• Login
  • Register
Rabu, 21 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah Hukum Syariat

Bolehkah Perempuan Menjadi Wali Nikah?

Indonesia sendiri memilih pandangan mayoritas ulama fiqh yang mewajibkan perempuan menikah melalui walinya dari kerabat dekat yang berjenis kelamin laki-laki, mulai dari ayah, kakek, paman, atau saudara kandung

Faqih Abdul Kodir Faqih Abdul Kodir
08/04/2022
in Hukum Syariat, Rujukan
0
Wali Nikah

Wali Nikah

2.8k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Wali nikah yang dimaksud di sini adalah orang yang bertanggung-jawab melangsungkan ucapan akad nikah. Lazimnya, akad nikah berlangsung antara dua laki-laki. Yaitu calon mempelai laki-laki dan wali dari keluarga calon mempelai perempuan yang juga berjenis kelamin laki-laki. Wali dari pihak perempuan ini bisa saja mewakilkan pengucapan akad nikah tersebut kepada seorang tokoh yang berjenis kelamin laki-laki, biasanya ulama, atau kepada pihak pejabat pemerintah dari Kantor Urusan Agama (KUA) yang juga selalu laki-laki.

Namun, dalam berbagai kesempatan, sering diajukan pertanyaan: bolehkah perempuan menjadi wali akad nikah? Bukankah perempuan diperbolehkan, dan sudah banyak terjadi, melangsungkan semua akad-akad ekonomi, sosial, dan politik? Mengapa perempuan tidak boleh, dan tidak ada yang, menjadi wali nikah dalam pernikahan?

Ada dua persoalan dalam hal ini. Pertama, perempuan yang menjadi wali nikah bagi dirinya sendiri, sehingga ia bisa melangsungkan sendiri akad nikah tersebut, sebagaimana calon mempelai laki-laki, tanpa perlu wali dari keluarganya yang laki-laki. Dalam kondisi ini, termasuk juga perempuan yang mewakilkan ucapan akad nikah untuk dirinya kepada orang lain, baik tokoh agama, keluarga, maupun pejabat pemerintah. Kedua, perempuan yang menjadi wali nikah untuk orang lain, yang bertanggung-jawab melangsungkan akad nikah untuk kepentingan orang tersebut  yang di bawah perwaliannya.

Pandangan Ulama Fiqh

Mayoritas ulama fiqh, terutama Mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hanbali melarang perempuan menjadi wali nikah, baik untuk dirinya sendiri dengan melangsungkan akad nikah untuk dirinya atau untuk orang lain. Akad nikah yang dilangsungkan oleh perempuan adalah tidak sah. Sementara Mazhab Hanafi memperbolehkan perempuan yang sudah dewasa dan mampu berpikir secara baik untuk melangsungkan akad nikah bagi dirinya sendiri, sekalipun yang lebih baik adalah mewakilkan kepada walinya. Dan akad nikah yang dilangsungkan perempuan untuk dirinya sendiri adalah sah.[1]

Baca Juga:

Ketika Sejarah Membuktikan Kepemimpinan Perempuan

Qiyas Sering Dijadikan Dasar Pelarangan Perempuan Menjadi Pemimpin

Membantah Ijma’ yang Melarang Perempuan Jadi Pemimpin

Tafsir Hadits Perempuan Tidak Boleh Jadi Pemimpin Negara

Masing-masing pihak, mayoritas ulama fiqh dan ulama Mazhab Hanafi, memiliki argumentasi dari ayat-ayat al-Qur’an yang mendukung pandangan mereka masing-masing. Ayat-ayat ini, secara umum, tidak eksplisit memihak salah satu pandangan dari keduanya. Namun, di tangan masing-masing, ayat-ayat ini menjadi sangat logis untuk menjadi dasar bagi dua pandangan yang bersebrangan tersebut.

Masing-masing  pandangan juga mengajukan argumentasi dari teks-teks hadits yang dianggap relevan dan mendukung. Di antara argumentasi hadits yang paling eksplisit bagi pandangan mayoritas ulama yang melarang adalah teks hadits berikut ini:

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَإِنْ دَخَلَ بِهَا فَلَهَا الْمَهْرُ بِمَا اسْتَحَلَّ مِنْ فَرْجِهَا فَإِنِ اشْتَجَرُوا فَالسُّلْطَانُ وَلِىُّ مَنْ لاَ وَلِىَّ له (سنن الترمذي، رقم: 1125).

