Mubadalah.id – Dzulhijjah merupakan bulan yang membahagiakan. Betapa tidak, di bulan ini, kita akan menyantap daging qurban yang sudah berubah jadi masakan yang lezat. Namun, di balik lezatnya rendang sapi dan sate kambing yang menggugah selera itu, ada perasaan campur aduk yang muncul dalam diri ini.
Saya terpikir apakah saudara muslim di luar sana juga merasakan hal yang sama? Merasakan apa yang saya cicipi, apa yang keluarga kami nikmati, yakni makan daging olahan di momen lebaran.
Saya yakin tak sedikit saudara muslim yang tidak dapat mengecap empuknya sate kambing atau rendang sapi di hari lebaran. Hal ini sangat mungkin terjadi, sebagaimana pendistribusian dana ZIS (Zakat, Infaq, Sedekah), dan Bansos yang tidak merata, dan salah sasaran. Pembagian daging kurban pun sangat berpotensi tidak adil. Ada pihak-pihak yang seharusnya menerima jatah malah terlewatkan, sehingga mau tak mau hanya bisa makan seadanya.
Sudah Adilkah Kita terhadap Sesama?
Jika benar demikian, kita perlu merenungkan “sudah adilkah kita terhadap sesama”. Di saat kita bisa menyantap opor ayam, sate kambing, dan rendang sapi, ada para fakir miskin yang tak mendapat porsi karena sifat lalai dan kurang telitinya kita. Salah satu alasannya karena sifat ingin menang sendiri dalam diri kita, tabiat tamak dan rakus yang membelenggu diri kita, dan lain-lain.
Sifat-sifat tersebut juga masih ketambahan dengan sifat ‘berlebih-lebihan’ yang ada dalam diri kita. Seringkali kita itu merasa tak pernah bergaya hidup berlebih-lebihan. Padahal ketika makan sate, kita habis 10 tusuk. Waktu konsumsi daging sapi, kita habis dua porsi. Saat di kamar mandi, kita berlama-lama menggunakan air. Apakah hal-hal itu tidak berlebih-lebihan?
Perangai berlebih-lebihan, dalam hal apa pun (kecuali sedekah), termasuk dalam urusan ibadah haji, ternyata tidak baik dan mendapat kritikan. Adalah Prof. K.H. Ali Mustafa Yaqub, M.A. dengan bukunya yang cukup menggelitik yaitu “Haji Pengabdi Setan”.
Buku ini adalah Bungai Rampai, kumpulan esai dengan berbagai topik. Nah, Haji Pengabdi Setan merupakan salah satu judul pada buku garapan ulama yang pernah menjabat Imam Besar Masjid Istiqlal itu.
Haji Pengabdi Setan
Dalam buku Haji Pengabdi Setan, Prof. Ali mengkritik orang-orang yang pergi haji lebih dari satu kali. Padahal Nabi Muhammad Saw hanya berhaji satu kali. Orang-orang itu adalah siapa saja yang telah menunaikan ibadah (wajib) haji namun kemudian mengulangi (bahkan berulang-ulang). Dalih mereka adalah mengamalkan sunnah, tapi kondisi sosial-ekonomi masyarakat di sekitarnya tak ia perhatikan.
Prof. Ali mempertanyakan niat mereka yang pergi haji hingga berulang-ulang. Apakah sungguh karena Allah SWT atau ada niat lain, seperti untuk pamer dan mendapat pengakuan dari masyarakat. Terlebih lagi, tidak ada ayat atau hadis yang menyuruh kita haji berkali-kali. Sementara masih ada segudang kewajiban agama di depan kita?
Nabi Saw sang mataharinya dunia kalau menurut Nasida Ria, hanya berhaji satu kali dalam hidupnya yakni haji wada atau haji perpisahan pada 10 H. Tepat tiga bulan sebelum ia wafat. Masih dalam buku yang sama, tersebutkan bahwa Nabi saw juga dapat melaksanakan ibadah umrah ribuan kali. Namun Nabi hanya melakukan umrah sunnah tiga kali dan umrah wajib bersama haji sekali.
Ulama yang wafat pada 2016 itu mengekspresikan “kekesalannya” terhadap orang-orang yang gemar haji berkali-kali dengan menuliskan,
“Ketika banyak anak yatim telantar, puluhan ribu orang menjadi tunawisma akibat bencana alam, banyak balita busung lapar, banyak rumah Allah roboh, banyak orang terkena pemutusan hubungan kerja, banyak orang makan nasi aking, dan banyak rumah yatim dan bangunan pesantren terbengkalai, lalu kita pergi haji kedua atau ketiga kalinya, kita patut bertanya pada diri sendiri, apakah haji kita itu karena melaksanakan perintah Allah?”
Ia juga mengajukan pertanyaan dengan menyampaikan, “Atau sejatinya kita mengikuti bisikan setan melalui hawa nafsu agar di mata orang awam kita disebut orang luhur? Apabila motivasi ini yang mendorong kita, berarti ibadah haji kita bukan karena Allah, melainkan karena setan.”
Selaras dengan Kaidah Fikih
Kritikan terhadap orang yang berhaji berulang kali juga selaras dengan kaidah fikih. Kaidah fikih menyebutkan, al-muta’addiyah afdhal minal qashirah (ibadah sosial lebih utama daripada ibadah individual). Haji adalah ibadah individual, sedangkan ibadah sosial adalah ketika kita menyantuni anak yatim, memberi makan fakir miskin, menolong yang tertindas dsb.
Prof. Ali juga menekankan tentang bagaimana Allah SWT dapat kita temui melalui ibadah sosial, bukan ibadah individual. Dalam hadis qudsi riwayat Imam Muslim ditegaskan, Allah SWT dapat kita jumpai di sisi orang sakit, orang kelaparan, orang kehausan, dan orang menderita. Nabi Saw tidak menyatakan Allah SWT dapat ditemui di sisi Ka’bah.
Betul bahwa, dalam syariat Islam, tidak ada larangan haji berkali-kali. Bagi yang mampu, menunaikan ibadah haji diwajibkan hanya satu kali selama hidupnya, jika dilakukan lebih dari sekali maka hukumnya sunnah. Hal ini sesuai hadits Nabi Saw.
“Kewajiban haji itu satu kali. Barang siapa yang menambah lebih dari sekali maka hukumnya sunnah” (HR. Ahmad)
Meski begitu, inti dari kritik Prof. Ali tersebut saya kira sudah terang benderang, bahwa kita cukup sekali beribadah haji seumur hidup. Tidak perlu melampaui batas apalagi jika niat kita sudah salah kaprah. Ada baiknya, apabila punya uang berlebih, kita pergunakan untuk membantu sesama manusia, apalagi di era di mana pekerjaan sulit didapat, pengangguran kian merajalela.
Ujian Keimanan Kita
Dalam konteks agama, problem pengangguran, kemiskinan, penindasan, dan lain sebagainya, yang masih mendera bangsa ini, merupakan salah satu bentuk ujian dari Allah SWT, yang dibebankan bagi kaum lemah dan mungkin yang dilemahkan. Allah SWT sedang menguji kesabaran, kesungguhan iman, dan kualitas seseorang.
Allah SWT menguji iman hambanya tidak saja kepada kaum yang lemah, tetapi juga kepada golongan ningrat yang banyak duitnya. Orang-orang dengan harta kekayaan yang tumpah ruah, tentu akan diuji dengan banyak hal, yang terkadang tidak disangka-sangka.
Maka, ada orang yang kaya sukses menjalani ujian tersebut karena dapat menggunakan hartanya menjadi maslahat untuk agama. Namun, ada juga orang yang kaya justru gagal dengan ujian tersebut lantaran terlena dengan hartanya. Termasuk, dalam hal ini, ketika tak sedikit orang lebih memilih untuk melaksanakan ibadah haji berulang kali, namun lupa dengan orang-orang miskin di sekitarnya, itu juga bentuk ujian keimanan.
Bagi mereka, ibadah individual mungkin jauh lebih penting daripada ibadah sosial. Jika dari awal niat haji sudah bukan karena Allah SWT, melainkan menuruti hawa nafsu seperti ingin pamer pencapaian, mendapat pujian dari orang lain, menunjukkan status sosial ekonomi, maka ini juga ujian.
Orang berduit memang akan mendapatkan banyak cobaan dan ujian, selain nikmat tentu saja. Punya banyak harta tidak lantas membuat iman kita tangguh. Keimanan orang kaya diuji melalui kemampuan mereka untuk mensyukuri kekayaan yang mereka miliki, menggunakan harta mereka untuk kebaikan, dan menghindari kesombongan dan keterikatan pada harta.
Bujuk Rayu Setan
Setan akan istiqamah menggoda kita dimanapun berada. Jika iman goyah, kita akan mudah terbujuk rayuannya untuk misalnya, melakukan kejahatan yang berefek negatif bagi diri sendiri maupun orang lain. Misalnya, membelanjakan harta untuk membeli minuman keras dan bermain judi. Akan tetapi, setan rupanya tidak saja memikat kita untuk berperilaku buruk, juga menyuruh kita untuk senantiasa beribadah.
Kembali ke bukunya Prof. Ali Mustafa Yakub, menyebutkan bahwa sahabat Abu Hurairah pernah disuruh setan untuk membaca ayat kursi setiap malam. Bukankah itu bentuk kebaikan? Maka ketika banyak orang melakukan ibadah haji berulang-ulang, bahkan di daerah saya ada yang sampai tujuh kali, patut kita pertanyakan niat suci mereka. Jangan-jangan, mereka beribadah karena bujuk rayu setan.
Iblis sudah sangat berpengalaman menggoda manusia. Seperti yang diungkap Prof. Ali, bahwa iblis tahu betul apa selera manusia. Orang yang hobi beribadah tidak akan disuruh iblis untuk minum khamr. Tapi Iblis menyuruhnya, antara lain, beribadah haji berkali-kali. Ketika manusia beribadah haji karena mengikuti rayuan iblis melalui bisikan hawa nafsunya, maka saat itu tipologi haji pengabdi setan telah melekat padanya.
Lebih parahnya lagi, jika orang-orang yang berhaji berulang kali itu lupa dengan kalangan miskin di sekitarnya. Jadilah, yang lapar makin lapar, yang kurus makin kurus, dan yang tertindas makin menderita, karena tak tersentuh uluran tangan orang-orang kaya di sekitarnya.
Poinnya, jika seseorang memiliki kewajiban yang lebih penting daripada haji berkali-kali, maka kewajiban tersebut harus terpenuhi terlebih dahulu. Orang-orang yang berniat haji berkali-kali juga semestinya sadar bahwa di luar dirinya ada jutaan orang yang masih antri mendapat panggilan haji. Mereka sudah mendaftar dan tentu akan sangat melelahkan jika harus menunggu lebih lama lagi. Alangkah baiknya, yang sudah berhaji, memberikan jalan yang lebih lebar lagi kepada yang belum haji.
Jangan sampai niat baik melakukan haji terus menerus, malah mendapat cap negatif dari masyarakat. Jangan sampai kita dianggap serakah. Filsuf Yunani, Plato, berpandangan setiap orang bisa hidup sejahtera secara merata, maka manusia perlu dan berkewajiban mengendalikan nafsu keserakahannya untuk memenuhi semua keinginan yang melebihi kewajaran. []