Mubadalah.id – Di balik banyak pesantren yang berdiri kokoh hari ini—dengan gedung bertingkat, laboratorium, hingga sistem administrasi digital—selalu ada tangan-tangan sunyi yang bekerja tanpa tanda tangan di prasasti peresmian. Mereka adalah para ibu nyai. Perempuan yang kerap berdiri di belakang sorotan, namun sesungguhnya berada di garis paling depan dalam pembangunan pesantren.
Dalam banyak narasi sejarah pesantren, nama-nama kiai lebih sering tercatat. Namun, pesantren tidak pernah hanya terbangun oleh satu tangan. Ia dibentuk oleh kerja bersama, cinta yang dirawat, dan kesabaran yang dijahit setiap hari. Dan dalam ruang kerja bersama itu, ibu nyai adalah arsitek sunyi yang menjaga agar bangunan bernama pesantren tidak hanya berdiri, tapi berdenyut.
Pembangunan Tak Selalu Tentang Bata dan Gedung
Sering kali, ketika mendengar kata “pembangunan pesantren”, pikiran kita langsung melayang ke bangunan fisik: asrama yang baru dicat, gedung sekolah bertingkat, atau menara masjid yang menjulang. Padahal, pembangunan dalam konteks pesantren jauh melampaui urusan fisik.
Pembangunan sejati adalah pembangunan manusia: karakter, akhlak, kesetaraan, dan keberlanjutan nilai. Dalam konteks ini, ibu nyai hadir sebagai figur yang menghidupkan dimensi sosial dan spiritual dari pesantren. Ia yang memastikan dapur tetap mengepul, santri putri mendapat ruang aman, dan anak-anak tumbuh dengan pendidikan berbasis kasih.
Sebuah penelitian oleh Rina Siti Maryam (UIN Jakarta, 2018) menunjukkan bahwa dalam banyak pesantren, peran perempuan dalam pengelolaan lembaga dan pendidikan sering kali tidak terdokumentasi secara formal. Padahal, tanpa mereka, roda pesantren tidak akan berputar seimbang.
Artinya, pembangunan pesantren adalah kerja kolaboratif yang sering kali menempatkan perempuan di ruang yang tidak selalu terlihat, tetapi sangat menentukan.
Bu Nyai sebagai Arsitek Sosial dan Spiritual
Jika kiai menjadi penjaga arah spiritual dan intelektual pesantren, maka Bu Nyai sering menjadi arsitek sosial. Ia mengatur ritme kehidupan pesantren, merancang sistem yang memungkinkan semua unsur hidup berdampingan: santri, keluarga, masyarakat sekitar.
Banyak Bu Nyai yang diam-diam menjadi inovator sosial. Mereka mendirikan PAUD, madrasah diniyah, koperasi santri, hingga usaha kecil berbasis ekonomi pesantren. Semua dilakukan dengan kesadaran untuk membangun kemandirian dan keberlanjutan.
Di sinilah nilai mubadalah (kesalingan) menjadi relevan. Pembangunan pesantren bukan sekadar hasil “kepemimpinan laki-laki”, melainkan hasil kerja saling menguatkan antara suami dan istri, antara kiai dan nyai, antara santri putra dan putri.
Kesalingan ini bukan hanya nilai spiritual, tetapi strategi pembangunan yang berkelanjutan. Tidak ada dominasi, yang ada hanya kolaborasi dan keberlanjutan.
Kesunyian Sebagai Ruang Kekuatan
“Sunyi” sering kita anggap pasif. Padahal, bagi banyak Bu Nyai, kesunyian adalah ruang kekuatan. Dalam sunyi, mereka menata strategi, memantau perkembangan santri, bahkan menjaga keseimbangan batin keluarga pesantren.
Kesunyian Bu Nyai bukan bentuk keterbelakangan, tetapi strategi eksistensi dalam struktur sosial yang masih patriarkal. Ia memilih untuk tidak selalu tampil, tetapi memastikan semua berjalan. Ia membangun dengan sabar, bukan dengan sorotan.
Dalam riset kecil Lembaga Penelitian dan Pengabdian UIN Walisongo (2021), kita temukan bahwa perempuan pesantren sering menjadi aktor utama dalam proses adaptasi pendidikan Islam dengan isu-isu kontemporer—seperti pendidikan anak usia dini, ekonomi kreatif, hingga pendidikan gender. Namun, mereka tidak selalu muncul sebagai tokoh publik; perannya bersifat embedded dalam keseharian.
Itulah mengapa mereka layak kita sebut arsitek sunyi: yang membangun bukan hanya dengan rencana, tetapi dengan kasih yang mengakar dalam praktik harian.
Membaca Ulang Narasi Pembangunan Pesantren
Tulisan ini hendak mengajak kita membaca ulang konsep pembangunan pesantren dari perspektif gender. Bahwa membangun pesantren bukan semata urusan fisik, melainkan juga membangun manusia dan peradaban.
Jika kita berbicara dalam kerangka Sustainable Development Goals (SDGs), khususnya SDG 4 (Pendidikan Inklusif) dan SDG 5 (Kesetaraan Gender), maka peran bu nyai sebenarnya telah lama menjadi pelaku utama di akar rumput. Mereka menciptakan model kepemimpinan kolaboratif yang berbasis kasih dan keberlanjutan — model yang justru kini menjadi paradigma baru pembangunan dunia.
Dengan demikian, pemberdayaan Bu Nyai bukanlah “bonus” dalam pembangunan pesantren, melainkan pondasi yang perlu diakui secara struktural.
Sudah saatnya pesantren memasukkan nama-nama perempuan dalam ruang pengambilan keputusan, dalam kurikulum kepemimpinan santri, dan dalam sejarah resmi pesantren.
Di Balik Tirai yang Terang
Barangkali, sejarah Islam di Indonesia memang banyak tertulis dalam bahasa laki-laki. Tetapi di balik setiap nama besar, selalu ada tangan perempuan yang menyalakan lampu, menyeduh teh, dan memastikan ilmu tetap mengalir.
Bu Nyai adalah arsitek sunyi yang tidak hanya membangun pesantren, tetapi membangun cara baru memahami kepemimpinan dan kesetaraan. Dari balik tirai yang tenang, mereka menjaga nyala ilmu agar tidak padam.
Dan mungkin, suatu hari nanti, prasasti pembangunan pesantren akan memahat bukan hanya nama kiai, tetapi juga nama bu nyai — sebab keduanya adalah dua tangan yang sama-sama membangun dunia dari titik kesalingan. []