Mubadalah.id – Suatu ketika saya terdampar dalam suasana hening, sejuk, juga lengking bambu yang khas, kicauan burung, tokek, dan hewan-hewan lain yang saling bersautan satu sama lain. Acara ngaji pun dimulai selepas sembahyang subuh. Yakni mengaji kitab Aqidatul Awam karangan Syaikh Ahmad al-Marzuqi al-Maliki al-Hasani.
Acara ngaji ini sebagai salah satu rangkaian dari Ngaji Posonan yang digelar di pesantren Budaya Kali Opak Yogyakarta, yang diisi langsung oleh pengasuhnya sendiri, Kiyai Jadul Maula. Dia adalah seorang budayawan cum Ketua Lesbumi PBNU saat ini.
“Inti dari seluruh persoalan yang ada di dunia ini, ujung-ujungnya akan kembali pada Aqidatul Awam”, begitu pernyataan beliau menegaskan saat pembukaan ngaji Posonan sebelum pelaksanaan ngaji kitabnya di pagi hari.
Seketika saya ngebatin, “masa sihh, bukannya Kitab Aqidatul Awam merupakan kitab dasar terkait ketauhidan, namanya juga awam kan?”
Awalnya saya mengira awam merupakan antonim dari khawas, kasarnya antara yang awam dan yang tidak awam. Sehingga itu merupakan kitab yang membahas yang dasar-dasar banget. Ternyata kedangkalan ilmu saya tampak dari pemahaman saya yang juga dangkal untuk memahami itu.
Justru Awam di sini terdapat pemahaman lain yang bisa diartikan sebagai sesuatu yang mengambang dan mengapung. Dengan kata lain, Aqidah di sini menjadi pegangan yang kuat dari banjir kenyataan yang membuat kita mengapung dan terombang-ambing dari arus yang kuat.
Pertanyaannya, kok bisa sih Kitab yang cenderung tipis dan jumlah bait yang juga sedikit ini menjadi pegangan, bahkan menjadi inti kunci dalam menghadapi setiap persoalan hidup?
Positive Vibes Alhamdulillah
Jawabannya adalah eksplorasi dari bait pertama dan kedua dari kitab itu. Khususnya pemahaman terkait “Alhamdulillah.” Inilah yang paling berkesan dan makjlebbb bagi saya pribadi bagaimana eksplorasi kedalaman makna Alhamdulillah dalam praksis kehidupan.
Di mana makna kata Alhamdulillah dapat mengubah persepsi negatif terhadap suatu masalah seakut apapun menjadi sepositif mungkin. Sehingga apapun keadaannya, baik dalam keadaan susah maupun senang. Pokoknya Alhamdulillah sebagai rasa syukur padaNya yang pastinya akan terus memberikan kita yang terbaik (daimul ihsan).
Kalau kata Allah dalam ayat yang lain, apa yang kita cintai terkadang membawa keburukan. Begitupun sebaliknya, apa yang tampak kita benci justru mengandung kebaikan. Sehingga misteri-misteri semacam ini yang sukar kita tangkap. Justru Allah menciptakan manusia dan segala bentuk takdirnya itu tidak main-main, malah manusialah yang acapkali main-main dan melampaui batas.
Vibes positif dari alhamdulillah ini pun menelurkan pada eksplorasi kata “azab” itu sendiri yang acapkali bersanding dengan kata “Nar /neraka” dalam Alquran menunjukkan arti hukuman di dalam neraka, sebenarnya memiliki arti lain yang berarti sejuk.
“Sek sek kok bertentangan, bukannya azab memang hukuman kan?”, begitu respon saya ketika menerima itu. Tapi lagi-lagi saya dikejutkan dengan kekaya-ragaman makna yang dimiliki kata perkata dalam Alquran yang memang demikian kaya.
Apalagi ketika saya teringat dan menemukan rujukan dari tulisan Haidar Bagir yang bertajuk Manisfesto Islam Cinta yang menunjukkan bahwa betapa hukuman Allah pada manusia yang berupa neraka pun merupakan bentuk cinta kasihNya. (Haidar Bagir, 2022, p. 134)
Kedalaman Cinta KasihNya
Saya masih akan melanjutkan dari Haidar Bagir, betapa apiknya ketika Bagir menampilkan argumen-argumen yang menganggap neraka sebagai menifesto cinta Allah pada hambaNya. Sementara yang lain menilai neraka sebagai hukuman bagi hamba-hambaNya yang durhaka dan membangkang.
Menurutnya siksaan secara material memang membuat kita sakit. Tapi bila kita melihat dari aspek teologis spiritual, justru itu merupakan bentuk penyempurnaan cintaNya. Seperti halnya al-nar yang memiliki arti neraka karena memang memiliki sifat panas. Uniknya kata al-nar (نار) seakar kata dengan kata (نور) yang berarti cahaya, yang memiliki sifat menolong untuk mencari jalan saat dalam keadaan gelap. Semua itu tiada lain sebagai bentuk penggambaran sifat Allah yang al-hakim, Yang Maha Bijaksana. (Haidar Bagir, 2022, 136-137).
Di sinilah letak pentingnya bila ilmu Alhamdulillah ini teraplikasikan dalam kehidupan secara benar. Kita tidak akan mudah kecewa saat menghadapi cobaan, dan tidak mudah terlena dan ke-PD-an (Percaya Diri) saat mendapati pujian. Mengucap Alhamdulillah berarti telah menelan obat awal untuk menendang masalah itu sendiri.
Maka dari itu, segala pemberian nikmat Allah kepada manusia, termasuk cobaan dan azab sekalipun adalah bentuk ‘daimul ihsan’. Pastinya baik dan membawa kemaslahatan untuk kita, betapapun beratnya cobaan yang menimpa.
Dengan begitu, power Alhamdulillah ini berupaya mengekstrak sendi-sendi optimis yang tertanam dalam diri kita semaksimal mungkin, dan mengusir sikap pesimis yang hendak mendera seminimal mungkin. Dengan kata lain, apapun persoalan hidupnya, sepelik dan sekompleks apapun, kita mesti kembali pada Aqidatul Awam dengan sebenar-benarnya. Wallahu A’lam bi al-Shawab. []