Mubadalah.id – Akhir-akhir ini publik Muslim Indonesia sedang dihipnotis oleh romantisme Nabi Saw dan Aisyah ra melalui suatu lagu yang lagi hit minggu-minggu. Tulisan ini tidak akan memperdebatkan konten dan pelajaran dari lagu tersebut. Sudah banyak yang melakukan. Baik yang pro maupun yang kontra. Tulisan ini memfokuskan pada sisi lain dari makna romantisme itu sendiri. Dari fakta-fakta hadits yang mungkin jarang terdengar di kalangan awam.
Romantisme, bahagia, indah, atau sakinah mawaddah wa rahmah seringkali diimajinasikan sebagai sebuah relasi yang sepenuhnya manis, selalu senyum, tanpa perbedaan pendapat, tanpa pertengkaran, dan tanpa konflik sama sekali. Jika hal ini merujuk pada kepribadian Aisyah ra bersama Nabi Saw, sebagaimana dinarasikan dalam lagu itu, maka sepenuhnya salah total. Karena banyak hadits-hadits sahih, bahkan beberapanya adalah riwayat al-Bukhari yang tertinggi, menceritakan kisah-kisah protes Aisyah ra kepada Nabi Saw, yang mungkin bisa disebut sebagai pertengkaran.
Cek buku 60 Hadits Sahih: Khusus tentang Hak-hak Perempuan dalam Islam Dilengkapi dengan Tafsirnya (Diva Press, 2019, hal. 141-144). Dengan terang benderang ayah Aisyah ra sendiri, yaitu Abu Bakr Shiddiq membahasakan suasana protes putrinya pada Nabi Saw sebagai “perang kalian berdua” (harbikuma). Tentu saja, bukan perang beneran, tetapi perbedaan pendapat, dimana Aisyah ra menuntut sesuatu dari Nabi Saw dengan suara melengking dan gaduh yang membuat orang seperti Abu Bakr ra sebagai ayah saja marah besar dan hendak memukul Aisyah ra.
Berbeda dengan Abu Bakr ra, Nabi Saw memilih diam, tenang, dan mendengarkan. Bahkan ketika Abu Bakr sudah mengangkat tangan hendak memukul putrinya sendiri, Nabi Saw yang justru menghalangi. Poin ini yang justru diungkit Nabi Saw di hadapan Aisyah ra. “Aku loh yang menyelematkan kamu dari orang itu”, kata Nabi Saw dengan penuh senyuman persis di muka Aisyah ra.
Kisah ini ada dalam riwayat Sahabat Nu’man bin Basyir ra dalam dua Kitab Hadits (Sunan Ibn Majah, no. hadits: 5001; dan Musnad Ahmad no. hadits: 18685 dan 18712, dalam hitungan al-Maknez al-Islami Kairo Mesir). Kisah serupa terjadi pada diri Hafsah ra, putri Umar bin Khattab ra, yang berbeda pendapat dengan Nabi Saw, dan juga membuat marah sang ayah. Ini tercatat dalam riwayat Ibn Abbas ra dalam Kitab Hadits Sahih Bukhari (no. hadits: 4962) dan Sahih Muslim (no. hadits: 3765).
Dalam hadits Bukhari tersebut, justru sikap dan perilaku Hafsah ra, dan juga Aisyah ra, menginspirasi banyak perempuan untuk tidak takut berbeda pendapat dengan suami-suami mereka. Seperti yang dilakukan istri Umar bin Khattab ra kepada suaminya sendiri. Cek di bukuku itu (hal. 150-153) atau buku-buku lain yang berbicara mengenai hadits-hadits serupa.
Masih di bukuku (hal. 146-149) ada kisah dialog antara Aisyah ra dan Nabi Saw. Ketika Nabi Saw berceramah tentang hari pembalasan (hisab), Aisyah ra berpendapat berbeda dan dinyatakan di hadapan baginda Nabi Saw, dan pendapatnya itu mengacu pada ayat al-Qur’an. Nabi Saw mendengarkan dan lalu menjelaskan maksud dari ayat tersebut. Jadi, Aisyah ra bukanlah seseorang yang pasif, diam manis seribu bahasa. Ini ada dalam Kitab Hadits Sahih Bukhari (no. hadits: 103), juga Sunan Abu Dawud (no. hadits: 3095), Sunan Turmudzi (no. hadits: 3660), dan Musnad Ahmad (no. hadts: 25411).
