Mubadalah.id – Malam itu, Indah merasakan kegalauan yang luar biasa. Hatinya risau. Berulang kali dia mengecek dashboard penjualan produk pada web page platform digital miliknya. Pasalnya, penjualan produk digitalnya tidak kunjung mengalami kenaikan. Padahal dia sudah berusaha melakukan promosi sebisanya.
Bergegas Indah menuangkan kegalauannya ini dalam sebuah grup whatssapp yang anggotanya adalah juga para pebisnis. Mendengar kegalauan Indah, banyak anggota grup yang menyarankan agar Indah lebih mengatur waktu lagi agar bisa konsisten membuat konten promosi.
Indah mengiyakan saran tersebut sambil mengeluh bahwa sulit sekali membagi waktu antara bisnis digital dan tanggung jawab di rumah, mengingat Indah adalah ibu rumah tangga. Sementara suaminya juga tidak bisa membantu urusan anak dan domestik dengan alasan pekerjaan.
Alih-alih mendapatkan validasi atas kesulitannya, salah satu anggota grup berkomentar “ya sulit sih mbak kalo kita terus bermindset korban, kalau mau sukses di bisnis ini, jangan punya mindset korban” cuitnya sambil mengirimkan video motivasi yang isinya persis seperti yang dia katakan.
Anggota grup yang lain juga menimpali dengan kalimat motivasi senada yang intinya “Jangan kebanyakan ngeluh, jangan kebanyakan menyalahkan keadaan, take action!”.
Bukannya lega mendengarkan motivasi dari sejawatnya tersebut, Indah justru merasa sedih dan frustasi. Sejak memutuskan untuk membangun bisnis produk digital 5 bulan lalu, Indah memang merasa lebih berdaya. Cita-citanya untuk bisa menjadi ibu yang full time di rumah namun tetap berpenghasilan serasa sudah di depan mata.
Dianggap Bermindset Korban
Diawalinya pagi dengan semangat membara. Berbagai rencana dan list to do menantinya. Dari survey produk digital, analisis market, mempersiapkan konten promosi dan berbagai hal untuk membangun bisnisnya. Namun Indah terus tertampar realita. Semangatnya yang membara itu bisa tiba-tiba meredup di hari yang sama karena kejadian yang tidak terduga.
Anak yang tiba-tiba rewel dan sakit atau kejadian lain di luar kendalinya. Belum lagi Indah juga bertanggungjawab atas semua pekerjaan domestik yang tak ada habisnya. Setiap menit yang ia curi untuk laptopnya terasa seperti dosa, sementara tubuhnya sendiri remuk redam kelelahan. Indah semakin frustasi karena semua hal tidak berjalan sesuai rencananya.
Lalu saat Indah mengeluh dan menyalahkan keadaan, dia dianggap bermindset korban. Indah merasa kecil. Indah merasa sendirian. Padahal kesulitan itu nyata dia rasakan. Tetapi mengapa semua orang serasa menyalahkannya?
Suami menyalahkan ketika pekerjaan rumah tidak beres, orang lain pun menghakiminya dengan “mindset korban” saat dia mengeluhkan kesulitan. Seolah semua ini hanya tentang cara dia berfikir,bukan realita nyata yang dia pikul. Apakah ini memang hanya soal mindset? Apakah memang menjadi mompreuner Impian hanyalah angan-angan bagi Indah?
Ini tentang Belenggu Sistemik, Bukan Hanya Kesalahan berpikir
Saya setuju bahwa kalimat motivasi “Jangan bermindset korban” sebenarnya mengajak kita untuk tidak membiarkan identitas korban menjadi satu-satunya identitas kita.
Motivasi ini mengajak kita untuk move on dari pengalaman menyakitkan yang membuat kita terus terjebak dalam peran pasif, tidak berdaya, dan menyalahkan keadaan secara terus menerus. Sehingga benar, terus menerus mempunyai mindset seperti ini kemungkinan bisa menjadi penghalang seseorang untuk mencapai apa yang diinginkannya.
Namun, kalimat motivasi seperti ini seringkali miskin konteks dan bisa sangat menyakitkan terutama untuk mereka yang memang adalah korban system dan struktur. Termasuk untuk perempuan dengan multiperan seperti ibu rumah tangga yang mencoba lebih berdaya dengan membangun bisnis dari rumah. Saya yakin, cerita Indah juga dialami oleh banyak perempuan dengan rasa frustasi yang sama.
