Judul: Ibu, Sedang Apa?
Pengarang: Edi AH Iyubenu
Penerbit: DIVA Press
Tebal buku: 188 Halaman
Cetakan: Cetakan Pertama, Juli 2020
Mubadalah.id – “Untuk apa mobil-mobil itu, Bu? Andai Tuhan berkenan mengembalikanmu ke pelukanku, dengan cara kubuang semua mobil itu, tanpa syak sedikitpun akan kuiyakan. Demi-mu, Ibu.”
Kalimat di atas merupakan penggalan kata dari buku ini yang mencerminkan betapa tak ada yang bisa menandingi harga dan pengorbanan seorang ibu, bahkan dunia sekalipun. Sebab sejatinya ibu adalah dunia bagi anaknya, tak ada duanya dan tak pernah ada bandingannya.
Sealur dengan hadis riwayat Imam Bukhori no. 6037 tentang penuturan kasih sayang kepada ibu yang berulang sampai tiga kali, lantas kemudian ayah.
Seseorang datang dan bertanya kepada Nabi Muhammad SAW, “Wahai Rasulullah, untuk pertama kali aku harus berbakti kepada siapa?” Nabi SAW menjawab, “Ibumu!” kemudian orang tersebut bertanya kembali, “Kemudian kepada siapa lagi?”
Nabi SAW pun menjawab, “Ibumu!” dan orang tersebut bertanya lagi, “Kemudian siapa lagi?” Nabi SAW menjawab dengan serupa, “Ibumu” dan orang tersebut bertanya kembali, “Kemudian siapa lagi,” Nabi SAW pun menjawab dengan jawaban yang berbeda, “Kemudian ayahmu.”
Imam Al-Qurthubi berpendapat dalam kitab tafsirnya, Tafsir Al-Qurthubi bahwa hadis tersebut mengindikasikan kepada setiap anak untuk melipatgandakan kasih sayang kepada ibunya. Mengingat begitu banyak rangkaian kesulitan dan pengorbanannya sejak dari dalam kandungan gerakannya menjadi terbatas dan lambat sebab beban di perutnya.
Kemudian Ibu melahirkan dengan mempertaruhkan nyawa sebagai bayarannya, Bahkan sampai dalam masa buaian pun ia harus sibuk untuk menyusui demi perkembangan tubuh yang sehat.
Tanggung Jawab Ibu
Peran ibu tentang tanggung jawab personalnya juga disinggung di dalam Al-Qur’an, misal QS. Luqman 31(14) dan QS. Al-Ahqaf 46(15). Dua ayat tersebut menyampaikan untuk berbakti dan berbuat baik kepada orang tua. Khususnya ibu yang telah melaksanakan tanggung jawab reproduksi dengan penuh kesabaran. Ungkapan untuk memuliakan ibu sebab mempunyai peran berat dalam reproduksi melanjutkan keturunan.
Beberapa sikap mulia anak terhadap ibu tercerminkan di dalam buku ini, setidaknya penulis merangkumnya ke dalam empat poin.
Pertama, berbakti dan taat kepada arahannya
Berbakti dalam artian senantiasa berbuat baik kepadanya, menunaikan semua haknya, menjauhi segala bentuk tindakan yang membuatnya kecewa dan melakukan semua arahannya selagi tak bertentangan dengan perintah Tuhan.
Semua bentuk tindakan tersebut memanglah sepadan dengan segala kasih dan sayangnya, sebagaimana termaktub di buku ini “Andai rasa sakitmu bisa dipindah, sudah ibu tanggung rasa sakitnya nak.”
Ungkapan seorang ibu betapa tidak ingin melihat anaknya menderita, andai kuasa sudah tentu rasa sakit yang anaknya rasakan, sudah tentu ia tanggung. Dengan begitu wajar saja andai setiap anak harus membalasnya dengan berbakti dan mewujudkan kehendaknya.
Kedua, sopan santun dalam berbicara.
Sebelum fasih dalam berbicara, semua anak hanya bisa menangis untuk mengungkapkan isi hatinya. Namun perlahan seorang ibu mengajari sepatah kata sampai lancar berbicara layaknya sekarang. Tahapan yang tak secara instan dan butuh pengulangan berulang kali, disertai ketelatenan dan kesabaran mengajaknya untuk berbicara.
Lantas tak pantas rasanya untuk berbicara sok hebat dan luar biasa di depan orang yang mengajarinya bicara. Bahkan keintelektualan sekalipun tak pantas kita lontarkan kalau ibu yang menjadi lawan bicaranya. Omongan dan celotehan yang kurang sopan kita ucapkan sedapat mungkin jangan pernah kita keluarkan.
Esensi yang terkandung dari buku ini pun demikian, menunjukkan sikap ketidaksetujuannya kepada orang yang kurang sopan kepada ibunya terlebih malah memarahi dan melukai hatinya.
“Bagaimana bisa ada anak yang tega memarahinya ibunya?”, bukankah itu tak pantas terekspresikan entah dalam bentuk apapun tindakannya. Kesalahan apapun yang ibu perbuat, tak elok mendapatkan perlakuan begitu, lebih-lebih karena hanya mengikuti nafsu dan ego belaka.
Ketiga, merawat hubungan emosional.
Mulai dari tindakan kecil dan sederhana yang bahkan terkesan receh dapat membangun hubungan baik, misalnya menyempatkan diri untuk bertukar kabar walaupun melalui gawai. Sederhana namun dapat menenangkan hati seorang ibu. Lebih-lebih menjaganya melalui beragam tindakan lainnya dan tetap menjalin komunikasi baik dengannya.
Hubungan emosional yang tak hanya dirawat saat seorang ibu masih hidup, terlebih meskipun sudah dipanggil oleh Sang Maha Kuasa. Senantiasa mengunjungi, merawat dan membersihkan pusaranya, mendoakan dan memohonkan ampun untuknya.
“Di negeriku, kubur seorang ibu tak hanya dikunjungi setahun sekali. Bisa seminggu sekali atau lebih. Begitulah cara anak mengabdi kepada orang tuanya”. Sehingga, dengan bejibun kesibukan dalam rutinitas hariannya sempat dan luangkan waktu untuk berkunjung padanya.
Keempat, mengharap ridha dan restunya.
Allah SWT juga mengganugerahkan ridla-Nya berdasarkan terhadap restu dari ibunya. Murka-Nya pun bisa terjadi sebab anak tak mendapatkan restu dari ibunya. Membantah dan membangkang kepada ibu, pastilah akan berakibat fatal pada kehidupannya di kemudian hari. Kesengsaraan dan kesusahan menjadi suatu keniscayaan yang akan didapatinya.
Namun, beratnya kehidupan akan dijalaninya dengan enteng dan mudah apabila mendapatkan ridha dari seorang ibu. Ungkapan buku ini “Seorang ibu adalah jimat bagi sebuah kehidupan”. Betapa banyak sebuah rintangan dan masalah tak akan pernah menyulitkannya selagi anak mendapatkan restu dari ibunya.
Pamungkas dari buku ini adalah memberikan pesan betapa pentingnya untuk mengabdi dan berbakti kepada orang tua, khususnya seorang ibu. Tak alasan berarti untuk membangkang dan menyakiti hatinya. Semoga saja kita selalu diberikan kemudahan untuk menjalaninya. []