Dari Aisyah ra, bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Jika ada perempuan yang menikah tanpa izin walinya, maka nikahnya adalah batal (tidak sah), nikahnya batal, nikahnya batal. Apabila sudah kadung terjadi hubungan intim, (dengan pernikahan yang tidak sah ini), perempuan tetap berhak atas maharnya (dari laki-laki), untuk menghalalkan vaginanya (karena hubungan intim tersebut). Apabila terjadi pertengkaran antara mereka (perempuan dan walinya), maka yang menjadi wali bagi yang tidak memiliki wali (yang mau menikahkan) adalah negara”. (Sunan Turmudzi, no. hadits: 1125).

Status hadits ini, menurut Imam Tirmidzi sendiri, adalah baik (hasan). Isinya juga sangat eksplisit, jelas, dan tegas, bahwa perempuan yang mau menikah harus dilangsungkan akadnya oleh walinya,  bukan oleh dirinya sendiri. Namun, di mata Mazhab Hanafi, dengan analisis takhrij (penelitian silsilah) hadits yang diajukannya, teks hadits ini disimpulkan sebagai lemah. Di samping itu, ada teks lain yang diriwayatkan Imam Malik dalam al-Muwaththa’, tentang Aisyah ra yang justru menjadi wali yang menikahkan seorang perempuan dengan seorang laki-laki.[2]

عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْقَاسِمِ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ عَائِشَةَ زَوْجَ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم زَوَّجَتْ حَفْصَةَ بِنْتَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْمُنْذِرَ بْنَ الزُّبَيْرِ وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ غَائِبٌ بِالشَّامِ فَلَمَّا قَدِمَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ قَالَ وَمِثْلِى يُصْنَعُ هَذَا بِهِ وَمِثْلِى يُفْتَاتُ عَلَيْهِ فَكَلَّمَتْ عَائِشَةُ الْمُنْذِرَ بْنَ الزُّبَيْرِ فَقَالَ الْمُنْذِرُ فَإِنَّ ذَلِكَ بِيَدِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ فَقَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ مَا كُنْتُ لأَرُدَّ أَمْرًا قَضَيْتِيهِ فَقَرَّتْ حَفْصَةُ عِنْدَ الْمُنْذِرِ وَلَمْ يَكُنْ ذَلِكَ طَلاَقًا (موطأ مالك، رقم: 1167).

Dari Abdurrahman bin al-Qasim, dari ayahnya al-Qasim bin Abi Bakr ash-Shiddiq ra, bahwa Aisyah ra menikahkan Hafshah bint Abdurrahman dengan seorang laki-laki bernama al-Mundzir bin az-Zubair. Saat itu, Abdurrahman (ayah Hafshah) sedang sedang tidak ada, karena berada di Syam. Ketika ia datang dari Syam, dia mengeluh: “Orang sepertiku diperlakukan seperti ini? Orang sepertiku dilangkahi untuknya begitu saja?”. Lalu ‘Aisyah berbicara dengan al-Mundzir bin az-Zubair. Dan al-Mundzir kemudian berkata: “Semua ini (keputusannya berada) di tangan Abdurrahman”. Lalu Abdurrahman-pun menjawab: “Saya tidak bermaksud membatalkan akad yang telah kamu langsungkan, (wahai Aisyah)”. Dan Hafshah-pun tetap hidup serumah bersama al-Mundzir”. (Muwaththa’ Malik, no. hadits: 1167).

Di samping untuk menolak larangan perempuan dewasa yang menikahkan dirinya sendiri, teks ini juga mengindikasikan bahwa perempuan bisa menjadi wali nikah dan melangsungkan akad nikah bagi orang lain. Teks lain, yang digunakan Mazhab Hanafi, adalah atsar bahwa Abdullah bin Mas’ud ra telah mengizinkan istrinya melangsungkan akad nikah bagi putrinya. Sehingga, dalam Mazhab Hanafi, perempuan, tidak hanya boleh dan sah menikahkan dirinya sendiri, juga boleh dan sah, ketika tidak ada wali yang laki-laki, untuk menjadi wali nikah terhadap perempuan yang menjadi keluarganya.[3]

