• Login
  • Register
Jumat, 6 Juni 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

Apakah Semua Perempuan Terlahir Menjadi Ibu?

Sayangnya, masyarakat patriarkis justru menanamkan pandangan bahwa pencapaian terbesar seorang perempuan lajang ialah menikah, dan karir terbaik perempuan yang sudah menikah ialah menjadi ibu yang baik bagi keluarganya

Yuyun Khairun Nisa Yuyun Khairun Nisa
23/06/2022
in Personal
0
Menjadi Ibu

Menjadi Ibu

425
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Menjadi perempuan di tengah masyarakat patriarkis, tentu harus berhadapan dengan banyak tantangan serta tuntutan. Perempuan lajang memasuki usia 25 tahun ke atas rentan mendapat label negatif, dengan sebutan perawan tua atau perempuan “tidak laku”. Terlebih ketika harus berhadapan juga dengan pertanyaan, apakah semua perempuan terlahir menjadi ibu?

Sebaliknya laki-laki lajang berusia 30 tahun atau lebih, justru mendapat label positif sebagai laki-laki mapan. Dan tidak pernah ada pertanyaan tentang, apakah semua laki-laki terlahir menjadi ayah?

Kalaupun perempuan telah menikah di usia sebelum 25 tahun, tantangan dan tuntutan dari masyarakat patriarkis akan tetap berlanjut. Ketika perempuan telah melepas masa lajangnya, mereka seringkali terbebani dengan pertanyaan dari masyarakat perihal keturunan. “Kapan punya anak?” atau “bapak sama ibu engga sabar mau menimang cucu.”

Terlepas dari bermaksud atau tidak untuk mempertanyakan atau mengatakan hal tersebut, ungkapan seperti contoh di atas akan menambah beban rumah tangga. Tak jarang perempuan yang sudah terikat dalam pernikahan tetapi belum mendapat anugerah keturunan, merasa ia belum utuh sebagai perempuan lantaran belum menjadi seorang ibu. Lantas, timbul pertanyaan dalam benak saya. Apakah perempuan terlahir menjadi ibu?

Perempuan sebagai Makhluk Biologis tak Harus Menjadi Ibu

Secara biologis, perempuan memiliki indung telur atau dalam istilah sains ialah ovarium. Organ ini menghasilkan sel telur yang mana akan pecah atau keluar berupa darah saat menstruarsi, jika tidak berhasil dibuahi. Jika sel telur berhasil dibuahi, maka akan membentuk janin yang tumbuh dalam rahim perempuan.

Baca Juga:

Menelusuri Perbedaan Pendapat Ulama tentang Batas Aurat Perempuan

Memaknai Aurat Perempuan secara Utuh

Luka Cinta di Dinding Rumah: Tafsir Feminis-Spiritual atas Tubuh yang Terlupakan

Mengapa dan Untuk Apa Perempuan Memakai Jilbab?

Maka, jawaban dari pertanyaan apakah perempuan terlahir menjadi ibu ialah betul, secara biologis. Namun, jika keadaan biologis perempuan membuatnya sulit atau membutuhkan waktu yang lama untuk memiliki anak, atau bahkan memilih untuk tidak memiliki anak sekalipun, childfree, tidak berarti perempuan kehilangan jati dirinya. Perempuan tetaplah utuh, meski tidak menjadi ibu.

Sedangkan sebagai makhluk sosial, dapat bersanding dengan berbagai macam peran di masyarakat, tidak terpatok hanya dengan menjadi ibu yang mengandung anak. Perempuan dapat menjadi aktivis, pekerja, ulama, tokoh publik yang hebat, profesional dan sukses, dengan atau tanpa hadirnya seorang anak.

Sayangnya, masyarakat patriarkis justru menanamkan pandangan bahwa pencapaian terbesar seorang perempuan lajang ialah menikah, dan karir terbaik perempuan yang sudah menikah ialah menjadi ibu yang baik bagi keluarganya.

Pemaknaan “ibu yang baik” juga seringkali kita glorifikasi. Bahwa ibu yang baik adalah yang selalu 24 jam siap sedia menjaga dan merawat anak dan suami. Ibu yang baik adalah ibu yang selalu bahagia menemani anaknya bermain dan mengurus pekerjaan rumah tangga.

Pengalaman Menjadi Ibu tak Selalu Menyenangkan

Padahal, pengalaman menjadi ibu tidaklah selalu membahagiakan, dan pastinya melelahkan karena menguras energi dan emosi. Menurut paparan Mona Chollet, seorang jurnalis dan penulis berkebangsaan Swiss yang terkenal juga sebagai feminis di Perancis, tertulis dalam bukunya Ester Lianawati yang berjudul Ada Serigala Betina dalam Diri Setiap Perempuan, bahwa ada perempuan yang menyesal memiliki anak.

