyerahkan diri. Tanpa perlawanan.
Aku ingat, kala itu Vexy memegang erat tanganku sampai terlepas akibat ditarik petugas, “Jaga dirimu, Reinero,” ucapnya tulus dengan wajah yang pias.
Setelahnya kami terpisahkan di depan ruangan Habib.
Para petugas itu menyerahkanku kepada polisi yang membawaku ke Lapas Pusat. Aku di penjara di gedung bawah tanah lantai ke-999. Sementara Vexy dibawa kemana aku tidak tahu.
Petugas sudah mengetahui bahwa aku bukan seorang penganut sehingga mungkin saja hukumannya berbeda.
Di Balik Tembok dan Jeruji Besi
Selama di penjara aku tidak begitu tahu keadaan dunia luar. Tapi dari seorang petugas penjara yang berbincang, Habib tak berhasil ditemukan di mana pun. Bahkan di negara-negara lain. Padahal di zaman ini, orang hilang mudah kita temukan paling lambat dalam jangka waktu 2 hari. Namun katanya, chip pendeteksi di tubuh Habib tidak menyatakan keterangan rusak atau terlepas. Chip itu dinyatakan mati total.
Satu bulan setelah menghilangnya Habib, berita dipenuhi dengan tragedi mengerikan menghilangnya seorang penganut agama. Spekulasi negatif menganggapnya sebagai perbuatan aneh yang tidak lazim di zaman ini.
Anggapan lain mengatakan bahwa itu adalah hukuman karena mengingkari pengetahuan di zaman ini. Ada juga yang mengaitkan kejadian tersebut dengan kemutakhiran teknologi, yang menyatakan Habib pindah ke alam lain melalui sebuah portal.
Aku jadi teringat ucapan terakhir Vexy. Moskwa. Apa itu Mokswa?
“Tragedi ini telah kami pelajari dari arsip abad ke-20-an. Itu dinamakan karomah. Yakni kejadian luar biasa yang diberikan kepada penganut dari sesuatu yang dipercayainya,” terang seorang petinggi pada pertemuan nasional.
Ruangan seketika riuh.
“Tidak masuk akal,” sanggah yang lain.
“Benar”
“Itu adalah tanda agar kita tak perlu beragama! Kita akan menghilang dalam kefanaan!”
“Betul! Kita ingin abadi!!!”
Menjemput Cahaya
Suatu ketika seorang sipir melempar sebuah kertas ke dalam ruang tahananku.
“Reinero, kesunyian juga memiliki suara. Namun suara itu membutuhkan jiwa yang bisa mendengarnya. Jiwa itu adalah yang tenang yang meniadakan dirinya sendiri, lalu menjelmakan sukmanya dengan Kebesaran Tuhan yang terangkat menuju Salik-Nya.”
Vexy. Aku yakin surat itu dari Vexy. Entah bagaimana caranya dia bisa menulis surat ini lalu berhasil menyampaikannya padaku. Hanya saja, setelah kedatangan surat itu, entah mengapa jiwaku semakin hampa dan kosong. Meski sesekali masih terdengar desas-desus soal menghilangnya Habib, tak lagi aku bergairah mendengarnya
Hingga sampai bulan berikutnya, rupanya para ilmuwan masih meributkan soal menghilangnya Habib. Namun para ilmuwan tidak kehilangan fokusnya dan meminta agar proyek pendeteksi jiwa lekas diproses kembali. Saat itulah telingaku berdiri kembali, saat mendengar bisikan satu nama yang dikantongi untuk dijadikan eksperimen pengganti Guru Habib: Vexya Goervo. []