Mubadalah.id – Pendiri Tadarus Subuh, Dr. Faqihuddin Abdul Kodir, menyampaikan banjir bandang, longsor, dan kerusakan ekologis di Aceh, Sumatera yang kini menelan banyak korban bukanlah hanya peristiwa alam. Melainkan kelalaian struktural yang berlangsung lama dan dibiarkan oleh negara yang seharusnya mengontrol.
“Kita semua tahu hutan menyimpan air. Undang-undang dan konstitusi mengaturnya. Tapi yang melanggar justru mereka yang punya kuasa untuk mengontrol,” ujarnya.
Dalam pandangan Kiai Faqih, inilah bentuk paling nyata dari sifat destruktif manusia. Terutama ketika kekuasaan tidak diawasi dan dibiarkan bekerja tanpa rem agama maupun politik.
Dr. Faqih menyoroti kegagalan lembaga legislatif yang seharusnya menjadi mekanisme kontrol kekuasaan. “DPR dan MPR seharusnya mengingatkan. Tapi sekarang mereka diam. Tidak ada suara kolektif yang menggedor pemerintah,” tegasnya.
Padahal, pemerintah memiliki seluruh instrumen yang diperlukan seperti kuasa, anggaran, aparatur untuk mencegah dan menangani bencana ekologis.
Yang terjadi justru ironis, pemerintah meminta donasi publik untuk penanganan bencana. “Kita sudah bayar pajak, kok masih diminta donasi? Yang kita perlukan leadership, bukan galang dana,” ungkapnya.
Baginya, ketika negara tidak mampu menunjukkan arah, tumpukan donasi pun hanya menjadi kebingungan, dikirim ke mana, dikelola siapa, dan digunakan untuk apa.
Padahal sumber daya manusia maupun sumber daya alam Indonesia sangat mencukupi untuk penanganan ekologis yang bermartabat dan sistematis. “Korporasi bisa dan seharusnya kita paksa memperbaiki hutan,” tambahnya.
Energi Habis
Dr. Faqih menyoroti fenomena lain yang juga menggerogoti energi publik yaitu dengan sibuk dalam obrolan, seminar, narasi media sosial. Tetapi tidak pernah bergerak menuju kebijakan konkret.
“Kalau kita habiskan waktu bertengkar soal diskursus, soal kurikulum cinta, seminar demi seminar, ngaji demi ngaji, tapi tidak berubah jadi kebijakan, itu percuma. Tidak ada gunanya,” jelasnya
Fokus bangsa, menurutnya, harus kembali pada dua hal mendasar. Pertama, penanganan kemanusiaan yang bertumpu pada leadership dan pemetaan sumber daya. Kedua, evaluasi dan penegakan aturan kehutanan secara tegas terhadap pelanggar, termasuk korporasi.
Sementara itu, dalam perspektif Tadarus Subuh, penyadaran moral harus berakar pada etika menjaga bumi. Bahkan, Dr. Faqih telah menyiapkan sejumlah kaidah yang mengintegrasikan kesadaran ekologis ke dalam pikiran, perasaan, dan empati manusia beragama.
“Kontrol itu penting. Tanpa kontrol, kita semua akan hancur. Yang tua mungkin meninggal duluan. Tapi yang muda akan mewarisi banjir dan bencana di Aceh dan Sumatera yang jauh lebih mengerikan,” ucapnya. []





































