Mubadalah.id – Perdebatan tentang batasan aurat perempuan telah menjadi diskursus panjang dalam khazanah Islam. Sejumlah ulama menyampaikan pandangan yang berbeda-beda.
Ibnu Jarir, menafsirkan bahwa selain wajah dan telapak tangan, sebagian lengan bahkan hingga seluruh lengan juga termasuk bagian tubuh yang boleh terbuka.
Al Syaukani (1250 H), menginformasikan bahwa kaki sampai setengah betis perempuan bukanlah aurat, karena itu tidak harus ditutup.
Pandangan paling ketat dikemukakan oleh Ibnu Hanbal, tokoh perintis aliran literalis (fundamentalis). la menyatakan bahwa seluruh tubuh perempuan, tanpa kecuali, termasuk kuku adalah aurat.
Beragam tafsir tersebut pada gilirannya merefleksi pada pandangan yang beragam pula dari para ahli hukum Islam. Di samping karena perbedaan tafsir atas kosakata ini, keberagaman pandangan fiqh (hukum Islam) juga karena konteks sosial mereka yang berbeda.
Batas-batas aurat yang beragam tersebut, berdasarkan ayat selanjutnya, ternyata tidak berlaku bagi semua orang. Teks al-Qur’an mengecualikan sejumlah orang.
Yaitu : 1. suami, 2. ayah 3. mertua, 4. anak-anak laki-laki, 5. anak-anak suami, 6. saudara-saudara laki-laki kandung, 7. keponakan laki-laki, 8. perempuan-perempuan yang lain, 9. budak belian laki-laki, 10. pelayan laki-laki yang tidak bergairah terhadap perempuan dan 11. anak-anak laki-laki yang tidak belum mengerti aurat perempuan.
Jika harus kita kelompokkan, maka 1. Kelompok keluarga dekat (no. 1 s/d 7). Kedua, budak laki-laki (no. 9), Ketiga kelompok yang tidak memiliki hasrat seksual (10 dan 11).
Tidak Berkewajiban Menutup Aurat
Berdasarkan teks tersebut, seorang perempuan tidak berkewajiban menutup “aurat” nya di hadapan beberapa orang tersebut. Pengecualian ini menunjukkan dengan jelas bahwa al-Qur’an tidak mengeneralisasibahwa semua perempuan harus menutup “aurat”nya di hadapan semua laki-laki.
Pertanyaan kritis kita adalah mengapa Tuhan memberikan pembedaan antara perempuan satu atas perempuan yang lain.
Dalam banyak analisis pembedaan tersebut lebih karena faktor bahwa mereka adalah orang-orang yang dalam tradisi Arabia saat itu, tidak merupakan ancaman, gangguan atau mengundang hasrat seksual.
Faktor ini dalam bahasa yang lebih populer kita sebut tidak menimbulkan “fitnah”. Dengan kata lain mereka adalah orang-orang yang dapat menjamin keamanan atas tubuh perempuan. []