• Login
  • Register
Rabu, 25 Juni 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

Bagaimana Mubadalah Memandang Fenomena Perempuan yang Menemani Laki-laki dari Nol?

Ketika perempuan menjadi subjek utuh dalam relasi, maka seluruh pengalaman dan kontribusinya akan dihargai secara setara.

Layyin Lala Layyin Lala
25/06/2025
in Personal
0
Menemani Laki-laki dari Nol

Menemani Laki-laki dari Nol

913
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Baru kemarin seorang sahabat laki-laki menghubungi saya, memberikan tautan dan tangkapan layar diskursus perempuan menemani laki-laki dari nol. Saya mencoba untuk membaca beberapa pendapat dalam bentuk tangkapan layar tersebut. Mulanya saya sedikit menyesal telah menghapus akun X selama dua bulan terakhir.

Beruntunglah seorang sahabat laki-laki saya mau meminjamkan salah satu akunnya untuk saya berselancar pada platform tersebut. Pembahasan perempuan menemani laki-laki mulai dari nol sebetulnya sudah ada sejak lama.

Diskursus di platform tersebut memberi saya banyak hal tentang pandangan yang setuju dan tidak setuju. Tak jarang, diskursus yang dilakukan secara ngga sehat berhasil memicu konflik dan ketegangan yang menurut saya sebetulnya ngga terlalu diperlukan.

Fenomena Perempuan Menemani Laki-laki dari Nol

Di Indonesia sendiri, fenomena perempuan menemani laki-laki dari nol sebetulnya bukan hal yang baru. Malah, fenomena tersebut dekat dengan lingkungan kita, terutama perempuan. Sebetulnya, agak sulit juga mendefinisikan dengan tepat apa itu frasa “dari Nol”.

Kerap kali frasa tersebut merujuk pada hal-hal bahwa seseorang belum dalam keadaan stabil baik dari sisi kemapanan, finansial, atau karir. Bisa dikatakan juga bahwa seseorang baru saja memulai hidup, maksudnya baru mempersiapkan masa depan dan meniti karir. 

Baca Juga:

Bias Kultural dalam Duka: Laki-laki Tak Boleh Sepi, Perempuan Harus Mengisi

Membedah Hakikat Berkeluarga Ala Kyai Mahsun

Kebaikan Yang Justru Membunuh Teman Disabilitas

Relasi Hubungan Seksual yang Adil bagi Suami Istri

Frasa “dari nol” sebetulnya bukan sesuatu yang buruk. Setiap orang pasti memiliki timeline kehidupan yang berbeda-beda. Oleh karena itu, perbedaan dalam timeline hidup menyebabkan kondisi yang berbeda-beda juga.

Apalagi, faktor seperti keluarga, ekonomi, lingkungan masyarakat, pendidikan, politik, dan lainnya turut berpengaruh juga. Baik laki-laki ataupun perempuan pasti juga akan melalui titik nol di kehidupannya. Sehingga, frasa “dari nol” sebetulnya tidak memandang gender dan jenis kelamin. Siapapun bisa melalui titik tersebut.

Fenomena perempuan menemani laki-laki dari nol merupakan sebuah realitas ketika perempuan dan laki-laki (baik dalam hubungan romansa atau pernikahan) menjalin komitmen berdua untuk menghadapi kehidupan bersama. Menghadapi segala manis pahitnya hidup di tengah dunia yang berjalan secara ngga ideal untuk keduanya.

Dalam realitas kehidupan masyarakat, banyak sekali cerita pengalaman bagaimana seorang perempuan menemani pasangan laki-lakinya yang semula belum punya apa-apa hingga perlu bertahun-tahun untuk bisa hidup dalam keadaan stabil.

Begitu juga sebaliknya, ada juga laki-laki yang juga membersamai perempuan dari nol, keduanya berusaha bersama-sama memperbaiki taraf hidup yang lebih baik. Kedua pengalaman (baik kisah laki-laki dan perempuan) tersebut merupakan bentuk pengalaman dan perasaan yang valid.

Jadilah saya turut berbahagia mendengarkan kisah manis dimana dua insan saling menghargai komitmen bersama sehingga dapat memperbaiki taraf hidup yang lebih baik.

Apa yang Salah dari Fenomena Perempuan Menemani Laki-laki dari Nol?

Sebetulnya ngga ada yang salah dari fenomena tersebut. Namun, membaca pengalaman para puan yang justru terluka akibat fenomena tersebut membuka ruang empati saya. Saya baca satu demi satu pengalaman para perempuan. Perasaan dan pengalaman perempuan menjadi hal yang valid untuk saya rasakan.

