• Login
  • Register
Selasa, 3 Juni 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

Bukan hanya Perempuan, Laki-laki juga Korban Patriarki

Sadar bahwa selama ini patriarki juga merugikan laki-laki, bukan hanya perempuan. Masyarakat dari berbagai komponen sosial, baik laki-laki maupun perempuan harus berperan aktif dalam semua lini untuk menghapus nilai-nilai dan kultur patriarki

Luqyana Chaerunnisa Luqyana Chaerunnisa
19/01/2022
in Personal
0
Gangguan Mental

Gangguan Mental

605
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

“Sejak kecil saya tidak boleh menangis. Laki-laki harus kuat karena kelak akan menjadi kepala rumah tangga. Orang tua membuat saya menjadi makhluk yang superior. Saya tersiksa, harus selalu terlihat kuat serta lebih unggul daripada kakak-kakak perempuan saya. Saya tidak bisa menjadi diri sendiri, selayaknya manusia bebas yang dapat menentukan jalannya. Ternyata, korban dari budaya patriarki bukan hanya perempuan, tapi laki-laki juga. Makanya kita harus bekerjasama untuk menghilangkannya”.

Mubadalah.id – Itulah curahan hati yang diutarakan oleh seorang teman laki-laki, usai kami berdiskusi tentang siapa sebenarnya korban dari budaya patriarki. Ia juga harus menerima kenyataan pahit atas budaya yang selama ini membelenggunya. Sikap dan perlakuan patriarki yang menuntut seorang laki-laki harus terlihat kuat dan lebih unggul, ternyata tidak semua kalangan menerimanya.

Patriarki merupakan sebuah system yang menjadikan laki-laki memiliki kekuasaan paling utama serta mendominasi dalam kapasitas kepemimpinan, dominasi moral, serta kedaulatan sosial.

Budaya patriarki telah menempatkan laki-laki sebagai sosok maskulin yang selalu diposisikan “superior” dengan sifatnya yang berani, perkasa, kuat dan tidak cengeng. Sedangkan perempuan sebagai pihak feminim yang diposisikan “subordinasi” dengan sifatnya yang lemah lembut, mudah menangis, emosional dan lemah.

Ideologi patriarki yang mengedepankan kepentingan laki-laki, serta meninggikan nilai-nilai maskulin, dan di saat yang sama juga merendahkan nilai-nilai feminis. Sehingga hal itulah yang kerap menyebabkan perlakuan diskriminatif terhadap perempuan.

Perempuan seringkali menjadi pihak yang termarginalkan. Namun, kekuatan yang mendominasi serta privilege yang dimiliki laki-laki akibat budaya patriarki, tidak seutuhnya diterima oleh semua kalangan. Jika dilihat dari perspektif yang lebih luas, ternyata laki-laki juga korban dari patriarki.

Baca Juga:

Luka Cinta di Dinding Rumah: Tafsir Feminis-Spiritual atas Tubuh yang Terlupakan

Mengapa dan Untuk Apa Perempuan Memakai Jilbab?

Bagaimana Hukum Dokter Laki-laki Memasangkan Kontrasepsi IUD?

Mengenal Perbedaan Laki-laki dan Perempuan secara Kodrati

  1. Laki-laki mengalami toxic masculinity.

Konstruk menyebabkan laki-laki tidak dapat mengekspresikan kesedihannya dengan menangis, membuat laki-laki cenderung meluapkan emosinya secara negatif yakni dalam bentuk kekerasan secara fisik. Ketidakmampuan laki-laki dalam mengelola emosinya membawa mereka terjebak dalam konsep maskulitas yang beracun(toxic masculinity).

Dalam jurnal yang berjudul Toxic Masculinity Barrire to Mental Health Treatment in Prison menyatakan bahwa maskulinitas beracun ialah hegemoni maskulitas yang dapat menumbuhkan dominasi orang lain, hal ini dapat merusak secara sosial. Laki-laki cenderung akan berkompetisi ekstrim, tidak peka terhadap pengalaman dan bahkan kurang mempertimbangkan pengalaman dan perasaan orang lain, memiliki kekuatan untuk mendominasi dan mengendalikan orang lain.

Beberapa aspek lainnya yang ditimbulkan dari hegemoni maskulinitas yakni peniadaan emosi kecuali kemarahan yang menimbulkan tindak kekerasan, menolak meminta bantuan, serta membenci segala sesuatu yang berkaitan dengan atribut feminim.

Akar dari kekerasan terhadap perempuan salah satunya yakni toxic masculinity, disamping merugikan perempuan. Toxic masculinity juga berdampak buruk terhadap laki-laki diantaranya yakni laki-laki mengalami tekanan psikologis. Merupakan tekanan mental terhadap standar yang diberikan kepada laki-laki, laki-laki diharapkan menjadi manusia yang anti lemah, tidak mudah cengeng, dan harus selalu terlihat kuat. Padahal, kenyataanya tidak semua laki-laki mampu untuk memenuhi daftar ideal tersebut.

Pada kasus lain misalnya, banyak laki-laki yang memiliki sifat feminim, atau sebutan populernya ialah “kemayu”. Namun, laki-laki yang masuk dalam kategori ini sering dipandang lebih rendah ketimbang laki-laki yang dipandang maskulin. Hal ini juga menimbulkan bentuk diskriminasi terhadap laki-laki yang lebih lemah, dan biasanya mengalami pembullyan, ejekan, hingga pada tindak kekerasan.

  1. Patriarki membatasi ruang gerak dan aktualisasi diri laki-laki.

Pembagian kerja yang tidak proporsional antara laki-laki dan perempuan akibat dari budaya patriarki. Konstruk menyatakan bahwa laki-laki yang bekerja di ranah publik, sedangkan perempuan berada di ranah domestik, Mengakibatkan ruang gerak dan aktualisasi diri bagi laki-laki menjadi terbatas.

