Mubadalah.id – Kekhasan Indonesia adalah semangat berbagi. Misalnya, ketika bencana alam menimpa sebuah daerah, orang-orang segera bergerak untuk memberikan bantuan. Banyak berbagai aksi kemanusiaan mengalir dari berbagai tempat. Banyak orang berbagi makanan, berbagi pakaian, berbagi tenaga, dan berbagi waktu untuk menolong para korban.
Tetapi, dalam arus kebaikan itu muncul fenomena baru yaitu sebagian orang menjadikan momen berbagi sebagai ajang untuk menampilkan diri di media sosial. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan penting apakah berbagi yang dipamerkan masih selaras dengan nilai kasih dan kemanusiaan?
Dalam iman Katolik, berbagi selalu lahir dari kasih. Gereja mengajarkan bahwa tindakan kasih ini mengalir dari pengalaman menerima kasih Tuhan terlebih dahulu. Karena itu, memberikan apa yang dimiliki membutuhkan ketulusan, dan ketulusan membutuhkan kerendahan hati.
Ketika seseorang memberi demi mendapat pengakuan, arti terdalamnya sedang berubah arah. Alih-alih mengangkat martabat penerima, tindakan itu justru mengalihkan fokus ke diri sendiri. Karena itu Gereja mengajak kita berbagi secara sederhana, bukan untuk mencari sorotan.
Akar Teologis Berbagi: Memberi Tanpa Mengharapkan Balasan
Yesus memberikan pengajran kepada para murid-Nya demikian, “Janganlah engkau melakukan sedekahmu di hadapan orang supaya dilihat orang” (Mat 6:1). Ajaran ini menegaskan bahwa seseorang berbagi karena ingin mencintai sesama, bukan karena ingin memperoleh pujian.
Gereja memahami perintah itu sebagai ajakan untuk menjaga kemurnian hati. Ketika seseorang berbagi dengan kasih, berati ia membiarkan Tuhan menjadi satu-satunya saksi. Ketika seseorang memberi dengan rendah hati, ia menempatkan penerima sebagai pribadi bermartabat.
Dalam logika iman, berbagi bukan tindakan untuk meninggikan diri, tetapi tindakan untuk menolong sesama yang membutuhkan. Kita tidak memberikan bantuan agar orang memuji kita, tetapi untuk menunjukkan bahwa kasih Tuhan nyata dalam tindakan sederhana. Kita peduli dengan mereka karena kita percaya bahwa setiap manusia memiliki nilai tanpa syarat. Alasan lain adalah bahwa kita ingin menghadirkan kebaikan di tengah penderitaan korban bencana.
Berbagi yang Tidak Merendahkan dan Tantangan di Era Digital
Mubadalah menegaskan pentingnya kesalingan. Dalam konteks bencana, kesalingan berarti saling memberi dengan cara yang memuliakan, bukan dengan cara yang mempermalukan. Ketika seseorang merekam wajah korban lalu mengunggahnya, ia mungkin tidak sadar bahwa dokumentasi itu dapat menyakiti mereka.
Karena itu, tindakan yang sejati harus menjaga privasi korban. Tindakan baik yang sejati harus mengutamakan kebutuhan mereka, bukan kebutuhan pemberi untuk terlihat dermawan. Mubadalah mengajarkan bahwa relasi saling menghidupi. Pemberi mendermakan kelebihannya.
Penerima memberikan kepercayaan dengan membuka diri terhadap pertolongan. Dalam relasi itu, tidak ada pihak yang lebih tinggi, tidak ada yang lebih mulia. Ketika pemberi juga membuka hatinya dengan hati bersih, ia menghadirkan martabat. Ketika penerima menerima dengan lapang, ia menjaga ruang kesalingan. Karena itu, tindakan baik ini tidak boleh berubah menjadi tontonan.
Media sosial menciptakan budaya baru yakni semua hal ingin terlihat. Ini seolah mengubah cara pandang bahwa “saya, saya, dan saya” yang harus terlihat. Bantuan pun sering berubah menjadi bahan unggahan. Orang berbagi bantuan sambil memegang kamera. Mereka berbagi sembako sambil mengarahkan korban untuk berdiri rapi.
Mereka memberi dengan niat baik, tetapi cara mereka dapat mengaburkan makna itu sendiri. Dalam keadaan seperti ini, umat Katolik perlu bersikap lebih dewasa dan bijak.
Kita bisa memberi laporan kegiatan tanpa menjadikan penderitaan sebagai visual utama. Kita tetap mampu memberi dorongan solidaritas tanpa harus memamerkan siapa yang menerima bantuan. Intinya, kita saling membantu dengan kebaikan, bukan citra diri.
Berbagi secara Etis dan Spiritualitas Hening
Agar tindakan membantu tidak kehilangan nilai spiritualnya, kita perlu menjaga prinsip etis. Pertama, kita harus memiliki motivasi yang murni. Kita menolong karena ingin memulihkan kehidupan orang lain. Kedua, ketika kita memberi, kita harus memberi tanpa merendahkan. Kita menghargai permintaan privasi dan tidak mengekspos kondisi pribadi korban.
Ketiga, kita dijak untuk memberi secara bijak. Dokumentasi tetap mungkin dilakukan, tetapi harus fokus pada proses, bukan individu. Keempat, kita memberi tanpa menuntut terima kasih. Ketika seseorang menolong lalu menunggu balasan, tindakan kasih ini bisa berubah menjadi transaksi. Gereja menolak logika itu.
Kelima, kita memberi lewat kolaborasi. Kita bisa bergabung dengan komunitas atau paroki yang sudah bekerja dalam pelayanan bencana. Dengan begitu, kita memberikan tenaga kita dalam semangat kebersamaan. Keenam, kita juga bisa memberikan doa kita. Doa memberi kekuatan bagi para korban dan menjaga hati kita tetap jernih. Dengan prinsip-prinsip itu, kita menghidupi tindakan berbagi sebagai bentuk caritas yang memuliakan Tuhan.
Dunia modern mendorong orang untuk membuat bising segala sesuatu. Namun kasih sejati bekerja dalam keheningan. Ada orang yang memang memberi tanpa menyebutkan namanya, berarti ia memuliakan Tuhan. Ketika seseorang memberi tanpa merekam wajah korban, ia memuliakan martabat manusia.
Ketika seseorang memberi tanpa pamer, ia memelihara kesucian kasih. Gereja selalu menekankan pentingnya tindakan sunyi. Banyak karya kemanusiaan Katolik berjalan tanpa sorotan, misalnya para suster yang menemani pengungsi, para frater yang membantu evakuasi, para awam yang menyediakan makanan.
Mereka berbagi tenaga, waktu, perhatian, dan air mata tanpa perlu mempublikasikan diri. Tindakan sederhana itu mengingatkan kita bahwa memberi tidak membutuhkan tepuk tangan.
Berbagi sebagai Jalan Kekudusan
Berbagi bagi korban bencana adalah kewajiban moral dan panggilan iman. Namun hal itu akan kehilangan makna jika berubah menjadi ajang pamer. Gereja mengajak umat untuk senantiasa memberi dalam keheningan, karena Tuhan melihat hati.
Kita berbagi untuk memulihkan kehidupan, untuk menghadirkan pengharapan dan untuk menyatakan bahwa kasih selalu lebih kuat daripada bencana.
Semoga setiap tindakan berbagi menjadi jembatan yang menghubungkan penderitaan korban dengan kasih Tuhan. Dan semoga kita selalu berbagi bukan untuk dilihat manusia, tetapi untuk mengasihi manusia. []











































