Mubadalah.id – Alimat menggelar kegiatan Monitoring dan Evaluasi (Monev) Sosialisasi Sikap dan Pandangan Keagamaan KUPI tentang Praktik Pemotongan dan/atau Perlukaan Genitalia Perempuan (P2GP) pada Minggu, 9 November 2025. Kegiatan secara daring itu diikuti oleh para dosen UIN Sultan Maulana Hasanuddin.
Ketua Alimat Dr. Iklilah Muzayyanah mengatakan bahwa forum ini bukan sekadar pertemuan akademik, melainkan momentum meneguhkan arah gerakan perempuan berbasis nilai-nilai Islam.
“Hari ini kita bersama-sama merancang agenda lanjutan dari sosialisasi sebelumnya. Kita punya semangat untuk melakukan cek kultural melalui naskah reflektif. Forum hari ini penting karena kita ingin memastikan bahwa kerja-kerja kemanusiaan kita tidak hilang karena tidak terdokumentasikan,” ujarnya membuka sesi.
Dr. Iklilah mengingatkan bahwa dokumentasi adalah napas panjang gerakan. Tanpa catatan, tanpa refleksi, pengalaman berharga itu akan menguap bersama waktu.
Karena itu, Alimat menjadikan forum Monev ini sebagai bagian dari upaya menulis sejarah dari sudut pandang perempuan. Terutama terkait sosialisasi pandangan keagamaan KUPI (Kongres Ulama Perempuan Indonesia) tentang Praktik Pemotongan dan/atau Perlukaan Genitalia Perempuan (P2GP).
“Insya Allah, pada tanggal 19 November nanti, kami akan mengadakan seminar nasional sekaligus launching buku hasil dokumentasi pengalaman sosialisasi tersebut,” lanjutnya.
“Apa yang kita lakukan hari ini diharapkan bisa menjadi cikal bakal untuk buku kedua pada tahun 2026, sebagai bukti nyata bahwa kita semua terus melakukan upaya bersama dalam kerja-kerja kemanusiaan dan keadilan berbasis Islam,” tambahnya.
Gerakan Kemanusiaan Perempuan
Lebih jauh, Dr. Iklilah menegaskan bahwa gerakan perempuan tidak boleh kehilangan arah nilai. Ia menyebut tiga prinsip utama yang menjadi napas gerakan kemanusiaan perempuan dalam Islam yaitu meningkatkan kesadaran, memperluas pilihan, dan menghapus stratifikasi gender.
“Dalam isu P2GP, kita perlu melihat bagaimana relasi kuasa bekerja secara kompleks, baik dalam sistem keluarga, adat, maupun sosial. Gerakan kemanusiaan bagi perempuan memberi ruang bagi setiap orang untuk menjadi subjek aktif, bukan objek yang tidak punya pilihan. Dengan pengetahuan yang benar, perempuan bisa berkata ‘tidak’ terhadap praktik yang merugikan dirinya,” jelasnya.
Pernyataan itu menjadi penegasan bahwa pandangan keagamaan KUPI bukan sekadar fatwa. Melainkan bagian dari transformasi sosial yang berakar pada pengalaman perempuan sendiri. Sebuah cara pandang baru yang mengaitkan teks keagamaan dengan konteks kemanusiaan. []










































