Mubadalah.id – Seseorang yang hendak membangun rumah tangga mesti bebas memilih calonnya. Syekh Yusuf al-Qardlawi mengistilahkan sebagai حرية الاختيار (kebebasan memilih). Maksud darikebebasan memilih menurut Syekh Yusuf al-Qardlawi adalah seseorang, baik laki-laki maupun perempuan, menentukan calon pasangannya tanpa ada intervensi dari orang lain baik dari ayah yang mengasihi, ibu yang menyayanginya dan saudara-saudaranya.
Bagaimana mungkin pernikahan akan langgeng bila fondasinya tidak kokoh, tidak berdasarkan pada cinta melainkan menikah karena tekanan, baik berupa finansial maupun lainnya. Misalnya, tidak sedikit orang tua dan kerabat mempengaruhi putra-putrinya untuk memilih calonnya sebab satu dan lain hal. Di Mesir, sebagaimana tuturan al-Qardlawi, ada kabilah Arab yang memiliki tradisi menikahkan putra-putrinya dari kabilahnya sendiri (fanatisme kabilah?)
Di luar keluarga besar itu kita sebut dengan Fallahin yang mana putra-putri bangsa Arab tersebut dilarang menikah dengan fallahin dengan alasan apapun. Bahkan walaupun calon dari kalangan selain bangsa Arab itu mencapai tataran tinggi ilmunya maupun status sosialnya. Misalnya, Ulama di salah satu universitas, dokter, arsitek dan pemimpin-pemimpin suatu instansi
Alih-alih menikahkan dengan golongan Fallahin, bahkan tersebar luas adagium yang merepresentasikan keengganan mereka menikahkan;
يأكلها تمساح، ولا يأخذها فلاح
“Lebih baik putra-putrinya dimakan buaya ketimbang diambil Fallah (petani)”.
Tradisi di Madura
Hal yang sama juga terjadi dalam tradisi di daerah Madura di mana perjodohan sampai sekarang masih banyak kita jumpai khususnya dengan keluarga sendiri. Alasan yang sering mereka ajukan adalah supaya tidak hilang, agar lebih akrab dan lain semacamnya. Demikian pula dari aspek daerah misalnya orang Jawa atau Sulawesi enggan menikahkan anaknya di luar daerahnya.
Selain faktor keturunan, terkadang faktor finansial dan strata sosial juga menjadi dalih oleh keluarga untuk menjodohkan putra putrinya. Padahal yang bersangkutan tidak ada ketertarikan sama sekali yang sayangnya kerap kali mereka abaikan.
Tentu tidak ada soal jika yang bersangkutan juga mengamininya. Tetapi nyatanya tidak sedikit yang bersangkutan calon suami-istri itu justru menentangnya. Ironisnya, kedua pasangan yang keluarganya tentukan, sadar bahwa di antara mereka berdua tidak ada ketertarikan satu sama lain. Bahkan keduanya sesungguhnya sama-sama memiliki ketertarikan pada orang lain sebagaimana al-Qardlawi jelaskan.
وكثيرا ما لا يكون للشاب رغبة فيها، ولا هي لها رغبة فيه، بل ربما تعلق قلب منهما بشخص آخر، وكل واحد منهما يعرف ذلك عن صاحبه
“Seringkali lelaki tidak memiliki ketertarikan pada perempuan (yang ditentukan keluarganya) demikian pula perempuan tidak ada ketertarikan dengan lelaki (pilihan ortunya) bahkan terkadang hati masing-masing keduanya sudah ada yang punya dan kedua sama-sama mengetahui hal tersebut.”
Tidak Ada Kebebasan Memilih Pasangan
Tiadanya kebebasan memilih pasangan adalah peninggalan dari tradisi Jahiliah yang terus masyarakat patriarki lestarikan. Lalu Islam berusaha menghapusnya dengan berbagai respons dari fenomena-fenomena di zaman Nabi di mana wahyu masih berlangsung. Tidak sedikit fakta sejarah menunjukkan bahwa Islam ingin menghapus tradisi di atas. Yaitu membangun rumah tangga tanpa adanya kebebasan memilih calon pasangannya.