Bahkan ada sindiran Aisyah pada poligami Nabi Saw, yang tidak mungkin bisa diucapkan kecuali oleh orang yang kuat seperti dirinya. Ini tercatat di Kitab Sahih Bukhari (no. hadits: 4835 dan 5169). Kisahnya, ada seorang perempuan bernama Khawlah bint Hakim ra, yang menawarkan diri untuk dinikahi Nabi Saw. Tentu saja, Aisyah cemburu dan menimpali: “Perempuan tidak tahu malu, menawar-nawarkan dirinya kepada laki-laki.” Tetapi al-Qur’an ternyata turun membela perempuan tersebut dan membolehkan Nabi Saw menikahinya jika berkehendak (al-Ahzab, 33: 50-51).
Dengan ayat itu, Aisyah justru malah menyindir Rasulullah Saw “Rasul, Tuhanmu itu loh, cepet sekali ya memenuhi hawa nafsumu” (yaa rasuulallaah maa araa rabbaka illaa yusaari’ fii hawaka). Tentu saja, Nabi Saw tidak menanggapi sindiran Aisyah ra dan juga tidak menerima tawaran Khawlah ra tersebut. Bayangkan, bagaimana kuatnya akal dan sikap Aisyah di hadapan Nabi saw dan bahkan di hadapan ayat al-Qur’an yang diturunkan Allah Swt kepada Nabi-Nya Saw.
Sahih Bukhari (no. hadits: 5280) juga mencatat protes Aisyah ra yang lebih keras dengan memecahkan piring makanan yang dikirim seorang perempuan kepada Nabi Saw, di hadapan beliau, karena cemburu berat. Lagi-lagi, Nabi Saw menghadapi dengan tenang, mengumpulkan pecahan piring tersebut, dan hanya mengatakan kepada mereka yang melihat: “Ibumu itu lagi cemburu” (ghaarat ummukum). Seakan mengajak: tenang, mari pahami, mengerti, dan empati. Ini juga tercatat oleh kitab-kitab hadits lain (Sunan Abu Dawud, no. 3569; Sunan Nasa’i, no. 3972 dan 3973; Sunan Ibn Majah, no. 2424; Musnad Ahmad, no. 12209 dan 13980).
Pelajaran apa yang bisa kita ambil dari kisah-kisah ini?
Tentu saja romantisme itu tidak selalu harus satu pendapat antara suami dan istri. Tidak. Bahkan tidak juga menutup kemungkinan dalam sebuah relasi untuk menunjukkan perbedaan masing-masing dengan kuat, yang mungkin dipahami sebagai konflik atau pertengkaran. Tidak. Bahkan Aisyah ra dan Nabi Saw pun tidak demikian. Tentu saja, dua orang yang bersatu melalui pernikahan, adalah pertemuan dua akal, dua emosi, dan dua pengalaman. Perbedaan keduanya, dan bisa jadi pertengkaran, adalah wajar dan bagian dari romantisme itu sendiri.
Pelajaran lain yang lebih penting dan fundamental dalam ajaran Islam adalah bahwa Nabi Saw sebagai orang yang memiliki kuasa dan wibawa dalam segala hal, justru memberi kesempatan kepada perempuan, dalam hal ini adalah Aisyah ra, untuk memberi pendapat bahkan berbeda. Suara lengkingnya sama sekali tidak membuat Nabi Saw marah apalagi melakukan kekerasan. Nabi Saw justru tenang dan memberi kesempatan.
Bukankah Nabi Saw adalah teladan kita semua? Apa yang bisa ikuti dari sikap Nabi Saw terhadap Aisyah ra? Bisakah kita para laki-laki Muslim yang mungkin memiliki wibawa dan kuasa atas perempuan, atau siapapun yang memiliki kebijakan dan kekuasaan, melakukan sesuatu agar para perempuan bisa kuat dan mampu berpendapat seperti Aisyah ra? Teladan apa juga yang diberikan Aisyah ra dari kisah-kisahnya di atas?
Mari kita renungkan bersama.