“Janganlah seorang laki-laki ber-khalwat dengan seorang perempuan, niscaya yang ketiga adalah setan”.
Mubadalah.id – Sebuah pernyataan lama yang rasanya tidak pernah pudar hingga hari ini. Hingga muncullah hukum larangan khalwat dengan perempuan, karena tidak sedikit dari masyarakat yang mengartikan khalwat sebagai tindakan mesum dan mendekati zina. Benarkah ada fitnah dan aurat dalam khalwat?
Siapa lagi yang dirugikan dengan pemahaman ini? Tidak lain adalah perempuan. Stigma perempuan sebagai sumber masalah kembali menyeruak ketika pernyataan yang konon didasarkan pada hadits Rasulullah ini dikemukakan.
Bukannya tidak percaya bahwa pernyataan itu keluar dari Rasulullah, namun agak ganjil rasanya jika Rasulullah yang amat menghormati perempuan, membuat pernyataan yang menyudutkan perempuan. Dalam tadarus subuhnya, Kiai Faqihuddin Abdul Kodir menjelaskan bahwa hadits yang kerap kali digunakan sebagai larangan khalwat dengan perempuan adalah potongan dari hadits, tanpa menyebutkan keseluruhan hadits. Ini jelas membuatku terperanjat, kalau hadits nya saja tidak dikutip secara utuh, bagaimana dengan interpretasinya?
Hadits nya jika dinukil secara utuh adalah sebagai berikut : Dari Ibnu Umar berkata: Kami disapa oleh Umar di Jabiya, dan dia berkata “Hai manusia, aku telah berdiri dan tinggal bersama kalian sebagaimana Rasulullah Saw telah berdiri di antara kita.
Dia berkata: “Aku berwasiat kepada kalian dengan sahabat-sahabatku kemudian orang-orang yang mengikuti mereka, kemudian orang-orang yang mengikuti mereka. Kemudian akan ada kebohongan yang menyebar sampai laki-laki itu bersumpah dan tidak diambil sumpahnya, dan akan bersaksi seorang laki-laki dan tidak diambil kesaksiannya.
Bukankah tidak ber-khalwat seorang laki-laki dengan seorang perempuan kecuali yang ketiga adalah setan. Hendaknya kalian bersama jama’ah dan hindarilah perpecahan. Maka sesungguhnya setan bersama satu orang dan dia bersama dua orang lebih jauh. Barang siapa yang menginginkan kemakmuran surga, hendaknya ia mengikuti jama’ah. Dan barangsiapa merahasiakan kebaikannya dan memburukkan keburukannya maka itulah orang mukmin” (HR Tirmidzi)
Jelaslah bahwa konteks hadits yang kerap digunakan sebagai larangan khalwat dengan perempuan adalah potongan dari hadits Rasulullah yang awalnya berisi tentang wasiat kepada seluruh manusia agar senantiasa berlaku jujur, tidak berdusta, tidak mudah bersumpah atau menjadi saksi, tidak berselisih dan membuat perpecahan.
Dalam hadits ini Rasulullah juga memberikan wasiat agar manusia senantiasa waspada terhadap bujuk rayu setan yang bisa datang pada seseorang dalam kesendiriannya, atau pada dua orang. Selain itu hadits ini juga memberi isyarat bahwa dalam melakukan kebaikan hendaknya dirahasiakan, namun tatkala terjerembab dalam kesalahan, tidak ragu untuk mengakuinya.
Hadits lainnya yang kerap dikaitkan dengan khalwat dan mahram adalah hadits Shahih Bukhari yang artinya “Dari Ibnu Abbas dari Nabi Saw berkata: Janganlah berkhalwat seorang laki-laki dengan seorang perempuan kecuali bersama mahramnya. Maka berkatalah seorang laki-laki “Wahai Rasulullah, istriku telah keluar untuk berhaji dan aku diwajibkan untuk (ikut) perang ini dan itu”, maka berkatalah (Rasulullah) “Pulanglah dan berhajilah bersama istrimu”.
Hadits ini sungguh memberikan pemahaman baru, jika sebelumnya aku terpikir bahwa mahram ada untuk membatasi gerak, melarang ini dan itu, sebaliknya dari hadits ini Rasulullah alih-alih melarang perempuan untuk berhaji, justru sebaliknya, beliau memerintahkan mahramnya untuk memfasilitasi dan menjamin keamanan perempuan dalam ibadah hajinya.
Kiai Faqih menjelaskan bahwa sesungguhnya khalwat adalah media bagi celah fitnah dan aurat. Jika fitnah adalah sebuah potensi pada diri untuk menjerumuskan dan melemahkan orang lain, maka aurat adalah kelemahan pada diri yang berpotensi digunakan orang lain untuk melemahkan kita. Maka khalwat adalah suasana yang dapat diciptakan oleh laki-laki maupun perempuan.
Dalam konteks mubadalah, khalwat ini ditempatkan pada sebuah kewaspadaan, yakni waspada pada potensi fitnah dan aurat. Kewaspadaan ini tidak lantas diartikan secara berlebihan, seperti hanya berdiam tanpa melakukan kebaikan apapun, membatasi kiprah dan kemanfaatan dari banyak orang. Karena sifat hadits yang basyiiran dan nadziiran, amar ma’ruf nahyi munkar, atau dapat diartikan sebagai rem dan gas dalam berlaku.
Jika membicarakan setan, dia akan selalu ada meski manusia dalam keadaan sendiri sekalipun, tidak pandang jenis kelamin laki-laki atau perempuan. Hadits yang menyinggung tentang khalwat adalah sebuah bentuk peringatan agar senantiasa waspada terhadap laku setan yang dapat memanfaatkan celah fitnah dan aurat pada manusia.
Dan hadirnya mahram, bukanlah untuk membatasi kiprah dan peran perempuan sebagai makhluk sosial, namun sebaliknya, mahram ada untuk memfasilitasi keperluan perempuan dalam kiprahnya serta memastikan keamanannya. Bahkan kini, mahram dapat berupa sistem sosial yang mampu memastikan kenyamanan dan keamanan bagi manusia, khususnya perempuan. []