Mubadalah.id – Ayah saya memasak, menyetrika, dan mencuci baju. Pikir saya, papa-papa di keluarga lain pun serupa Ayah saya. Tapi ternyata tidak demikian. Ayah saya berbeda. Dia istimewa.
Waktu itu, saya sepuluh tahun dan sedang di acara keluarga. Saya lihat Pakpo, kakaknya ibu saya itu makan dengan dilayani istrinya. Padahal, meja makan cuma berjarak beberapa kaki dari tempatnya. Itu baru perkara makan, belum kopi dan lain-lainnya.
Sebaliknya, Ayah saya mengambil segala halnya sendiri. Belum pernah saya lihat ayah meminta Ibu membuatkan kopi. Setiap hari saya dapati Ayah membuat kopi sendiri. Bahkan ia yang membikinkan susu untuk saya sejak Sekolah Dasar.
Belakangan Nenek saya dari pihak Ibu bercerita, orang-orang di masanya takut ketika ada anak laki-laki masuk dapur. Anak laki-laki tersebut dimitoskan akan menjadi cupar.
Cupar dalam bahasa Jawa dimaknai sebagai terlalu perhitugan. Dan itu dianggap berbahaya dalam rumah tangga. Oleh karena itu, nenek saya memutuskan anak laki-lakinya tidak boleh masuk dapur. Di lain sisi, kekagumannya pada koki-koki lelaki yang ramai di TV tidak habis-habis.
Masih di usia yang sama, teman-teman saya di sekolah mengatakan bahwa Ibu mereka yang menyiapkan bekal dan membuatkan sarapan. Tatapan teman-teman menjadi aneh ketika saya bilang sarapan dan bekal saya, Ayah yang membuatkannya.
Dalam pikiran saya, semua rumah memang seperti itu dan tentu tidak ada yang salah.
Ayah saya sendiri bekerja di sebuah apotek swasta. Jam kerjanya dimulai lebih siang ketimbang Ibu saya. Jam pulangnya pun jauh lebih awal ketimbang ibu. Ketika saya mesti pulang sore dari sekolah dan tidak sempat membawa bekal, Ayah saya juga yang tiba-tiba ke sekolah. Dia mengirim kue atau nasi.
Ya, Ayah saya memang kerja di bagian lapangan dan jam kerjanya jauh lebih fleksibel.
Semenjak saya kecil, Ayah selalu bercerita dengan bangga tentang mendiang Mbah, ibunya. Mbah yang mengajarinya berbagai pekerjaan rumah. Tentu termasuk memasak hingga menyetrika baju.
Mbah, masih menurut Ayah saya, memiliki prinsip bahwa laki-laki mesti juga belajar pekerjaan rumah.
Dalam keyakinan Mbah saya, kelak ketika anak lelakinya menikah dan memiliki anak, tentu hidup tidak selalu lancar. Ada kalanya istri pun bisa sakit dan suami bisa menggantikan tugas memasak dan membereskan rumah tanpa mesti membayar orang lain.
Benar saja, Ibu saya sempat beberapa hari berada di rumah sakit. Waktu itu saya yang masih SD tetap bisa makan dan hidup dengan teratur.
Hal ini tentu beda, ketika Ibu saya mengomentari status Facebook salah seorang mantan tetangga kami yang sekarang hidup di luar kota. Mantan tetangga kami itu bercerita soal dirinya yang sakit dan harus beberapa hari menginap di rumah sakit.
Dalam statusnya itu diceritakan pula bagaimana suaminya yang kebingungan menata rumah dan mengurus anak tanpa dirinya.
Ibu kemudian bercakap-cakap dengan saya dan membandingkan bagaimana rumah kami bisa terus berjalan dan terurus sekalipun tidak ada Ibu. Bahkan Ibu baru mengetahui jika Ayah bisa mengerjakan pekerjaan rumah setelah mereka menikah.
Tidak ada kesepakatan siapa yang harus mengurus rumah atau bekerja di luar. Ibu mengurus rumah ketika tidak sedang lelah dan Ayah pun sebaliknya. Bahwa ternyata Ayah saya istimewa dan itu memang iya.[]