Antara lain Syekh Yusuf al-Qardlawi mencantumkan kisah al-Khansa binti Khidam al-Anshariyah yang ayahnya nikahkan, padahal ia enggan. Kemudian ia mendatangi Nabi Muhammad dan menceritakan apa yang terjadi pada diri dia. Di mana akhirnya Nabi memutuskan untuk membatalkan pernikahan tersebut lantaran si perempuan tidak mau (Shahih Bukhari, 7/18).
Fakta lain ketika ada pemudi yang datang kepada Nabi dan menceritakan tindakan ayahnya yang telah menikahkan dia tanpa persetujuan darinya. Setelah itu Nabi Muhammad memberikan opsi kepada pemudi itu untuk menolak pernikahannya ataupun meneruskannya.
Dari fakta-fakta sejarah yang berhasil ditransmisikan itu, lalu Imam al-Shan’ani sebagaimana mengutip al-Qardlawi menyimpulkan bahwa ayah yang memaksa anaknya menikah hukumnya haram, apa lagi selain ayah. Bahkan beliau membantah ulama yang mencoba menakwil zahirnya hadis yang membicarakan perempuan yang diberi opsi oleh Nabi untuk menolak pernikahan yang dilakukan ayahnya.
Takwilannya tersebutkan lantaran dinikahkan oleh ayahnya kepada lelaki yang tidak selevel. Menuru al-Shan’ani, takwil demikian tidak memiliki landasan. Sebab, seandainya fakta sebagaimana klaim orang-orang yang mentakwil, pastilah perempuan itu akan menceritakannya pula ke Nabi.
Kisah Perempuan di Masa Nabi
Kisah lain untuk menguatkan bahwa seseorang harus bebas memilih pasangannya sendiri tanpa ada tekanan dari pihak luar, adalah riwayat yang menghikayatkan tentang perempuan yang datang ke siti Aisyah. Di mana ia berkeluh kesah. Mendengar keluh kesahnya, Siti Aisyah menyuruh perempuan itu duduk barang sebentar untuk menunggu Nabi dan memutuskan persoalannya.
Setelah Nabi datang, Siti Aisyah pun menceritakan kejadian yang menimpa perempuan yang sedang di hadapannya. Setelah itu, Nabi dengan mantap memerintahkan seseorang untuk memanggil ayah si perempuan dan bermusyawarah yang kemudian mereka putuskan bahwa soal pernikahan itu dipasrahkan seutuhnya kepada perempuan tersebut. Apakah hendak menolak atau melanjutkannya.
Tetapi, si perempuan kemudian mengakui bahwa ia setuju terhadap tindakan yang ayahnya lakukan. Namun ia ingin memberi tahu kepada seluruh perempuan bahwasanya dalam urusan nikah seorang ayah tidak memiliki hak kecuali mengakadkan semata. Selebihnya adalah urusan perempuan itu sendiri.
Kebebasan Memilih Berlaku untuk Laki-laki dan Perempuan
Walaupun kisah-kisah yang al-Qardlawi paparkan adalah perempuan tidak berarti berlaku spesifik kepada perempuan saja tetapi lelaki juga demikian. Adapun riwayat itu sesuai fakta sosial saat itu di mana perempuan rentan tidak memiliki kebebasan dalam menentukan calonnya berbanding terbalik dengan lelaki.
Dari keterangan di atas bisa kita simpulkan bahwa perempuan memiliki kebebasan untuk menentukan calon pasangannya, tanpa adanya intervensi dari siapa pun termasuk orang tuanya sendiri. Hal ini mengindikasikan bahwa perempuan seutuhnya adalah miliknya sendiri yang bisa menetukan pilihannya sendiri. Oleh sebab itu, jika orang lain memilihkan, dan tidak ada persetujuan darinya maka nikahnya tidak jadi.
Namun demikian, kebebasan perempuan dalam menentukan calon tidak meniscayakan ketiadaan kewajiban ada wali saat akad. Menurut Yusuf al-Qardlawi disyaratkannya ada wali saat akad bukan untuk membatasi kebebasan yang bersangkutan dalam menentukan pilihannya.
Melainkan agar pernikahan yang berlangsung melibatkan berbagai pihak. Karena menikah itu bukanlah hubungan lelaki dan perempuan tetapi dua keluarga. Bahkan, ayah yang menjadi wali mesti bermusyawarah dengan sang ibu sehingga seluruhnya punya andil dalam pernikahan yang diproyeksikan kelanggengannya. []