Perempuan-perempuan ini, dalam kesehariannya sangat struggle dengan banyak hal. Tekanan sosial dan ekspektasi menjadi istri teladan, ibu sempurna sekaligus berpenghasilan menjadi beban ganda tak kasat mata yang tidak hanya menguras waktu tetapi juga energi dan kelelahan fisik.
Jadi ketika perempuan ini menyalahkan keadaan, menyalahkan suami bahkan anak-anaknya karena dia “gagal maju” seringkali bukan karena dia bermindset korban. Ini adalah respon alami terhadap kelelahan ekstrem, burnout, dan merasa terperangkap. Beban ganda pekerjaan domestik yang 24 jam nonstop ditambah pekerjaan untuk membangun bisnis atau karir yang dicita-citakannya menciptakan kondisi fisik dan mental yang sangat membatasi.
Menyalahkan keadaan bisa jadi adalah mekanisme coping yang dinilai tidak sehat, namun hal tersebut bisa muncul secara otomatis terhadap seorang perempuan dengan banyak tuntutan. Mereka merasa sudah mencapai batasnya dan tidak ada lagi jalan keluar. Jika demikian, maka sebenarnya tindakan mengeluh dan menyalahkan keadaan adalah ekspresi dari frustasi dan keputusasaan. Bukan karena bermindset korban.
Gema kata Tanpa Gema rasa
Meski mungkin ada faktor personal, namun hambatan utama perempuan menjadi lebih berdaya seringkali bersifat struktural dan sistemik. Budaya dan norma sosial masih menempatkan seluruh beban domestik di pundak perempuan. Sehingga pembagian kerja domestik dalam rumah tangga tidak seimbang antara suami dan istri. Suami abai namun merasa sudah bertanggungjawab, sementara istri lelah dalam diam.
Kalimat motivasi memang adalah kalimat yang kita gunakan untuk menyuntikkan semangat pantang menyerah bahkan dalam situasi tersulit, namun seringnya masih dangkal dan hanya menyentuh permukaan. Menurut saya, motivasi yang paling kuat justru berakar pada pemahaman mendalam tentang kondisi seseorang. Dalam hal ini, kepekaan dan empati menjadi hal yang sangat ia butuhkan.
Analoginya begini, Bagaimana kita bisa memotivasi seseorang untuk berlari jika kakinya patah? Motivasi tersebut baru relevan setelah kakinya sembuh dan dia siap. Begitu juga perempuan dengan banyak tuntutan peran, bagaimana dia bisa berhasil membangun bisnis dan karir yang cemerlang sementara fisik dan mentalnya sedang remuk redam?
Bagi sebagian perempuan, terutama mereka yang multi peran dan tidak punya support system yang mendukung, kalimat “Jangan bermindset korban” justru terdengar sebagai pengabaian. Alih-alih memberdayakan, kalimat motivasi tersebut bisa membuat mereka merasa sendiri dan terus disalahkan.
Perspektif Lain tentang Motivasi
Saya yakin, sebagian besar perempuan tidak mau segala hal yang direncanakannya gagal. Mereka sebenarnya mempunyai kekuatan. Mereka tahu betul harus bertindak apa, tapi seringkali mereka tidak berdaya karena keadaan.
Motivasi sejati menurut saya adalah saat kita bisa membantu mereka mengenali kekuatannya dengan mevalidasi segala bebannya, bukan mengabaikannya. Tujuan dari motivasi justru akan gagal jika mereka merasa tidak dipahami dan diremehkan.
Maka, kalimat motivasi “Jangan bermindset korban kalau ingin sukses” akan relevan untuk perempuan yang sudah siap. Siapakah mereka? Perempuan yang sudah mempunyai sistem dukungan yang solid, sudah melewati proses healing dan kesehatan mental yang stabil serta memiliki akses ke sumberdaya yang mendukung. Yang belum mendapatkan semua itu? Mari kita bantu.
Ini adalah perspektif lain tentang motivasi. Bahwa tanpa empati, motivasi bisa menjadi buta, tidak relevan bahkan melukai. []