Mubadalah.id – Beberapa waktu lalu, sebuah video Tiktok lewat di berandaku, isi kontennya sebuah foto dengan tulisan “Apa rasanya kehilangan mama?” Pertanyaan sederhana itu seperti membawaku kembali ke 21 tahun lalu, hari ketika mama berpulang.
Setiap 29 September, aku selalu diingatkan pada satu peristiwa yang mengubah seluruh jalan hidupku: hari kepergian mama, tepat di tahun 2004. Waktu itu aku masih kecil, terlalu polos untuk benar-benar memahami arti kehilangan mama.
Yang aku tahu hanya rumah jadi lebih sepi, dan ada ruang kosong yang tidak pernah bisa digantikan siapa pun. Butuh waktu sekitar dua puluh tahun bagiku untuk benar-benar menerima kenyataan itu. Justru di titik itulah duka terasa semakin nyata.
Aku mulai kehilangan detail tentangnya: suara yang dulu begitu dekat perlahan memudar. Karena waktu itu belum ada alat elektronik seperti sekarang, satu-satunya tempat mama tersimpan hanyalah di dalam kepalaku. Dan ketika ingatan itu samar, rasanya seperti kehilangan untuk kedua kalinya.
Puncak Kehilangan Mama
Banyak orang mengira kehilangan terasa di hari kematian. Tapi untukku, puncak kehilangan mama justru datang jauh setelahnya, saat aku mulai menyadari betapa sulitnya melanjutkan hidup tanpa sosok yang selama ini jadi pusat kasih sayang.
Dalam psikologi, ini dikenal dengan istilah delayed grief atau duka yang muncul terlambat. Menurut William Worden dalam Grief Counseling and Grief Therapy (2009), beberapa anak tidak mampu langsung merasakan penuh kehilangan orang tuanya, tetapi akan mengalaminya kembali saat dewasa ketika emosi dan pemahaman mereka lebih matang. Pengalaman itu persis seperti yang aku alami.
Dampak yang Aku Rasa
Kehilangan mama bukan hanya soal tidak ada lagi sosok yang menyayangi tanpa syarat. Dampaknya terasa dalam banyak hal: aku sering merasa kosong, terutama di momen-momen penting seperti wisuda, pernikahan, atau ketika aku menjadi seorang ibu. Ada bagian diriku yang terus merasa “Andai mama ada di sini.”
Psikolog menyebut kehilangan orang tua di usia kecil dapat meninggalkan luka mendalam pada perkembangan emosi. Anak bisa merasa kurang aman, lebih rentan cemas, atau kesulitan menjalin kedekatan (Kennedy, Journal of Child Psychology, 2010). Namun, seiring waktu, sebagian juga bisa mengembangkan resiliensi, kemampuan bangkit dari luka dan menjadikannya sumber kekuatan.
Selain itu, kehilangan mama di usia kecil juga membuatku tumbuh dengan perspektif yang berbeda tentang arti keluarga. Aku sering merasa iri melihat teman-teman yang masih bisa bercerita, bercanda, atau sekadar bersandar di pangkuan ibu mereka.
Rasa iri itu pelan-pelan berubah menjadi kesadaran bahwa setiap orang punya ujiannya masing-masing. Kehilangan mengajarkanku untuk lebih menghargai momen kecil bersama keluargaku, karena kita tidak pernah tahu kapan waktu itu akan terhenti.
Pelajaran dan Refleksi
Dari sisi spiritual, Islam menegaskan bahwa setiap jiwa pasti akan merasakan mati (QS. Ali Imran: 185). Kehilangan mamaku bukanlah akhir, melainkan panggilan untuk melanjutkan kebaikan mereka.
Rasulullah SAW bersabda: “Apabila manusia meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali tiga hal: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan doa anak saleh” (HR. Muslim).
Hadis ini selalu menjadi pengingat bahwa meski mama sudah tiada, aku tetap bisa terhubung dengannya lewat doa. Kehilangan mama justru mendorongku untuk lebih sering mendoakan, agar kasih sayang itu tidak berhenti.
Filsuf Prancis Jean de La Fontaine pernah mengatakan: “Death never takes the wise man by surprise, he is always ready to go. But it is the living who suffer.” Kalimat ini terasa sangat benar, karena yang paling berat dari kematian bukanlah bagi yang pergi, melainkan bagi kita yang ditinggalkan untuk menanggung rindu dan kekosongan.
Pelajaran lain yang aku dapat adalah bahwa duka tidak selalu selesai sekaligus. Kadang ia datang dalam bentuk-bentuk kecil: ketika ingatan memudar, ketika rindu tak terjawab, atau ketika kita sadar tidak ada lagi pelukan yang bisa dirasakan. Tapi di balik itu semua, aku belajar bahwa cinta seorang ibu tidak pernah benar-benar hilang.
Kehilangan Rumah Paling Aman
Apa rasanya kehilangan mama? Rasanya seperti kehilangan rumah yang paling aman dalam hidup. Rasanya seperti harus belajar tumbuh tanpa pegangan yang paling kukenal.
Dan setiap 29 September, hari itu selalu menempel dalam ingatanku, sama kuatnya seperti aku mengingat hari ulang tahunku. Hari ketika dunia berubah, dan hari ketika aku merasa harus lebih banyak mengirim doa untuk mama.
Bukan sekadar mengenang duka, tapi juga merayakan cinta yang masih tetap hidup. Meski suara mama tak lagi jelas di ingatan, cintanya tetap ada di setiap langkahku. Mungkin inilah cara Tuhan menunjukkan bahwa kasih seorang ibu tidak pernah benar-benar pergi.
Kini, dua puluh satu tahun setelah kepergiannya, aku sadar bahwa kehilangan berubah bentuk menjadi rindu yang datang tiba-tiba, atau menjadi kekuatan yang mendorongku untuk terus melangkah. Dan di setiap langkah itu, aku percaya mama tetap ada, bukan secara fisik, tapi melalui doa, nilai, dan cinta yang beliau tinggalkan. Al-fatihah. []