Pondasi Moral Hukum Perwalian

Indonesia sendiri memilih pandangan mayoritas ulama fiqh yang mewajibkan perempuan menikah melalui walinya dari kerabat dekat yang berjenis kelamin laki-laki, mulai dari ayah, kakek, paman, atau saudara kandung. Perwalian ini secara sosial dimaksudkan juga untuk memberi dukungan dan perlindungan bagi perempuan sehingga tidak dianggap remeh oleh laki-laki calon mempelainya. Karena, dalam benak banyak masyarakat, perempuan masih sering dianggap rendah, mudah diremehkan dan disia-siakan.

Mengantisipasi hal ini, juga memperkuat dukungan sosial terhadap perempuan, kehadiran wali nikah bagi perempuan dianggap penting dan menjadi wajib dalam perikatan akad pernikahan. Kecuali jika perempuan tidak memiliki wali, atau terjadi pertengkaran antara dirinya dengan walinya, maka Islam juga memberi jalan melalui wali hakim dari pihak negara. Utamanya, dalam Islam, wali hadir untuk mendukung dan melindungi perempuan. Wallahu a’lam. []

[1] Lihat: Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1987), jilid 2, halaman 118-121; dan Wizarah al-Awqaf wa asy-Syu’un al-Islamiyah al-Kuwaitiyah, al-Mawsu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, (Kuwait: Wizarah al-Awqaf wa asy-Syu’un al-Islamiyah al-Kuwaitiyah, 2006), jilid 45, halaman 173-174.

[2] Lihat: Jamal ad-Din Abdullah bin Yusuf az-Zayla’iy, Nashb ar-Rayah: Takhrij Ahadits al-Hidayah, editor: Ahmad Syams ad-Din, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2002), jilid 3, halaman 233-235.

[3] Untuk perdebatan yang lengkap mengenai argumentasi dua pandangan fiqh yang berbeda, dengan takhrij hadits lengkap bagi keduanya, bisa membaca disertasi Ghayda’ Abd al-Wahhab al-Mishri, Ahliyah al-Mar’ah fi as-Syari’ah al-Islamiyah, (Damaskus-Beirut-Kuwait: Dar an-Nawadir, 2012), jilid 2, halaman 659-767.

Tags: akad nikahFikih PerkawinanHukum Syariatlaki-lakiperempuanpernikahanWali Nikah
Faqih Abdul Kodir

Faqih Abdul Kodir

Founder Mubadalah.id dan Ketua LP2M UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon

Terkait Posts

Perempuan Fitnah

Perempuan Fitnah Laki-laki? Menimbang Ulang dalam Perspektif Mubadalah

15 Mei 2025
Perempuan sosial

Perempuan Bukan Fitnah: Membongkar Paradoks Antara Tafsir Keagamaan dan Realitas Sosial

10 Mei 2025
Sunat Perempuan

Sunat Perempuan dalam Perspektif Moral Islam

2 Mei 2025
Metode Mubadalah

Beda Qiyas dari Metode Mubadalah: Menjembatani Nalar Hukum dan Kesalingan Kemanusiaan

25 April 2025
Kontroversi Nikah Batin

Kontroversi Nikah Batin Ala Film Bidaah dalam Kitab-kitab Turats

22 April 2025
Idul Fitri

Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Menjadi Insan Bertakwa dan Mewujudkan Masyarakat Berkeadaban di Hari Kemenangan

30 Maret 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Bangga Punya Ulama Perempuan

    Saya Bangga Punya Ulama Perempuan!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • KB Menurut Pandangan Fazlur Rahman

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • KB dalam Pandangan Islam

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengenal Jejak Aeshnina Azzahra Aqila Seorang Aktivis Lingkungan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rieke Diah Pitaloka Soroti Krisis Bangsa dan Serukan Kebangkitan Ulama Perempuan dari Cirebon

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Peran Aisyiyah dalam Memperjuangkan Kesetaraan dan Kemanusiaan Perempuan
  • KB dalam Pandangan Riffat Hassan
  • Ironi Peluang Kerja bagi Penyandang Disabilitas: Kesenjangan Menjadi Tantangan Bersama
  • KB Menurut Pandangan Fazlur Rahman
  • Saya Bangga Punya Ulama Perempuan!

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version