Tulisan ini berangkat dari kegelisahan penulis dengan kondisi yang ada di daerahnya. Sebuah desa di wilayah Tapal Kuda Jawa Timur. Desa terpencil dari kabupaten kecil di Bondowoso. Walaupun begitu secara aspek globalisasi dan modernitas bisa dikatakan sudah cukup berkembang. Hal ini dengan ditandai dengan mudahnya akses internet untuk beberapa rumah, yang menggunakan wiffi, serta mayoritas sudah menggunakan smartphone dalam kesehariannya.
Ironisnya kondisi ini tidak lantas membuat masyarakat sekitar juga mengalami kemajuan dalam memahami urgensi pendidikan bagi anak-anak mereka. Pemahaman lama bahwa perempuan pada akhirnya akan menjadi ibu rumah tangga, membuat anak-anak perempuan sering kali putus sekolah, bahkan memilih tidak bersekolah. Selain karena beberapa karena masalah ekonomi, ada juga yang secara terang-terangan menyatakan bahwa, jauh lebih baik di rumah belajar mengurus rumah agar nanti ketika menikah tidak kaku mengurus suami.
Mindset bahwa perempuan akan menjadi pelayan bagi suaminya, dan ketaatan perempuan kepada suami, serta restu suami menjadi syarat mutlak masuk surga menjadi pegangan yang masih sangat kuat. Selain itu, anggapan bahwa perempuan yang berpendidikan tinggi akan sangat ditakuti oleh laki-laki untuk melamarnya.
Sehingga, perempuan setidaknya sama atau bahkan kalau bisa memiliki tingkat pendidikan yang lebih rendah dari suaminya kelak. Agar Si Suami tidak merasa malu. Lagi-lagi di sini konstruk yang dibangun sangat mensubordinatkan perempuan.
Dari sini lah kemudian, budaya nikah anak itu seakan menjadi ajang perlombaan di pedesaan yang beranggapan ketika anak perempuannya ada yang melamar adalah suatu kebanggaan tersendiri. Meskipun pada saat itu usia mereka masih awal belasan tahun.
Bahkan tak jarang ada yang melangsukan pernikahan di usia tersebut karena dorongan ekonomi keluarga yang sangat minim. Tanpa melihat dampak negatif yang akan ditimbulkan. Yang terfikirkan oleh mereka adalah anaknya bahagia memiliki suami yang sudah bekerja, dan orang tua lepas tanggung jawab membiayai anaknya.
Selain karena faktor ekonomi, belakangan nikah anak di desa penulis terjadi sebab terjadi hal yang tidak diinginkan. Kondisi ini terjadi biasanya ketika anak-anak perempuan yang melanjutkan sekolah hingga tingkat menengah atas dan menjalin hubungan asmara (re: pacaran). Karena takut dianggap menyalahi hukum dan syariat agama, keluarga mereka jadi buru-buru melakukan acara lamaran.
hal itu dilakukan agar terlihat bahwa hubungan mereka sudah diakui oleh keluarga masing-masing. Namun, yang sangat disayangkan lamaran di sini justru membuat mereka tambah mengentengkan seakan-akan telah memiliki hubungan layaknya suami istri yang telah menikah. Sehingga, bebas melakukan apa saja, yang menyebabkan terjadi hamil di luar nikah dan berujung pada disegerakannya menikah, tanpa mempertimbangkan mereka belum menuntaskan pendidikannya.
Kondisi ini beberapa kali terjadi, dan yang menjadi sangat menyedihkan beberapa anak yang terlahir dari KTD ini berjenis kelamin perempuan. Yang jika dilihat dari perspektif agama, nasab mereka belumlah jelas, meskipun laki-laki yang menghamili si perempuan, bertanggung jawab dan menikahinya serta menjadi ayah dari si anak tadi.
Lagi-lagi sejak bayi perempuan telah menjadi korban yang tak memahami apa-apa. Pernikahan di sini sering kali terjadi pada remaja desa yang masih berusia belasan tahun, sehingga tak jarang ketika anak mereka lahir akan terlihat beberapa anak-anak sudah menggendong anak. Ya, diusia yang sangat muda remaja-remaja perempuan di sini sudah harus mengasuh anak mereka sendiri. Padahal pada kondisi tersebut proses pendewasaan mereka belum tuntas.
Anak-anak perempuan dan juga laki-laki yang melangsungkan pernikahan anak pada dasarnya mereka tidaklah pernah siap memasuki dunia tersebut. Ada banyak aspek yang sangat berdampak pada mereka, mulai dari kesiapan mental bagi anak-anak yang masih cenderung labil. Kesiapan finansial yang tentu pada usia tersebut dengan pendidikan yang sangat rendah mereka tidak akan memiliki pekerjaan, sehingga akan menumpang di rumah orang tua, bahkan dibiayai oleh orang tua mereka.
Dan juga kesiapan secara reproduksi, pada usia remaja organ reproduksi belum siap sepenuhnya untuk dibuahi terlebih pada perempuan. Sehingga tak jarang banyak terjadi permasalahan ketika akan melahirkan, pada perempuan yang menikah di bawah usia 20an.
Dampak yang sangat menyedihkan adalah ketika kedua pasangan ini belum siap menerima berbagai polemik dalam hubungan keluarga, tak jarang membuat beberapa pasangan nikah muda berakhir pada perceraian di usia pernikahan yang masih sangat muda pula.
Beberapa anak perempuan yang menikah di usia remaja, selang beberapa tahun ketika anak mereka sudah bisa berjalan dan bermain dan membutuhkan biaya untuk pendidikan membuat orang tua mereka bingung, sedangkan kesiapan mereka secara finansial masih dapat dikatakan sangat kurang dan jauh dari kata cukup. Sehingga tak jarang si suami akan memutuskan untuk bercerai dan meninggalkan istri dan anaknya tanpa rasa bersalah. Lagi-lagi perempuan yang dirugikan di sini.
Pernikahan anak pada dasarnya adalah suatu bentuk eksploitasi pada anak dengan berbagai faktor pendorong yang melanggengkan ini terjadi. Terlebih biasanya anak perempuan yang kerap kali menjadi korban dalam kasus ini. Ada banyak faktor seperti yang sudah dipaparkan di atas.
Meskipun usia pernikahan sudah diatur dalam Undang-Udang, namun tidak serta merta merubah apa yang sudah membudaya di masyarakat. Hal ini ditandai dengan meningkatnya dispensasi kawin karena alasan tertentu yang diajukan. Lantas apakah hukum yang berlaku ini bisa dikatakan efektif? []