“gausah ngide nemenin cowo dari 0, gue pengalaman 6 tahun. pas dia ngerasa karirnya udah bagus dan lingkungannya enak, dia ngebuang gue gt aja. bahkan secara gamblang bilang” 

“aku ngerasa udah ke fulfilled di sini jadi gabutuh kamu lagi”

be wise.

Seorang perempuan menuliskan pengalamannya bagaimana bertahun-tahun menemani laki-laki dari yang belum punya pekerjaan, tabungan, dan rumah. Saat pasangannya dalam keadaan stabil, justru si laki-laki meninggalkan si perempuan karena dinilai bukan “selera” nya lagi. 

Noh mantan gue udah gue temenin dari nol, gue bantuin malah. Begitu punya duit, gue malah jadi samsak fisik dan mental dia. Dari pada nemenin laki dari nol, mending fokus sama diri sendiri aja, girls. Bikin diri lu sendiri bahagia

Pada akun yang lain juga menjelaskan bahwa ia memiliki pengalaman yang serupa. Laki-laki tersebut meninggalkan si perempuan setelah memiliki uang (kekayaan). Realitas seperti itu hanyalah bagian kecil yang terlihat secara kasat mata.

Bisa jadi, masih banyak perempuan-perempuan yang memiliki pengalaman serupa namun suaranya ngga terdengar. Dan bisa jadi juga bahwa fenomena perempuan yang ditinggalkan oleh laki-laki padahal telah menemani dari nol menjadi sebuah fenomena gunung es.

Fenomena di mana apa yang tampak di permukaan hanyalah sebagian kecil dari kenyataan yang sebenarnya jauh lebih kompleks dan luas. Perempuan-perempuan yang telah berjuang bersama pasangannya dari titik nol, sering kali tidak mendapatkan pengakuan atau balasan yang setimpal ketika pasangannya sudah mencapai kesuksesan. 

Fenomena Gunung Es yang Terlahir dari Kultur Sosial Masyarakat Patriarki

Saya jadi menyadari, perempuan-perempuan korban fenomena ini perlu untuk diperhatikan lebih lanjut. Karena korbannya ngga hanya terhitung jari, namun banyak sekali perempuan yang mengalami hal serupa baik dalam ikatan pernikahan atau tidak.

Tentunya saya sebagai perempuan, pengalaman mereka selalu saya jadikan sebuah pelajaran. Namun, pada sisi yang lain saya juga menyadari bahwa fenomena tersebut ada karena terbentuk karena kultur sosial yang patriarki.

Fenomena gunung es yang saya maksud bisa kita sebut sebagai bentuk ketimpangan relasi yang berakar dari konstruksi sosial patriarki. Peran perempuan sering kali direduksi hanya sebagai pendukung, bukan sebagai mitra sejajar.

Perempuan hanya dianggap bagian dari “fase perjuangan”, namun tidak cukup layak untuk ikut serta dalam “fase keberhasilan”. Jika fenomena tersebut benar-benar merupakan puncak dari gunung es, maka di bawah permukaan ada tumpukan kisah luka, pengkhianatan, dan ketidakadilan yang belum terdokumentasikan. 

Bagaimana Mubdalah Memandang Fenomena Tersebut?

Saya jadi kalut berlarut-larut dalam overthinking atas fenomena tersebut. Jika perempuan lain (dalam jumlah yang banyak) saja bisa menjadi korban, bisa jadi saya juga akan “berpeluang” jika ngga benar-benar tepat dalam membangun sebuah hubungan. Pada akhirnya, saya mengaji lagi. Membuka kitab Qiraah Mubadalah dan mulai menonton playlist kajian Mubadalah oleh Kiai Faqih. 

Dalam kitab Qiraah Mubadalah halaman 529, Kiai faqih menjelaskan bahwa terminologi Mubadalah merujuk pada gagasan mengenai perspektif relasi kemitraan dan kerja sama antara laki-laki dan perempuan. Lebih luas lagi, mubadalah dapat kita gunakan untuk kemitraan segala jenis relasi antara dua pihak, antara individu, atau antara komunitas dan masyarakat. Baik di tingkat lokal, nasional, maupun global.

Prinsip kesalingan atau mubadalah mencakup semua nilai kesetaraan dan kemanusiaan. Kedua nilai tersebut menjadi pondasi bagi tujuan kemaslhatan, kerahmatan, dan keadilan. Perspektif Mubadalah selanjutnya menjadi sumber inspirasi dalam memaknai teks dan realitas. Dengan premis bahwa laki-laki dan perempuan adalah subyek setara yang basis relasi keduanya adalah kerjasama, kesalingan, dan tolong menolong.

Mubadalah menolak gagasan relasi timpang yang menempatkan satu pihak sebagai pengabdi, dan pihak lain sebagai pusat segala keputusan. Prinsip dasar Mubadalah justru menekankan bahwa setiap relasi, terutama relasi laki-laki dan perempuan (baik dalam pernikahan, persahabatan, atau kerja bersama) haruslah bersifat setara, saling mendukung, dan saling menjaga hak serta tanggung jawab masing-masing.

Refleksi atas Fenomena Perempuan Menemani Laki-laki dari Nol

Bagi saya, jika seorang perempuan memutuskan untuk menemani laki-laki dari nol, tindakan tersebut seharusnya kita pahami bukan sebagai bentuk “pengorbanan satu pihak demi keberhasilan pihak lain”. Akan lebih baik jika kita anggap sebagai kerja sama dua manusia yang berkomitmen untuk tumbuh bersama.

Begitu pula sebaliknya. Sayangnya, dalam banyak kasus yang muncul di permukaan (maupun yang tersembunyi), relasi tersebut ngga berjalan dalam prinsip kesalingan. Justru banyak yang berakhir pada ketimpangan, pengkhianatan, dan pengabaian, terutama terhadap perempuan yang telah memberikan tenaga, waktu, emosi, bahkan finansialnya selama bertahun-tahun.

Menurut saya, Mubadalah justru mengajak kita untuk melihat relasi sebagai perjumpaan dua subyek yang utuh, bukan satu subyek dan satu obyek. Ketika perempuan menjadi subyek utuh dalam relasi, maka seluruh pengalaman dan kontribusinya akan dihargai secara setara.

Maka menurut saya, daripada melibatkan diri dengan frasa “menemani laki-laki dari nol”, mengapa ngga membangun hubungan setara yang saling membantu, menghormati, dan menyayangi? mengapa ngga kita buat relasi yang sehat dan saling menghargai komitmen? Bukankah dengan begitu ngga akan ada satu orang yang menjadi subyek dan obyek? keduanya menjadi subyek yang berperan dan berdampak satu sama lain. Wallahu a’lam bish shawab. []

 

Tags: Kasus Kekerasan Berbasis GenderKekerasan EkonomiKesalinganMenemani Laki-laki dari NolMubadalahRelasi
Layyin Lala

Layyin Lala

Khadimah Eco-Peace Indonesia and Currently Student of Brawijaya University.

Terkait Posts

Bias Kultural

Bias Kultural dalam Duka: Laki-laki Tak Boleh Sepi, Perempuan Harus Mengisi

24 Juni 2025
Mau Menikah

Bukan Tak Mau Menikah, Tapi Realitas yang Tak Ramah

24 Juni 2025
Spiritual Awakening

Spiritual Awakening : Kisah Maia dan Maya untuk Bangkit dari Keterpurukan

23 Juni 2025
Teman Disabilitas

Kebaikan Yang Justru Membunuh Teman Disabilitas

21 Juni 2025
Jangan Bermindset Korban

Bukan Sekadar “Jangan Bermindset Korban Kalau Ingin Sukses”, Ini Realita Sulitnya Jadi Perempuan dengan Banyak Tuntutan

21 Juni 2025
Lelaki Patriarki

Lelaki Patriarki : Bukan Tidak Bisa tapi Engga Mau!

19 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Bias Kultural

    Bias Kultural dalam Duka: Laki-laki Tak Boleh Sepi, Perempuan Harus Mengisi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Membongkar Dalil Lemah di Balik Khitan Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kasus Francisca Christy: Ancaman Kekerasan di Era Digital itu Nyata !!!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Berbagi dan Selfie: Mengkaji Etika Berbagi di Tengah Dunia Digital

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Bagaimana Mubadalah Memandang Fenomena Perempuan yang Menemani Laki-laki dari Nol?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Apa Kepentingan Kita Menjaga Ekosistem?
  • Mengurai Bias Fitnah Perempuan dalam Wacana Keislaman
  • Sebutir Nasi sebagai Simbol Keadilan
  • Khitan Perempuan: Upaya Kontrol atas Tubuh Perempuan
  • Bagaimana Mubadalah Memandang Fenomena Perempuan yang Menemani Laki-laki dari Nol?

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID