Mubadalah.id – Bagi pembelajar feminisme pasti tidak asing lagi dengan Betty Frieden, Ia adalah pendiri sekaligus presiden organisasi perempuan nasional yang bertempat tinggal di Amerika Serikat. Lahir pada 4 Februari 1921. Nama Frieden yang dimiliki Betty, berasal dari suaminya. Mengadopsi nama pasangan di belakang nama seorang istri mungkin sudah seringkali kita temui, pada akhirnya nama itu akan berdampak pada identitas yang dimiliki perempuan, dan itu terjadi kepada Betty Frieden.
Semangat yang dimiliki oleh Betty Freden ketika memperjuangkan perempuan lahir karena ia melihat ibunya tidak menyukai pilihannya ketika menjadi ibu rumah tangga. Ketika membaca biografi Betty Frieden saya memahami tentang mengapa orang tua Betty Frieden, terkhusus ibunya yang memperjuangkan pendidikan agar anaknya mampu menjadi perempuan yang berpendidikan dan punya karir. Ibu Betty mengalami ketidakberuntungan dalam menjalani karir, ia terpaksa melepas pekerjaannya dan beralih menjadi Ibu Rumah tangga.
Ilmu feminisme yang dimiliki oleh Betty barangkali berangkat dari kegelisahannya saat ia memutuskan untuk menikah dan ketika hamil tidak mendapat hak cuti; dia dipecat karena meminta itu, sedangkan teman-teman sesama rekan kerjanya tidak membantu sama sekali.
Stigma tentang feminisme sendiri sudah terdengar sejak lama. Ada yang beranggapan bahwa “menjadi feminis tidak membutuhkan laki-laki,” “feminis kok menikah”. Itu secuil stigma yang sering saya dengar. Presepsi tentang feminisme selalu diartikan sebagai perempuan yang tidak mem(butuh)kan laki-laki, padahal pengertian feminisme sendiri adalah gerakan yang memperjuangkan hak-hak perempuan agar setara dan adil dengan laki-laki, jika ada laki-laki ikut memperjuangkan hak-hak itu maka ia juga disebut feminis.
Menulis buku tentang feminis menjadi tonggak dalam gelombang feminisme yang dimiliki Betty Friedan. Dikenal sebagai emansipasi wanita, dan Betty termasuk tokoh besar. Visi yang ia miliki adalah untuk menyadarkan perempuan agar tidak terkungkung karena keterbatasan yang dimiliki. Keterbatasan yang dimiliki perempuan adalah hasil konstruksi yang dibangun masyarakat sendiri. Misalnya perempuan harus menikah lebih muda daripada laki-laki, perempuan dikejar umur sedangkan laki-laki dibebaskan. Jika pada umur yang diidealkan masyarakat perempuan belum menikah, ia akan di cap sebaagai perawan tua.
Tidak hanya soal menikah, tetapi juga tentang pendidikan. Perempuan selalu dipotong proses pendidikannya oleh keluarga. Perempuan selalu dipikirkan sebagai manusia yang hanya mengurus perihal domestik. Oleh karena itu, ia tidak berhak mendapat pendidikan yang layak. Terlahir sebagai Perempuan, tidak membuat saya harus selalu di dapur. Saya mempunyai sedikit privilige karena saya masih bisa bersekolah dan bertempat tinggal jauh dari orang tua.
Tetapi terlepas dari itu, kekhawatiran orang tua terhadap saya sebagai perempuan sangatlah menganggu. Orang tua saya bukan golongan Strict Parent, yakni orang tua yang menempatkan standar dan tuntutan yang tinggi terhadap anak-anak. Hanya saja orang tua terlalu khawatir karena saya sebagai perempuan. Ketakutan yang dimiliki orang tua sangat berdasar, apalagi ditambah dengan banyaknya kasus pembunuhan, kekerasan seksual, yang korbannya perempuan.
Tidak bermaksud membicarakan kepiluan tentang perempuan, tapi kita realistis atas kondisi hari ini. Banyak hal yang sudah seharusnya disematkan pada diri perempuan atas dirinya. Memerdekan pikiran misalnya. Betty Freiden mencemaskan peran perempuan dalam publik yang banyak diambil oleh para laki-laki. upah yang sedikit daripada laki-laki.
Sejak awal proses perempuan dan laki-laki berbeda. Dalam masyarakat laki-laki selalu diberi keleluasaan yang panjang dalam hal memilih. Sedangkan perempuan dibatasi karena ia perempuan. Ini menjadi problem dari awal dulu sampai sekarang. Kita meyakini bahwa dalam dunia ini dinamis, ilmu akan berkembang sesuai jamannya. Sebelum jauh memutuskan belajar feminis, kita harus memahami tentang perbedaan seks dan gender,bagar lebih mudah memahami tentang kodrat dan kesepakatan sosial.
Menurut Mansour Faqih, seks (jenis kelamin) konstruksi ini alamiah, kodrati, yang merupakan pemberian khusus dari Tuhan. Sedangkan gender pada dasarnya adalah konstruksi sosial di mana laki-laki dan perempuan memiliki kiprah dalam kehidupan sosial. Seks bersifat kodrati, gender adalah kesepakatan sosial yang dibangun oleh masyarakat. Artinya gender bisa dirubah, di dobrak, dapat berubah sewaktu-waktu.
Mengutip pernyataan Betty,“perempuan itu khusus dan berbeda, tidak dibawah laki-laki dan dalam beberapa hal malah lebih superior dibanding laki-laki”. Aspek superior yang dimaksud diatas seperti terletak pada bagaimana perempuan bekerja di ranah domestik. Daripada laki-laki, kebanyakan perempuan lebih mahir soal masak, momong anak, menjahit baju, dan pekerjaan domestik lainnya. Ini mungkin juga dilatarbelakangi karena perempuan lebih banyak dipaksa bisa melakukan pekerjaan domestik, selain keharusan pekerjaan itu juga menjadi sesuatu yang wajib dilakukan.
Betty juga mengalami kegelisahan tentang pernikahan; ketika nanti setelah menikah dan memiliki anak, ia akan dihadapkan dengan pilihan keputusan yang akan menjerat perempuan, sebab nanti ia akan memilih menghentikan karir atau merawat anak. Dan ini juga agaknya menjadi kegelisahan semua perempuan. Diantara menginginkan melanjutkan cita-cita atau mengurus rumah tangga. Ini mengingatkanku pada tetangga di desa, dimana ada seorang perempuan yang telah menjadi sarjana tetapi ia memilih menikah dan mengurus anak.
Aku berpikir itu adalah salah satu kebaikan perempuan yang harusnya mendapat apresiasi yang tinggi. Tetapi pada kenyataannya tetanggaku di bully oleh tetangga yang lain karena tidak menempatkan “ilmu” pada tempatnya. Masyarakat mengidealkan perempuan sebagai sosok yang sempurna, harus bisa semuanya tapi disisi lain masyarakat membatasi perempuan di banyak hal.
Barangkali kita harus mengingat tentang ucapan Betty, bahwa jika perempuan lepas dari kungkungan gagasan tradisional tentang feminitas, mereka kemudian dapat benar-benar menikmati menjadi perempuan. []