Mubadalah.id – “Kang, sudah lihat video yang lagi viral tentang Gus Yahya yang meminta Fatayat dan Muslimat untuk tidak ikut-ikutan Feminisme?, malam-malam chat masuk ke hapeku, sambil mengirim link video tersebut.
“Oh, ini sih potongan pidato di acara LKK NU, aku hadir full di hadapan Gus Yahya langsung”, jawabku.
“Kalau hadir dan dengar, berarti benar dong Gus Yahya menolak Feminisme?”, tanyanya.
“Kalau dari potongan itu saja, dan secara literal-tekstual ya bener, tetapi kalau kita dengar utuh, dari awal sampai akhir, dan kita pahami secara kontekstual, aku kira perlu ada penjelasan lebih lengkap. Yang jelas, Gus Yahya tidak misoginis, atau tidak membenci perempuan, Misoginisme adalah sesuatu yang dilawan oleh feminisme itu sendiri.
Gus Yahya justru menegaskan, di pidato itu juga, bahwa beliau memandang perempuan sebagai manusia utuh, dengan kapasitasnya dari sisi intelektual, sosial, dan manajerial. Beliau mengangkat banyak perempuan dalam jajaran PBNU karena kapasitas mereka, bukan karena keperempuanan mereka. Sebagaimana juga mengangkat laki-laki, bukan karena kelelakian mereka, melainkan kapasitas intelektual, sosial, dan atau manajerial. Karena itu, penting menguatkan kapasitas perempuan, agar bisa berkhidmah di NU secara maksimal. Nah, bukankan ini juga salah satu agenda feminisme?
“Tetapi, kalimatnya jelas loh kang: jangan ikut-ikutan feminisme”, tegasnya sekali lagi.
“Seperti aku bilang, kalau dari kalimat pendek itu saja: ya kamu bisa simpulkan begitu. Tetapi coba dengar lebih utuh pidato itu, kamu pasti akan punya pemahaman yang lebih lengkap. Menurutku, konteksnya adalah tentang pentingnya memiliki akar kultural sendiri dalam menerima isme-isme apapun dari luar, termasuk feminisme. Gus Yahya ingin menegaskan pentingnya akar Aswaja an-Nahdliyah dalam menerima, mengimplementasikan, dan kemudian mendakwahkan segala pemikiran yang datang meringsek masuk pada kebudayaan kita”.
“Feminisme itu sendiri kan banyak sekali mazhab pemikirannya, tidak semua feminisme yang laris di Barat adalah cocok dengan agama dan budaya kita. Tidak toh. Karena itu juga, ada feminisme latin, feminisme dunia ketiga, dan banyak lagi mazhab feminisme, yang bisa kamu temukan dalam kajian akademik. Nah, pada konteks ini, menurutku, Gus Yahya menyampaikan pentingnya kita sebagai orang NU untuk memiliki akar sendiri, yaitu Aswaja an-Nahdliyah dalam memajukan hak-hak perempuan dan menyuarakan relasi keadilan gender”.
Konsep Mubadalah
“Pada konteks inilah mengapa aku juga menggulirkan konsep mubadalah, tidak langsung menggunakan feminisme. Tapi bukan berarti menolak feminisme juga. Secara pribadi, aku berhutang dari analisis feminisme, tetapi aku membangunnya dari akar Islam sendiri, yaitu tauhid, visi Islam rahmatan lil ‘alamin, dan misi Nabi Saw akhlaq al-karimah. Tentu ini juga sudah banyak ditegaskan para feminis Muslim dunia dan Indonesia.
Titik tekan mubadalah adalah pada relasi kesalingan dan kerjasama, atas dasar cara pandang dan sikap yang bermartabat, adil, dan maslahah. Pada perempuan dan laki-laki. Prasyaratnya adalah tauhid. Yaitu memandang hanya Allah Swt yang Tuhan dan mutlak ditaati. Yang lain, misalnya laki-laki dan perempuan, adalah sama-sama hamba-Nya. Yang satu tidak boleh menjadi tuhan bagi yang lain. Tidak ditaati atau mentaati secara mutlak, tidak primer atau sekunder bagi yang lain.
Keduanya sama-sama sekunder sebagai hamba di mata Allah yang satu-satunya Tuhan. Keduanya juga sama-sama primer sebagai khalifah-Nya di muka bumi untuk mewujudkan segala kemaslahatan di bumi, untuk diri, pasangan, keluarga, masyarakat, dan semesta”.
“Karena sama-sama sekunder di mata Allah Swt sebagai hamba-Nya, sekaligus sama-sama primer sebagai khalifah-Nya di muka bumi, maka relasi antara laki-laki dan perempuan adalah kesalingan dan kerjasama, atau mubadalah, inilah yang ditegaskan al-Qur’an pada surat at-Taubah ayat ke-71. Pada akar inilah mubadalah berbeda dari feminisme di Barat, atau tepatnya salah satu mazhab feminisme yang sering berangkat dari ungkapan “ini tubuhku, ini hak-ku, pikiranku, terserah aku, yang lain tidak boleh ikut campur”.