Mereka merasa akan lebih sejahtera jika saja tidak menikah dan mempunyai anak. Meskipun pengakuan ini sangat jarang kita dapatkan dari perempuan, tetapi jelas ada sebagian perempuan yang mengakui demikian. Hal ini masih bersifat tabu bagi masyarakat patriarkis, karena garis hidup perempuan yang mereka buat ialah setelah menikah, perempuan akan mengandung kemudian melahirkan anak.

Jika kaitannya dengan kesuburan, perempuan akan mudah tertuduh atau merasa bersalah. Karena tidak bisa memberikan keturunan pada keluarga. Perempuan terpaksa untuk rela menerima poligami, atau bahkan menjalani perceraian. Sedangkan, jika laki-laki yang mengalami ketidaksuburan, maka perempuan dibujuk untuk bisa menerima kenyataan tersebut agar tetap bersama.

Peran Ayah dalam Pengasuhan Anak

Oleh karena itu, penting memahami bahwa peran perempuan dalam kehidupan dan masyarakat tidak sebatas menjadi ibu dari seorang anak atau sekedar ibu rumah tangga saja. Selain itu, penting juga bagi pasangan suami-istri untuk menyadari bahwa memiliki keturunan, atau menjadi orang tua bukanlah tanggung jawab perempuan semata.

Memang, faktanya perempuan yang mengandung, melahirkan dan menyusui. Namun, laki-laki juga berperan penting dalam tumbuh kembang anak dengan menjadi pasangan yang supportif. Misalnya, membantu melakukan pekerjaan domestik, menggantikan popok bayi, atau belanja kebutuhan rumah tangga di pasar.

Di samping itu, peran keluarga sebagai support system juga sangat penting. Artnya keluarga menjadi ruang aman bagi perempuan maupun laki-laki, dengan tidak mudah menjustifikasi, menghakimi dan menuntut keduanya dalam persoalan rumah tangga.

Dengan demikian, perempuan yang belum menjadi ibu tidak akan merasa kurang. Dan perempuan yang sudah menjadi ibu akan menjadi perempuan yang bahagia. Tentunya, tidak lepas dari dukungan pasangan yang setara dan keluarga yang saling mengasihi satu sama lain. []

Tags: ayahIbukeluargaLajangmenikahperempuan
Yuyun Khairun Nisa

Yuyun Khairun Nisa

Yuyun Khairun Nisa, lahir di Karangampel-Indramayu, 16 Juli 1999. Lulusan Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Jember. Saat ini sedang bertumbuh bersama AMAN Indonesia mengelola media She Builds Peace Indonesia. Pun, tergabung dalam simpul AMAN, Puan Menulis (komunitas perempuan penulis), dan Peace Leader Indonesia (perkumpulan pemuda lintas iman). Selain kopi, buku, dan film, isu gender, perdamaian dan lingkungan jadi hal yang diminati. Yuk kenal lebih jauh lewat akun Instagram @uyunnisaaa

Terkait Posts

Narasi Hajar

Pentingnya Narasi Hajar dalam Spiritualitas Iduladha

6 Juni 2025
Berkurban

Berkurban: Latihan Kenosis Menuju Diri yang Lapang

6 Juni 2025
Kekerasan Seksual

Perspektif Heterarki: Solusi Konseptual Problem Maraknya Kasus Kekerasan Seksual di Lembaga Pendidikan Agama  

5 Juni 2025
Kesehatan Akal

Dari Brain Rot ke Brain Refresh, Pentingnya Menjaga Kesehatan Akal

4 Juni 2025
Tubuh yang Terlupakan

Luka Cinta di Dinding Rumah: Tafsir Feminis-Spiritual atas Tubuh yang Terlupakan

3 Juni 2025
Kurban

Kurban Sapi atau Kambing? Tahun Ini Masih Kurban Perasaan! Refleksi atas Perjalanan Spiritual Hari Raya Iduladha

2 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Raja Ampat

    Tambang Nikel Ancam Kelestarian Alam Raja Ampat

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Menelusuri Perbedaan Pendapat Ulama tentang Batas Aurat Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Menggali Fikih Ramah Difabel: Warisan Ulama Klasik yang Terlupakan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Iduladha sebagai Refleksi Gender: Kritik Asma Barlas atas Ketaatan Absolut

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Aurat Perempuan: Antara Teks Syara’ dan Konstruksi Sosial

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Pentingnya Narasi Hajar dalam Spiritualitas Iduladha
  • Berkurban: Latihan Kenosis Menuju Diri yang Lapang
  • Makna Wuquf di Arafah
  • Iduladha sebagai Refleksi Gender: Kritik Asma Barlas atas Ketaatan Absolut
  • Aurat Perempuan: Antara Teks Syara’ dan Konstruksi Sosial

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID