Mubadalah.id- Awal tahun 2024, Jepang menyatakan mengalami krisis kelahiran dengan penurunan terbesar selama 90 tahun terakhir. Penyebabnya yaitu penurunan angka pernikahan oleh usia-usia matang yang memilih untuk merintis karir. Hal ini berdampak bagi semua lini kehidupan masyarakat.
Oleh karena itu, banyak orang-orang dengan usia yang lanjut tetap bekerja di Jepang. Dari adanya hal ini, pemerintah Jepang mulai membuat beragam kebijakan guna meningkatkan angka kelahiran di negaranya.
Krisis Kelahiran di Jepang
Kurangnya tenaga produktif dan juga angka kelahiran yang ada di Jepang mungkin saja jadi hal aneh yang ada di negara kita. Negara dengan peringkat 4 sebagai negara dengan jumlah penduduk terbanyak ini pastinya melihat Jepang sebagai ladang untuk bekerja karena sedikitnya jumlah kelahiran di sana.
Tetapi, pembahasan kita kali ini terkait bagaimana angka pernikahan dapat mengalami penurunan tersebut? Apakah negara kita juga akan mengalaminya?
Dari data, BKKBN atau Badan Kependudukan Keluarga Berencana Nasional usia menikah ideal yaitu 21-30 tahun. Data ini merujuk pada kesehatan mental, reproduksi dan kondisi ekonomi seseorang. Walau demikian, usia ideal ini sebenarnya tidak menentukan kematangan secara keseluruhan. Hal ini ditunjukkan dari masih adanya kasus perceraian hingga kekerasan dalam rumah tangga.
Dari hal tersebut, menunda pernikahan nyatanya sangat erat dengan generasi saat ini. Yang mana rentang usia di atas bisa saja tidak berpengaruh untuk beberapa orang. Hal ini tidak menutup kemungkinan karena adanya perubahan pandangan hidup dalam masyarakat. Perubahan itu meliputi, ketidakstabilan kondisi ekonomi, kondisi sosial hingga gaya hidup juga dapat mempengaruhinya.
Dampak Positif Menunda Pernikahan
Dari adanya fenomena ini, menunda pernikahan tidak hanya berdampak negatif saja. Penundaan ini dapat menjadikan seorang mempersiapkannya lebih matang lagi. Menunda yang penulis maksud sebenarnya bukan berarti sampai pada ranah ketakutan. Tapi dalam ranah mempersiapkan mental dan juga ekonomi, di mana hal ini sejalan dengan QS. Ar-Rum ayat 21 yang artinya:
“Di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah bahwa Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari (jenis) dirimu sendiri agar kamu merasa tenteram kepadanya. Dia menjadikan di antaramu rasa cinta dan kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir”
Ayat tersebut menyapa laki-laki dan perempuan dalam hal tujuan dari kehidupan berpasangan yang ideal yaitu dengan saling memperoleh ketentraman atau sakinah dari pasangan itu sendiri. Bukan hanya dari salah satu pihak saja, tapi berlaku untuk keduanya. Rasa tentram tersebut juga untuk laki-laki dan perempuaan.
Dari adanya penurunan angka pernikahan maka kita dapat melihat bagaimana nabi mengenalkan konsep din. Nabi Muhammad mengenalkan din sebagai ikatan kuat yang bersifat komitmen, moral dan spiritual dalam tujuan fundamental pernikahan. Ikatan ini yang harus menjadi pedoman dalam pernikahan.
Baik laki-laki maupun perempuan harus memiliki tujuan dalam pernikahan yang selaras. Walau pada praktiknya jadi hal yang tidak mudah, tetapi bukan berarti mustahil untuk dilakukan. Din sendiri dapat berarti agama, yang mana puncaknya adalah akhlak mulia.
Dan dalam pernikahan din dapat berarti sebagai “Pondasi spiritual-moral yang ada pada seseorang, yang membuatnya memiliki komitmen untuk selalu berbuat yang terbaik terhadap pasangannya dan seluruh anggota keluarganya”.
Menyikapi turunnya angka pernikahan sebenarnya tidak dapat dilihat dari salah satu prespektif saja. Perkembangan teknologi, banjir informasi, hingga stigma tertentu menjadikan fenomena ini memiliki solusi yang kompleks. Kita sebagai individu salah satunya perlu menelisik kembali bagaimana esensi dalam penciptaan diri kita.[]