Misalnya, sedari kecil anak laki-laki tidak boleh untuk bermain masak-masakan, makeup-makeup-an karena dianggap itu adalah mainan anak perempuan. Padahal mainan tidak memiliki kecenderungan terhadap salah satu gender. Begitupun permainan yang diberikan kepada perempuan, tidaklah harus yang bersifat domestik.

Laki-laki dan perempuan berhak untuk memaksimalkan kemampuannya sedari kecil, agar mengetahui passion atau keahliannya tanpa dibatasi oleh gender. Tidak ada yang salah jika anak laki-laki main masak-masakan, entah ke depan dia akan jadi chef atau sederhananya dapat berguna kelak saat ia jauh dari orang tua yang mengharuskan memasak sendiri.

Anak laki-laki yang main makeup-makeup karena tertarik untuk membuka salon dan menjadi MUA. Begitupun dengan anak perempuan yang bermain mobil-mobilan atau permainan yang berbau ketangkasan.

Maka, dengan begitu tidak adanya pembakuan terhadap peran gender pada laki-laki dan perempuan. Dimana keduanya dapat melakukan peran yang sama untuk bergerak dan  mengaktualisasikan dirinya, seperti halnya laki-laki dapat melakukan pekerjaan domestik dan perempuan dapat melakukan pekerjaan publik.

  1. Laki-laki harus menjadi mitra untuk membunuh patriarki.

Sadar bahwa selama ini patriarki juga merugikan laki-laki, bukan hanya perempuan. Masyarakat dari berbagai komponen sosial, baik laki-laki maupun perempuan harus berperan aktif dalam semua lini untuk menghapus nilai-nilai dan kultur patriarki.

Laki-laki wajib untuk menjadi bagian dari solusi atas permasalahan patriarki. Seperti yang disampaikan oleh Bapak Nur Hasyim, Founder Laki-Laki Baru menegaskan bahwa salah satu cara untuk mengakhiri personal gender yakni dengan mengedukasi sesama laki-laki mengenai ketidakadilan.

Menyadari bahwa keistimewaan yang diberikan kepada laki-laki dari konstruk patriarki melahirkan tuntutan yang dibebankan dan sudah sepatutnya untuk dipenuhi. Padahal, kenyataanya tidak semua laki-laki memenuhi daftar ideal tersebut, bahkan sebagian merasa tersiksa akan adanya tanggungjawab itu.

Sebagai contoh dalam kasus dalam rumah tangga. Misalnya sebagai laki-laki yang dianggap pencari nafkah utama tapi tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan, sehingga mendapat ejekan dari tetangga. Atau dalam lingkungan sekolah, laki-laki harus tetap jadi ketua kelas, padahal secara kuantitas dan kualitas lebih layak kandidat perempuan.

Upaya-upaya untuk menghapus berbagai pandangan yang merugikan laki-laki dan perempuan harus terus didengungkan. Cita-cita untuk meluruhkan budaya patriarki bukanlah hal yang mudah, Diperlukan  kerja keras, pembagian peran yang setara antara laki-laki dan perempuan, serta kegigihan dalam memperjuangkannya.

Menumbuhkan paradigma kesetaraan berdasar pengalaman personal yang dialami oleh masing-masing orang. Meski kita dibesarkan dan dibentuk oleh nilai-nilai patriarkis, namun kita dapat memilih untuk tidak menyalurkannya kepada generasi selanjutnya. []

Tags: korbanlaki-lakipatriarkiperempuan
Luqyana Chaerunnisa

Luqyana Chaerunnisa

Mahasiswi Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Bisa dihubungi melalui Instagram @luqyanachaerunnisa

Terkait Posts

Tubuh yang Terlupakan

Luka Cinta di Dinding Rumah: Tafsir Feminis-Spiritual atas Tubuh yang Terlupakan

3 Juni 2025
Kurban

Kurban Sapi atau Kambing? Tahun Ini Masih Kurban Perasaan! Refleksi atas Perjalanan Spiritual Hari Raya Iduladha

2 Juni 2025
Pandangan Subordinatif

Dekonstruksi Pandangan Subordinatif terhadap Istri dalam Rumah Tangga

31 Mei 2025
Joglo Baca SUPI

Joglo Baca SUPI: Oase di Tengah Krisis Literasi

31 Mei 2025
Disabilitas dan Seni

Kreativitas tanpa Batas: Disabilitas dan Seni

31 Mei 2025
Difabel di Dunia Kerja

Menjemput Rezeki Tanpa Diskriminasi: Cara Islam Memandang Difabel di Dunia Kerja

30 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Tubuh yang Terlupakan

    Luka Cinta di Dinding Rumah: Tafsir Feminis-Spiritual atas Tubuh yang Terlupakan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Perbedaan Feminisme Liberal dan Feminisme Marxis

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Penyandang Disabilitas: Teknologi Asistif Lebih Penting daripada Mantan Pacar

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengapa dan Untuk Apa Perempuan Memakai Jilbab?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Membaca Ulang Makna Aurat dalam Al-Qur’an

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Aurat Menurut Pandangan Ahli Fiqh
  • Trans Jogja Ramah Difabel, Insya Allah!
  • Membaca Ulang Makna Aurat dalam Al-Qur’an
  • Luka Cinta di Dinding Rumah: Tafsir Feminis-Spiritual atas Tubuh yang Terlupakan
  • Menyoal Jilbab dan Hijab: Antara Etika Sosial dan Simbol Kesalehan

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID