Mubadalah.id – Aku seringkali merasa sedih dan resah ketika mendengar cerita pengalaman para santri putri di kampungku yang harus kehilangan kesempatan belajar hanya karena ia mengalami menstruasi. Seperti halnya cerita yang disampaikan oleh dua santri putri beberapa waktu yang lalu saat aku pulang kampung.
Nadia (bukan nama sebenarnya) bercerita bahwa ia kehilangan kesempatannya untuk ikut lomba Qiroatul Kutub dan sholawat di pondok pesantrennya, karena saat itu ia sedang menstruasi. Dalam pandangan fikih yang diajarkan oleh guru ngajinya saat itu, setiap perempuan yang haid haram hukumnya membaca al-Qur’an, berpuasa dan berdiam diri di masjid, sekalipun untuk belajar ilmu agama.
Dengan begitu Nadia sama sekali tidak bisa mengikuti lomba yang diinginkkannya, karena lomba tersebut biasa diselenggerakan di dalam masjid. Alhasil, keinginannya untuk ikut menunjukkan bakatnya dalam lomba Qiroatul Kutub dan sholawat menjadi hilang hanya karena dia sedang menjalankan pengalaman biologisnya sebagai perempuan.
Lain halnya dengan cerita Nadia. Nurul salah satu santri putri yang bercita-cita sebagai hafidzoh kerapkali mendapat obrolan tidak mengenakkan dari kiai-kiai di kampungnya, karena keinginannya yang dianggap tidak cocok untuk seorang perempuan.
Bagi sebagian masyarakat umum di kampungku, menghafal al-Qur’an hanya bisa dilakukan oleh laki-laki. Sebab, jika dilakukan oleh perempuan khawatir hafalan-hafalan tersebut tidak bisa dilakukan terus menerus, karena perempuan mengalami menstruasi. Dengan begitu perempuan akan mendapatkan dosa karena tidak menjaga hafalan al-Qur’an.
Mendengar dua cerita ini, aku langsung merasa lemas dan berpikir bahwa mengapa menjadi perempuan itu sangat berat. Mengapa perempuan yang sedang menjalankan fungsi reproduksi itu aksesnya menjadi lebih sempit dan terbatas. Dan mengapa mesntruasi itu menjadi sesuatu yang mengerikan bagi perempuan?
Dalam masa pencarian jawaban dari setiap keresahan aku tersebut, aku menemukan satu buku yang berjudul “Perempuan Bukan Sumber Fitnah” karya Kiai Faqihuddin Abdu Kodir. Dalam buku tersebut pak Faqih menyebutkan bahwa fikih itu harusnya berempati pada perempuan, karena perempuan juga manusia yang mempunyai martabat, keinginan dan juga hak untuk mengakses segala kebaikan, termasuk mencari ilmu dan mengaktualisasikan diri.
Di samping itu, Kiai Faqih juga memberikan solusi terkait persoalan ini. Jadi, jika kita tetap memilih pandangan yang melarang perempuan haid masuk masjid, maka kegiatan tersebut harusnya dilakukan di luar masjid. Atau jika kegiatan tersebut tetap diakukan di dalam masjid, maka kita harus bersedia menerima pandangan ulama fikih yang membolehkan perempuan haid masuk dan berdiam diri di masjid.
Karena cara pandang yang care terhadap pengalaman perempuan inilah yang disebut dengan visi dan misi Islam yang rahmah li al-‘alamin, yaitu agama yang memberikan kemudahan kepada setiap umatnya, termasuk perempuan.
Pernyataan ini juga sejalan dengan pernyataan Nabi Muhammad Saw dalam salah satu hadistnya yang menyampaikan bahwa “Permudahlah (urusan orang, termasuk dalam hal agama) dan jangan mempersulit, bahagiakanah dan jangan membuat orang lain ketakutan”. (Shahih a-Bukhari, Kitab a-Adab, no.6193).
Di sisi lain, pandangan yang mengatakan bahwa perempuan yang menstruasi itu adalah manusia yang kotor, menjijikan dan najis adalah sebuah ungkapan yang tidak berempati terhadap perempuan. Karena pada dasarnya tubuh perempuan itu suci, sebagaimana tubuh laki-laki. Dan darah menstruasi sama sekali tidak bisa dijadikan argumentasi bahwa perempuan itu manusia kotor sehingga aksesnya harus dibatasi, terutama soal perkara yang berkaitan dengan spiritual.
Dengan begitu stop menjajah dan membatasi ruang dan akses perempuan dengan alasan karena perempuan menstruasi. Karena jenis kelamin seharusnya tidak menghalangi perempuan untuk memperoleh manfaat hidup, baik dalam hal spiritual, intelektual, sosial dan poitik. []