Mubadalah.id – Kabar duka dari Universitas Udayana beberapa hari lalu kembali mengingatkan kita bahwa kampus, ruang yang seharusnya menjadi tempat belajar, bertumbuh, berproses, dan mengembangkan diri, tetapi realitasnya kampus masih menyimpan sisi gelap yang selama ini luput dari perhatian.
Timothy Anugrah Saputra, mahasiswa FISIP, ditemukan tak berdaya setelah melompat dari lantai empat gedung fakultas. Ia dinyatakan meninggal dunia setelah sempat dirawat di rumah sakit.
Yang lebih menyakitkan lagi, kondisi Timothy justru tersebar di grup WhatsApp mahasiswa. Alih-alih berduka dan berempati, beberapa anggota grup malah mengolok-oloknya.
Percakapan nir-empati itu viral, bahkan memicu kemarahan publik, sekaligus menegaskan bahwa budaya bullying masih bercokol kuat di lingkungan kampus.
Peristiwa ini menegaskan bahwa kita sering keliru menganggap bullying sebagai fenomena yang hanya terjadi pada anak sekolah. Nyatanya, di kampus perundungan hadir dalam bentuk yang terus berulang mulai dari pengucilan, perploncoan, hingga relasi kuasa yang semakin tumbuh liar tanpa kontrol.
Budaya uji mental, senioritas berlebihan, serta anggapan bahwa mahasiswa harus tahan banting membuat banyak korban memilih diam. Diam, karena takut tak dipercaya, takut disebut lemah dan karena sistem kampus tidak menyediakan ruang aman bagi mereka untuk melapor.
Padahal, secara psikologis, bullying membawa dampak yang panjang seperti stres berkepanjangan, depresi, rasa tidak aman, kehilangan semangat hidup hingga berujung pada kematian. Banyak mahasiswa menarik diri dari kegiatan kampus karena kehilangan kepercayaan pada lingkungannya, bahkan memilih berhenti kuliah.
Upaya Menghentikan Bullying
Karena itu, lalu apa yang bisa dilakukan kampus, mahasiswa, dan kita semua untuk menghentikan lingkar kekerasan ini?
Melansir Kompasiana.com, ada beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk mengatasi kasus bullying di kampus, di antaranya:
Pertama, membangun kesadaran yang nyata tentang bullying. Karena itu, kampus perlu memperluas metode edukasi melalui diskusi, kampanye kreatif, hingga konten digital yang lebih mudah para mahasiswa akses.
Sehingga semakin banyak orang memahami bentuk-bentuk bullying, semakin kecil ruang bagi perilaku itu berkembang.
Kedua, kampus wajib memiliki sistem pelaporan yang jelas, aman, dan dipercaya. Banyak korban bungkam karena takut tidak didengar atau malah disalahkan.
Tim khusus atau lembaga penanganan bullying harus dibentuk dengan SOP yang transparan, akses yang mudah, dan jaminan kerahasiaan.
Ketiga, pembinaan serius bagi pemimpin organisasi mahasiswa. Para ketua himpunan, pengurus BEM, dan pemimpin komunitas lain adalah figur yang memiliki pengaruh kuat dalam membentuk budaya sosial kampus.
Jika mereka tidak memahami etika kepemimpinan, relasi kuasa akan mudah mereka salahgunakan. Budaya senioritas, eksklusivitas, dan kasta organisasi harus kita hentikan.
Keempat, menumbuhkan keberanian moral mahasiswa. Mahasiswa perlu sadar bahwa membiarkan bullying sama buruknya dengan melakukannya.
Jika melihat teman dirundung baik secara langsung maupun di ruang digital mereka harus berani bersuara, melapor, atau setidaknya menunjukkan dukungan kepada korban. Kepekaan sosial tidak bisa dipaksakan, tetapi bisa dilatih.
Kelima, membangun budaya kampus yang inklusif dan saling menghormati. Sehingga aktivitas yang mendorong kolaborasi, keragaman, dan solidaritas harus mereka perbanyak.
Sebab kampus bukanlah ruang kompetisi yang saling menjatuhkan. Melainkan ruang belajar menjadi manusia yang berdaya, kritis dan berempati.
Diam Bukan Menyelesaikan Masalah
Oleh karena itu, kasus bullying di kampus bukan lagi masalah perorangan melainkan ini persoalan budaya, sistem, dan keberanian kolektif. Peristiwa tragis seperti yang Timothy alami seharusnya cukup untuk menyadarkan bahwa diam adalah bukan menyelesaikan masalah.
Dan kampus harus menjadi ruang aman bukan hanya aman untuk belajar disiplin ilmu. Tetapi aman untuk tumbuh sebagai manusia yang saling menjaga.
Jika kita terus membiarkan budaya merendahkan, mengejek, atau menormalisasi kekerasan psikologis, maka kita sedang merusak masa depan. Mari bersama melawan bullying, karena setiap mahasiswa berhak merasa aman dan saling menghargai. []










































