• Login
  • Register
Sabtu, 21 Juni 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

Bukan Sekadar “Jangan Bermindset Korban Kalau Ingin Sukses”, Ini Realita Sulitnya Jadi Perempuan dengan Banyak Tuntutan

Menurut saya, motivasi yang paling kuat justru berakar pada pemahaman mendalam tentang kondisi seseorang.

Thau'am Ma'rufah Thau'am Ma'rufah
21/06/2025
in Personal
0
Jangan Bermindset Korban

Jangan Bermindset Korban

1.1k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Malam itu, Indah merasakan kegalauan yang luar biasa. Hatinya risau. Berulang kali dia mengecek dashboard penjualan produk pada web page platform digital miliknya. Pasalnya, penjualan produk digitalnya tidak kunjung mengalami kenaikan. Padahal dia sudah berusaha melakukan promosi sebisanya.

Bergegas Indah menuangkan kegalauannya ini dalam sebuah grup whatssapp yang anggotanya adalah juga para pebisnis. Mendengar kegalauan Indah, banyak anggota grup yang menyarankan agar Indah lebih mengatur waktu lagi agar bisa konsisten membuat konten promosi.

Indah mengiyakan saran tersebut sambil mengeluh bahwa sulit sekali membagi waktu antara bisnis digital dan tanggung jawab di rumah, mengingat Indah adalah ibu rumah tangga. Sementara suaminya juga tidak bisa membantu urusan anak dan domestik dengan alasan pekerjaan.

Alih-alih mendapatkan validasi atas kesulitannya, salah satu anggota grup berkomentar “ya sulit sih mbak kalo kita terus bermindset korban, kalau mau sukses di bisnis ini, jangan punya mindset korban” cuitnya sambil mengirimkan video motivasi yang isinya persis seperti yang dia katakan.

Anggota grup yang lain juga menimpali dengan kalimat motivasi senada yang intinya “Jangan kebanyakan ngeluh, jangan kebanyakan menyalahkan keadaan, take action!”.

Baca Juga:

Luka Ibu Sebelum Suapan Terakhir Bagian II

Katanya, Jadi Perempuan Tidak Perlu Repot?

Membaca Fenomena Perempuan Berolahraga

Dari Brain Rot ke Brain Refresh, Pentingnya Menjaga Kesehatan Akal

Bukannya lega mendengarkan motivasi dari sejawatnya tersebut, Indah justru merasa sedih dan frustasi. Sejak memutuskan untuk membangun bisnis produk digital 5 bulan lalu, Indah memang merasa lebih berdaya. Cita-citanya untuk bisa menjadi ibu yang full time di rumah namun tetap berpenghasilan serasa sudah di depan mata.

Dianggap Bermindset Korban

Diawalinya pagi dengan semangat membara. Berbagai rencana dan list to do menantinya. Dari survey produk digital, analisis market, mempersiapkan konten promosi dan berbagai hal untuk membangun bisnisnya. Namun Indah terus tertampar realita. Semangatnya yang membara itu bisa tiba-tiba meredup di hari yang sama karena kejadian yang tidak terduga.

Anak yang tiba-tiba rewel dan sakit atau kejadian lain di luar kendalinya. Belum lagi Indah juga bertanggungjawab atas semua pekerjaan domestik yang tak ada habisnya. Setiap menit yang ia curi untuk laptopnya terasa seperti dosa, sementara tubuhnya sendiri remuk redam kelelahan. Indah semakin frustasi karena semua hal tidak berjalan sesuai rencananya.

Lalu saat Indah mengeluh dan menyalahkan keadaan, dia dianggap bermindset korban. Indah merasa kecil. Indah merasa sendirian. Padahal kesulitan itu nyata dia rasakan. Tetapi mengapa semua orang serasa menyalahkannya?

Suami menyalahkan ketika pekerjaan rumah tidak beres, orang lain pun menghakiminya dengan “mindset korban” saat dia mengeluhkan kesulitan. Seolah semua ini hanya tentang cara dia berfikir,bukan realita nyata yang dia pikul. Apakah ini memang hanya soal mindset? Apakah memang menjadi mompreuner Impian hanyalah angan-angan bagi Indah?

Ini tentang Belenggu Sistemik, Bukan Hanya Kesalahan berpikir

Saya setuju bahwa kalimat motivasi “Jangan bermindset korban” sebenarnya mengajak kita untuk tidak membiarkan identitas korban menjadi satu-satunya identitas kita.

Motivasi ini mengajak kita untuk move on dari pengalaman menyakitkan yang membuat kita terus terjebak dalam peran pasif, tidak berdaya, dan menyalahkan keadaan secara terus menerus. Sehingga benar, terus menerus mempunyai mindset seperti ini kemungkinan bisa menjadi penghalang seseorang untuk mencapai apa yang diinginkannya.

Namun, kalimat motivasi seperti ini seringkali miskin konteks dan bisa sangat menyakitkan terutama untuk mereka yang memang adalah korban system dan struktur. Termasuk untuk perempuan dengan multiperan seperti ibu rumah tangga yang mencoba lebih berdaya dengan membangun bisnis dari rumah. Saya yakin, cerita Indah juga dialami oleh banyak perempuan dengan rasa frustasi yang sama.

Perempuan-perempuan ini, dalam kesehariannya sangat struggle dengan banyak hal.  Tekanan sosial dan ekspektasi menjadi istri teladan, ibu sempurna sekaligus berpenghasilan menjadi beban ganda tak kasat mata yang tidak hanya menguras waktu tetapi juga energi dan kelelahan fisik.

Jadi ketika perempuan ini menyalahkan keadaan, menyalahkan suami bahkan anak-anaknya karena dia “gagal maju” seringkali bukan karena dia bermindset korban. Ini adalah respon alami terhadap kelelahan ekstrem, burnout, dan merasa terperangkap. Beban ganda pekerjaan domestik yang 24 jam nonstop ditambah pekerjaan untuk membangun bisnis atau karir yang dicita-citakannya menciptakan kondisi fisik dan mental yang sangat membatasi.

Menyalahkan keadaan bisa jadi adalah mekanisme coping yang dinilai tidak sehat, namun hal tersebut bisa muncul secara otomatis terhadap seorang perempuan dengan banyak tuntutan. Mereka merasa sudah mencapai batasnya dan tidak ada lagi jalan keluar. Jika demikian, maka sebenarnya tindakan mengeluh dan menyalahkan keadaan adalah ekspresi dari frustasi dan keputusasaan. Bukan karena bermindset korban.

Gema kata Tanpa Gema rasa

Meski mungkin ada faktor personal, namun hambatan utama perempuan menjadi lebih berdaya seringkali bersifat struktural dan sistemik. Budaya dan norma sosial masih menempatkan seluruh beban domestik di pundak perempuan. Sehingga pembagian kerja domestik dalam rumah tangga tidak seimbang antara suami dan istri. Suami abai namun merasa sudah bertanggungjawab, sementara istri lelah dalam diam.

Kalimat motivasi memang adalah kalimat yang kita gunakan untuk menyuntikkan semangat pantang menyerah bahkan dalam situasi tersulit, namun seringnya masih dangkal dan hanya menyentuh permukaan. Menurut saya, motivasi yang paling kuat justru berakar pada pemahaman mendalam tentang kondisi seseorang. Dalam hal ini, kepekaan dan empati menjadi hal yang sangat ia butuhkan.

Analoginya begini, Bagaimana kita bisa memotivasi seseorang untuk berlari jika kakinya patah? Motivasi tersebut baru relevan setelah kakinya sembuh dan dia siap. Begitu juga perempuan dengan banyak tuntutan peran, bagaimana dia bisa berhasil membangun bisnis dan karir yang cemerlang sementara fisik dan mentalnya sedang remuk redam?

Bagi sebagian perempuan, terutama mereka yang multi peran dan tidak punya support system yang mendukung, kalimat “Jangan bermindset korban” justru terdengar sebagai pengabaian. Alih-alih memberdayakan, kalimat motivasi tersebut bisa membuat mereka merasa sendiri dan terus disalahkan.

Perspektif Lain tentang Motivasi

Saya yakin, sebagian besar perempuan tidak mau segala hal yang direncanakannya gagal. Mereka sebenarnya mempunyai kekuatan. Mereka tahu betul harus bertindak apa, tapi seringkali mereka tidak berdaya karena keadaan.

Motivasi sejati menurut saya adalah saat kita bisa membantu mereka mengenali kekuatannya dengan mevalidasi segala bebannya, bukan mengabaikannya. Tujuan dari motivasi justru akan gagal jika mereka merasa tidak dipahami dan diremehkan.

Maka, kalimat motivasi “Jangan bermindset korban kalau ingin sukses” akan relevan untuk perempuan yang sudah siap. Siapakah mereka? Perempuan yang sudah mempunyai sistem dukungan yang solid, sudah melewati proses healing dan kesehatan mental yang stabil serta memiliki akses ke sumberdaya yang mendukung. Yang belum mendapatkan semua itu? Mari kita bantu.

Ini adalah perspektif lain tentang motivasi. Bahwa tanpa empati, motivasi bisa menjadi buta, tidak relevan bahkan melukai. []

 

 

 

 

 

Tags: beban gandaJangan Bermindset KorbanKekerasan Berbasis GenderKesehatan Mentalstigma
Thau'am Ma'rufah

Thau'am Ma'rufah

Penulis saat ini mengajar di UIN Raden Mas Said Surakarta dan menjadi salah satu anggota @puanmenulis.

Terkait Posts

Teman Disabilitas

Kebaikan Yang Justru Membunuh Teman Disabilitas

21 Juni 2025
Lelaki Patriarki

Lelaki Patriarki : Bukan Tidak Bisa tapi Engga Mau!

19 Juni 2025
Kesalehan Perempuan

Kesalehan Perempuan di Mata Filsuf Pythagoras

16 Juni 2025
Pesantren Disabilitas

Sebuah Refleksi atas Kekerasan Seksual di Pesantren Disabilitas

16 Juni 2025
Catcalling

Mari Berani Bersuara Melawan Catcalling di Ruang Publik

15 Juni 2025
Jadi Perempuan

Katanya, Jadi Perempuan Tidak Perlu Repot?

14 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Fiqh Al Usrah

    Fiqh Al Usrah: Menemukan Sepotong Puzzle yang Hilang dalam Kajian Fiqh Kontemporer

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Stereotipe Perempuan sebagai Ibu Rumah Tangga

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pentingnya Relasi Timbal Balik dalam Hubungan Intim Suami Istri

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengapa Cinta Alam Harus Ditanamkan Kepada Anak Sejak Usia Dini?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Bukan Sekadar “Jangan Bermindset Korban Kalau Ingin Sukses”, Ini Realita Sulitnya Jadi Perempuan dengan Banyak Tuntutan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Kebaikan Yang Justru Membunuh Teman Disabilitas
  • Urgensi Ijtihad Fikih yang Berpihak Kepada Perempuan
  • Bukan Sekadar “Jangan Bermindset Korban Kalau Ingin Sukses”, Ini Realita Sulitnya Jadi Perempuan dengan Banyak Tuntutan
  • Relasi Hubungan Seksual yang Adil bagi Suami Istri
  • Mengapa Cinta Alam Harus Ditanamkan Kepada Anak Sejak Usia Dini?

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID