Mubadalah.id – Berpuasa di bulan Ramadhan adalah kewajiban setiap orang Islam yang sudah dewasa dan mampu menjalankanya.
Akan tetapi, Islam sebagai agama yang mudah, telah memberikan dispensasi (rukhsah) kepada orang-orang yang tidak mampu, baik karena faktor fisik atau kesehatan untuk tidak berpuasa.
Seperti orang yang sedang musafir, atau melakukan perjalanan, orang yang sudah uzur karena lanjut usia, atau orang yang sedang sakit.
Hal ini menunjukkan betapa syari’at Islam itu mudah, ringan, dan disesuaikan dengan kemampuan seseorang.
Sekalipun puasa itu wajib, namun mereka yang secara fisik tidak mampu, atau faktor kesehatannya akan terganggu, diperbolehkan untuk tidak berpuasa.
Nah, semua ulama fiqh berpandangan bahwa perempuan yang sedang hamil masuk dalam kategori orang yang memperoleh dispensasi (rukhsah) untuk tidak berpuasa.
Bagi banyak perempuan, berpuasa pada saat hamil cukup melelahkan, terutama pada bulan-bulan tua menjelang kelahiran.
Al-Qur’an sendiri menggambarkan kondisi kehamilan sebagai “kelelahan yang berlipat-lipat” (wahnan ‘ala wahnin). Kondisi ini diakui al-Qur’an dan disadari para ulama fiqh, sehingga perempuan hamil memperoleh keringanan untuk tidak berpuasa.
Apakah jika perempuan hamil merasa kuat secara fisik boleh berpuasa? Boleh, dan sudah dianggap menggugurkan kewajiban.
Namun, ia harus hati-hati dalam menimbang-nimbang hal ini. Jangan sampai, berpuasa justru membuatnya benar-benar lemah, lelah, dan berakibat buruk pada kesehatannya maupun janinnya.
Lalu jika meninggalkan puasa, apakah wajib menggantinya pada hari lain?
Ya, wajib menggantinya pada hari lain sepanjang tahun sampai datang Ramadan berikutnya.
Ketika tidak menggantinya selama setahun itu karena faktor kesengajaan, lalu datang Ramadan berikutnya, maka pada tahun berikutnya dia bisa menggantinya dan ditambah bayar fidyah untuk setiap hari 600 gram beras yang diberikan kepada orang miskin.
Benarkah perempuan hamil yang tidak berpuasa karena kekhawatiran pada bayinya harus mengganti hari lain dan bayar fidyah?
Benar, tetapi ini dalam Mazhab Syafi’i. Dalam Mazhab lain, seperti Hanafi juga sebagian ulama Mazhab Syafi’i, bayar fidyah bagi perempuan yang meninggalkan puasa karena khawatir pada kondisi bayinya adalah sunnah saja, tidak wajib. Yang wajib, dan disepakati semua ulama, adalah mengganti di hari lain, atau biasa dikenal dengan qadha.
Sementara bagi perempuan hamil yang meninggalkan puasa karena khawatir pada dirinya, atau khawatir pada dirinya sekaligus bayinya, ia hanya diwajibkan qadha saja, tanpa bayar perlu bayar fidyah. Wallahu a’lam. []