Mubadalah.id – Tahun baru 2023 di sejumlah daerah di Indonesia tampaknya harus terselimuti suasana duka. Bagaimana tidak, pergantian tahun yang semestinya kita sambut dengan suka cita, justru berbuah kemurungan karena bencana banjir melanda. Untuk itu, penting bagi kita untuk belajar mitigasi banjir dari kearifan lokal masyarakat Aceh.
Karena berdasarkan data yang terhimpun oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), beberapa wilayah di Indonesia pada minggu pertama Januari ini dilanda banjir yang mengakibatkan jalanan, rumah-rumah penduduk hingga ladang pertanian masyarakat tergenang.
Fenomena Banjir di Beberapa Daerah di Indonesia
Di daerah Pantai Utara Jawa, banjir yang merendam pemukiman memaksa ratusan penduduk mengungsi. Tercatat di Demak, Kudus, Pati hingga Semarang. Masyarakat yang tak berkutik akan tingginya curah air hujan harus meninggalkan rumah mereka untuk berdiam di tempat yang lebih aman. Tidak hanya berdampak pada lumpuhnya aktivitas warga, banjir juga telah menelan korban jiwa.
Di Semarang, akibat tersetrum saat banjir, tiga orang warga meninggal dunia. Sedangkan, di Desa Prampelan, Demak, warga yang mengungsi akibat banjir pun tak lantas aman. Di tempat pengungsian, karena terbatasnya fasilitas yang memadai, pengungsi mulai terserang berbagai penyakit, dari gatal-gatal hingga diare.
Merespon banjir di Jawa Tengah tersebut, sebenarnya pemerintah selalu sigap memberikan donasi kepada daerah terdampak. Bantuan tersebut diharapkan akan membantu penanganan banjir yang melanda serentak. Meski begitu, yang menjadi catatan adalah bagaimana banjir yang seharusnya dapat diantisipasi jauh-jauh hari nyatanya kini semakin parah, terutama dengan intensnya efek pemanasan global.
Oleh karena itu, respon yang ada sejatinya bukan hanya setelah bencana semata, namun bagaimana menggerakkan seluruh pihak untuk bekerja sama mengantisipasi bencana reguler ini.
Kearifan Lokal
Di Aceh, dengan pengalaman bencana yang mereka hadapi, sejumlah komunitas di sana kemudian membuat mitigasi banjir. Yakni dengan membangun sistem pengetahuan adat untuk merespon peningkatan kejadian banjir akibat perubahan iklim antropogenik melalui curah hujan yang tinggi, peningkatan basah daerah tangkapan dan kenaikan permukaan laut.
Salah satu contohnya adalah masyarakat Cingkam, Kecamatan Gunung Meriah, Kabupaten Aceh Singkil, Provinsi Aceh, yang secara kontinu telah mencoba mempratikkan mitigasi dan adaptasi bencana banjir. Terlebih, dalam satu dekade terakhir, intensitas dan kuantitas ancaman banjir di Singkil semakin tinggi. Masyarakat Cingkam yang berdomisili di daerah aliran Sungai Lae Cinendang secara turun-temurun mau tidak mau dihadapkan pada realitas untuk beradaptasi dengan banjir tahunan.
Sebagai gambaran, aliran sungai Lae Cinendang merupakan urat nadi kehidupan masyarakat Singkil. Namun di sisi lain, Lae Cinendang juga berkorelasi erat dengan permasalahan banjir. Berdasarkan keterangan masyarakat setempat, banjir di sepanjang Sungai Lae Cinendang dapat terjadi sampai 20 kali per tahun.
Tapi skala kejadian tersebut masih dalam skala rendah dan tidak mengakibatkan korban jiwa. Hingga akhirnya banjir bandang menerjang pada tahun 2000 dan mengakibatkan kerugian cukup besar yang selanjutnya mengubah bagaimana warga Singkil berupaya dalam melakukan mitigasi dan adaptasi.
Mitigasi Bencana Banjir di Aceh
Dengan bencana banjir yang kerap terjadi, akhirnya warga membuat mitigasi banjir dengan membangun rumah yang mereka sebut “sapao metungkhang”. Sapao metungkhang merupakan rumah panggung yang banyak kita jumpai di sepanjang aliran Sungai Lae Cinendang. Material bangunannya mereka peroleh dari sumber daya setempat. Bahan bangunan untuk tiang, lantai dan dinding terbuat dari kayu, sedangkan atap terbuat dari daun rumbia atau seng.
Secara vertikal lantai rumah terdiri dari kolong rumah, lantai utama, dan plafon. Ketiga bagian tersebut dapat berfungsi secara maksimal. Baik dalam kondisi normal maupun kondisi darurat. Aktivitas keluarga selama masa normal berlangsung di lantai utama rumah. Ketinggian lantai rumah sekitar 1-meter dari permukaan tanah. Terdapat tangga pada bagian depan rumah yang menghubungkan halaman rumah dengan teras (serambi).
Bagian serambi mereka gunakan sebagai tempat menyambut tamu dan tempat bersantai keluarga. Serambi masih merupakan bagian luar dari rumah. Terdapat pintu utama dari serambi ke bagian dalam rumah. Bagian dalam rumah terdiri dari ruang tamu, ruang tidur, ruang tengah dan dapur pada bagian paling belakang.
Melihat dari struktur bangunan, rumah sapao metungkhang mereka modifikasi sehingga tetap berfungsi meski banjir datang. Jika kemudian curah hujan lebih tinggi dari biasanya, bagian plafon pada rumah sapao metungkhang juga dapat mereka manfaatkan sebagai tempat evakuasi. Ruangan yang ada di bagian plafon rumah disebut pakha dalam Bahasa Singkil. Pakha sendiri mereka lengkapi dengan tempat tidur dan dapur yang menyimpan cadangan kayu bakar.
Yang menarik, hampir semua rumah sapao metungkhang menambatkan perahu di bawah kolong. Meskipun tidak dalam keadaan banjir. Perahu tersebut mereka fungsikan pada saat banjir terjadi sebagai sarana transportasi dari rumah ke tempat akses yang aman. Kolong rumah juga mereka fungsikan untuk menyimpan kayu bakar, kandang unggas, dan peralatan menangkap ikan di sungai seperti jala, jaring, dan bubu.
Dengan demikian, Sebagian kebutuhan logistik rumah tangga sehari-hari mereka pasok dari bawah kolong rumah. Dengan menerapkan kearifan lokal tersebut, warga Singkil akhirnya mampu meminimalisir risiko bencana banjir yang intens datang (Ismail dkk, 2020). []