Mubadalah.id – Bencana ekologis di tiga provinsi Pulau Sumatra telah terjadi sejak Selasa (25/11). Banjir bandang dan longsor dahsyat melanda kawasan Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat. Akibatnya ribuan rumah rusak, fasilitas umum hancur, dan ekonomi lumpuh total.
Kondisi tersebut memang bukanlah tanpa sebab. Banyak ahli menyebut bahwa bencana ekologis yang terjadi di Sumatra adalah akumulasi dari berbagai kerusakan dan pembukaan lahan besar-besaran di daerah tersebut. Video yang menunjukkan kayu gelondongan ikut terbawa arus saat banjir bandang juga telah menjadi bukti sederhana bahwa kerusakan ini adalah bentuk protes alam akibat ulah manusia.
Sementara itu, rasa pesimis juga tampak melalui representasi negara yang acuh tak acuh dengan kondisi ini. Negara lamban, baik dalam hal penanganan dan kebijakan. Hingga hari ini, pemerintah pusat belum kunjung menetapkan bencana ekologis Sumatra sebagai bencana nasional. Padahal telah banyak indikator yang seharusnya mendukung untuk pemerintah secepatnya menetapkan status bencana nasional tersebut.
Minimnya kemampuan penanganan dari pemerintah daerah, penyaluran logistik dan bantuan kemanusiaan yang tidak efektif, serta jumlah korban jiwa yang hampir mencapai seribu jiwa. Hal tersebut seharusnya sudah cukup untuk menjadi indikator penting dan alasan yang kuat pemerintah pusat menjadikan bencana ekologis Sumatra sebagai bencana nasional.
Memahami Kelompok Rentan dan Bencana
Namun, lebih dari itu semua. Pernahkah kita berpikir siapakah yang sebetulnya paling rentan terdampak ketika ada bencana? Kalau kita bisa memikirkannya lebih jauh, perempuan, anak dan penyandang disabilitas adalah kelompok yang paling rentan terdampak ketika ada bencana. Ketika ada bencana, tentu orang dengan disabilitas punya kerentanan dan sensitivitas yang berbeda dengan orang tanpa disabilitas.
Di media tak banyak yang memberitakan persoalan dan kondisi yang kelompok rentan hadapi terutama disabilitas. Terhitung hanya tiga berita yang khusus memberitakan kondisi kelompok disabilitas dengan kondisi bencana yang terjadi di Sumatra saat ini.
Daerah Aceh misalnya seorang lansia dengan disabilitas terjebak di rumahnya hampir tiga jam lamanya sebelum evakuasi. Seorang disabilitas Tuli di Sumatera Utara juga tidak mendengar suara sirine peringatan ketika air mulai naik. Ia baru menyadari setelah pintu rumah diketuk oleh tetangganya.
Sementara itu, di Sumatra Utara ada beberapa penyandang disabilitas intelektual yang kebingungan ketika evakuasi yang berlangsung cepat. Kebingungan tersebut terjadi karena disabilitas intelektual tidak didampingi oleh pendamping.
Bagaimana Seharusnya Peran Pemerintah?
Tidak hanya urusan lambannya penanganan negara dalam merespon bencana ekologis ini, masalah lain yang seharusnya menjadi perhatian adalah persoalan kelompok rentan. Sekurang-kurangnya, jika perspektif penanggulangan bencana di Indonesia sudah menerapkan inklusivitas, maka akan ada data terpilah di lapangan ketika ada bencana. Agar penanganan terhadap kelompok disabilitas dapat kita lakukan secara tepat sasaran.
Dan tentu hal semacam ini tidak lantas kita laksanakan ketika ada bencana saja. Namun, kebijakan tersebut seharusnya sudah negara pertimbangkan jauh sebelumnya. Sehingga paradigma inklusivitas untuk kebencanaan sudah mampu terbangun sejak awal atau bahkan lebih awal. Tidak harus kemudian menunggu bencana besar yang kemudian melahirkan “proyek Roro Jonggrang” yang tidak mempertimbangkan banyak hal.
Belajar dari Jepang yang sudah mempunyai sistem dan tata kelola yang inklusif terkait kebencanaan, Indonesia harus sudah mulai bergerak ke arah visioner. Siap siaga kebencanaan seharusnya sudah mulai diajarkan ke sekolah-sekolah, misalnya dimasukkan ke dalam kurikulum untuk menjadi program pelatihan kesiapsiagaan bencana, baik untuk murid, wali murid, guru, dan warga sekitar. Dan tentu harus melibatkan kelompok rentan, yaitu disabilitas.
Artinya pemerintah secara rutin melibatkan kelompok disabilitas agar mampu belajar dengan mempertimbangkan prinsip inklusivitas dan kemandirian. Data terpilah juga harus sudah ada bahkan dalam keseharian.
Data terpilah ini bukan hanya kemudian berupa data diri tapi kondisi fisik dan psikis ini menjadi penting. Agar ketika terjadi bencana, otoritas daerah setempat mampu melakukan evakuasi dengan mempertimbangkan kondisi penyintas bencana sedari awal.
Peran Media untuk Disabilitas
Dorongan berupa kebijakan ini memang harus dilakukan oleh pemerintah bukan masyarakat sipil. Selain itu, penting kiranya penggunaan media juga menjadi tumpuan awal menuju jurnalisme empati.
Kelompok disabilitas sebagai bagian dari kelompok rentan pasti akan mendapatkan diskriminasi ganda di dalam masyarakat sosial. Apalagi jika terjadi bencana. Pemberitaan yang lebih masif terkait dengan isu disabilitas kaitannya dengan bencana bukan semata-mata untuk urusan representasi semata, namun senantiasa untuk mendorong terbentuknya media yang lebih inklusif dan berkeadilan.
Dengan begitu, hal tersebut penting dilakukan agar kelompok disabilitas ini tidak lagi terlupakan dan senantiasa diperhatikan. Dan pengalaman disabilitas menjadi hal yang diperhitungkan untuk mendorong pemerintah ataupun pemangku kebijakan dalam menerapkan program serta regulasi yang lebih inklusif. []




