Mubadalah akan membicarakanya: “ini tubuhku, itu tubuhmu, ini tubuh kita: mari kita bicarakan dan transformasikan agar berelasi secara bermartabat, adil, dan maslahat, sesuai dengan prinsip ajaran Islam”. Begitu kira-kira akar dan arah mubadalah”.
“Tetapi karena mubadalah berangkat juga dari analisis feminisme, aku juga paham mengapa ada ungkapan “ini tubuhku, terserah aku” dalam narasi-narasi publik para feminis. Ungkapan ini muncul karena selama ini tubuh perempuan, akal dan segala perasaannya, lenyap di bawah ungkapan dan atas nama agama, budaya, dan komunalisme suatu masyarakat.
Pentingnya Memiliki Analisis Feminis
Pada budaya yang demikian, akal perempuan tidak dianggap, pengalaman perempuan tidak diperhitungkan, dan kiprah perempuan sama sekali tidak dihargai. Pada sisi inilah pentingnya memiliki analisis feminis, untuk mengenali, menemukan dan mengungkapkan akal dan pengalaman perempuan, sebagai manusia utuh dan menjadi otoritas pengetahuan dalam kehidupan. Dari sinilah, kemudian, mubadalah berangkat untuk membangun relasi yang bermartabat, adil, dan maslahat, antar manusia, perempuan dan laki-laki”.
“Bermartabat artinya memandang dan memperlakukan laki-laki dan perempuan sebagai sama-sama manusia yang mulia, yang satu tidak lebih rendah atau lebih tinggi dari yang lain. Tetapi, dalam kehidupan nyata, tentu saja ada perbedaan kapasitas fisik dan intelektual, status sosial, dan yang lain. Ketika ada perbedaan antara keduanya, maka yang memiliki kapasitas lebih harus bertandang melindungi dan memberdayakan yang kurang. Baik secara fisik, ekonomi, sosial, maupun pengetahuan. Yang fisiknya kuat melindungi yang lemah. Yang ekonominya berlimpah mendukung yang kekurangan. Begitupun masalah sosial, spiritual, dan intelektual. Inilah perilaku dari prinsip yang kedua: adil.
Sementara maslahah artinya masing-masing harus memfasilitasi, berpikir dan berperilaku untuk kebaikan bersama. Yakni untuk diri, pasangan, keluarga, masyarakat, dan semesta. Untuk itu, penting memfasilitasi potensi perempuan agar bisa maksimal dalam mewujudkan kebaikan dan juga menikmatinya”.
Pendekatan Makruf, Mubadalah dan Keadilan Hakiki
“Dengan cara pandang keadilan, kita harus sadar pada perbedaan fisik-biologis antara laki-laki dan perempuan. Secara reproduksi, perempuan akan menstruasi, berpotensi hamil, melahirkan, nifas, dan menyusui. Perbedaan-perbedaan ini harus kita lihat dan kita akui, agar menjadi dasar pengetahuan dan kebijakan, sehingga perempuan tidak malah kita jauhkan dari kemaslahatan keluarga dan publik, dengan alasan reproduksi ini, atau tafsir dan kebijakan yang kita keluarkan tidak malah membuat perempuan tambah sakit, merana, dan rentan menjadi korban kekerasan.
Begitupun perbedaan sosial, di mana perempuan mudah terkena stigma buruk, termarjinalkan, dinomorduakan, mengalami beban ganda dan atau kekerasan. Prinsip keadilan dalam mubadalah harus meminimalisir semua bentuk ketidak-adilan ini, atau jika mampu menghilangkannya sama sekali”.
“Demikianlah cara pandang, sikap, dan perilaku mubadalah terkait relasi kesalingan dan kerjasama antara laki-laki dan perempuan. Akarnya dari Islam, tetapi atas bantuan analisis feminis. Apakah sama atau berbeda dari feminisme? terserah. Aku lebih cocok dengan istilah mubadalah, daripada istilah feminisme, agar lebih bebas untuk mengaitkan dengan akarku sendiri dalam Islam, tanpa harus merujuk pada hingar bingar perdebatan mazhab-mazhab feminisme.
Bolehkah memiliki istilah lain? Boleh. Bolehkah menolak istilah mubadalah? Silahkan. Yang penting substansinya adalah tentang relasi kesalingan dan kerjasama laki-laki dan perempuan, yang berakar pada tauhid, visi rahmatan lil ‘alamin, dan misi akhlaq al-karimah. Inilah yang KUPI dakwahkan melalui pendekatan makruf, mubadalah, dan keadilan hakiki.
Pendekatan Makruf untuk menangkap dan mengukuhkan kebaikan dari berbagai sumber Islam dan sumber-sumber lain, termasuk pada konteks yang berbeda. Mubadalah untuk menegaskan laki-laki dan perempuan sebagai sama-sama subjek dalam mewujudkan dan sekaligus untuk memperoleh kebaikan tersebut. Keadilan hakiki untuk mengenali dan mengakui perbedaan-perbedaan tertentu, biologis dan atau sosial, agar perempuan dan laki-laki tetap menjadi pelaku dan sekaligus penerima kebaikan tersebut”.
“Makasih kang atas penjelasannya”, tutupnya.
“Sama-sama ya”, tutupku juga. []