Mubadalah.id – Pernikahan mempunyai kedudukan tinggi dan sakral dalam agama. Dengan dilangsungkannya sebuah pernikahan akan terjaga keimanan seseorang termasuk bagi para penyandang disabilitas. Sehingga ia tidak mudah terjerumus dalam perbuatan maksiat. Nabi Muhammad SAW bersabda:
“Wahai para pemuda! Barang siapa di antara kalian yang mampu untuk melaksanakan pernikahan, maka menikahlah. Maka sesungguhnya pernikahan itu dapat menundukkan pandangan dan mampu menjaga alat kemaluan (dari hal-hal yang Allah haramkan). Barang siapa yang belum mampu untuk melakukan pernikahan, maka hendaknya ia memperbanyak puasa. Karena hal tersebut mampu menjadi perisai dan pelindung (dari kemaksiatan).”
Oleh karena itu, memutuskan tali pernikahan dalam bentuk melakukan talak atau perceraian sekalipun boleh dan halal dalam syariat agama Islam. Tetapi hal tersebut sangat Allah Swt benci.
Dalam hal ini Rasulullah pernah bersabda:
“Perkara halal yang paling dibenci oleh Allah adalah Talak (perceraian).” (HR. Imam Abu Dawud dan yang lainnya)
Pertanyaan
Namun muncul pertanyaan kemudian, bagaimana hukumnya salah satu pasangan suami istri menceraikan atau melakukan gugat cerai terhadap pasangannya yang mengalami disabilitas di tengah keduanya membina mahligai rumah tangga?
Dalam masalah ini, jika yang dimaksud perceraian adalah fasakh nikah sebab disabilitas, maka hukumnya tidak diperbolehkan. Namun, terdapat pengecualian hukum tersebut jika orang itu mengalami disabilitas kejiwaan berat secara permanen.
Kemudian, jika yang dimaksud perceraian adalah talak atau gugat cerai (khulu’). Maka hukumnya adalah makruh selama tidak terdapat alasan yang mewajibkan, atau mensunahkan, ataupun mengharamkan perceraian. Oleh sebab itu, pernikahan harus tetap berjalan tanpa ada perceraian.
Satu hal yang penting untuk diketahui bahwa keadaan seperti menyandang disabilitas netra, putus jari-jari merupakan takdir, bukan pilihan. Namun, kondisi tersebut tetap tak mempengaruhi keutamaan pernikahan.
Hal ini sebagaimana dalam kitab Nihayah al-Muḥtaj sebagai berikut:
“Adapun kondisi berkekurangan yang tidak bisa menetapkan adanya khiyar, misalnya menyandang disabilitas netra, terputus bagian anggota badannya atau buruk rupanya itu tidak mempengaruhi kafaah, lainnya halnya pendapat ulama mutaqaddimin.” []