Mubadalah.id – Pagi masih terlalu buta. Seperti umumnya para ibu atau perempuan dewasa di kampung ku, setiap ba’da subuh aku juga ikut antre atau bahkan berebut jajakan makanan dan aneka lauk di warung bi Ijem sebagai bekal untuk sarapan, makan siang atau bahkan makan sore di sawah. Ini cerita Wong Dermayu. Maklum, musim rendeng (musim penghujan) telah tiba, musim yang ditunggu-tunggu para juragan sawah, juga aku dan mayoritas lainnya yang merupakan buruh tani.
Sebagaimana hari-hari sebelumnya, hari ini aku juga ikut dalam kegiatan jaragan tandur, istilah yang kami gunakan untuk menyebut kegiatan menanam padi secara berkelompok (rombongan). Tugas dibagi oleh ketua rombongan. Ada yang bertugas ngarit, yaitu mencabut winih (benih padi yang disemai dan sudah tumbuh setinggi mata kaki orang dewasa).
Ada juga yang bertugas ngenca, yakni mengukur jarak tanam padi. Kegiatan ini dilakukan oleh dua orang yang memegang dua ujung tali yang diberi gagang kayu atau bambu seukuran tongkat orang dewasa. Sementara yang lainnya bertugas menanam padi.
Di kampungku, menanam padi biasanya dilakukan dengan membungkukkan setengah badan seperti orang rukuk dan berjalan mundur mengikuti teman yang bertugas memegang kenca. Semakin banyak anggota grup, semakin sedikit pula upah yang kami dapatkan, semakin luas sawah yang kami tanami, semakin besar pula upah yang kami terima dan tentunya semakin lama pula kami pulang.
Sistem upah yang berlaku di sini disesuaikan dengan luas petak sawah. Setiap 700 meter persegi, juragan membayar rombongan sebesar Rp1.200.000. Upah tersebut sudah dipotong ongkos mobil dan upah calo yang mencarikan pekerjaan untuk kami. Kadang aku mendapatkan 40 ribu rupiah, kadang 70 ribu rupiah. Tak seberapa memang, tapi bagiku ini harus disyukuri, Lagi pula, bukankah perempuan harus tetap berdaya dalam keadaan apapun?
Menjadi Ibu Tunggal
Setelah Kang Tarso meninggalkanku dua tahun lalu, aku sebagai ibu tunggal harus bekerja lebih giat untuk kedua anakku. Meskipun mereka sudah besar dan anak pertama sudah bekerja, memastikan mereka makan dengan layak tetap menjadi kewajibanku.
“Tur, cepat, keburu siang!” teriak Wa Si’ul, ketua rombongan. Aku pun berlari.
“Jendel (lemot) amat ya,” teriak anggota lainnya yang sudah menunggu di mobil. Aku berlari sambil menjinjing plastik belanjaanku tadi yang belum sempat kumasukkan ke kasang (tas selempang yang dibuat dari bekas kandek/karung).
“Tunggu dulu, Wa, tadi nungguin kembalian lama sekali.” kataku sambil tergopoh-gopoh saat naik ke mobil. Mobil yang kami gunakan adalah mobil kol bak yang sudah dimodifikasi dengan ditambah tempat duduk di atas bak seperti ranjang bertingkat agar muat banyak orang. Ada yang duduk di bak mobil dan ada yang duduk di atas ranjang tersebut, kemudian yang lainnya berdiri di bagian belakang sambil memegang tiang ranjang bagian belakang mobil kol.
Begitu aku duduk, Bi Sun langsung mencolekku dan mencandaiku, “Tur, durung wayahe mangan boled geseng tah? Ikah ki dudane Bi Aminah nglambruk bae” (Tur, belum saatnya makan singkong gosong? Boled geseng atau singkong gosong adalah bahasa kiasan menamai alat vital laki-laki yang artinya berhubungan intim, dalam hal ini menikah. itu di sana ada ki duda, bekas suaminya Bi Aminah, belum punya pasangan). Teriak Bi Sun di iringi tawa saat mobil kami melintasi depan rumah Alm. Bi Aminah.
Jaragan Tandur
“Atembutemen gah! (gak tau ah !) kalau warisannya kaya wa Kaji Catim, aku mau, sawahnya luas, pekarangannya luas, gak apa-apa ngurusin kakek-kakek juga” candaku.
“ya gak apa apa, boled geseng nya sudah keriput juga ya, itung-itung kekili hahahahaha! (memasukkan bulu ayam atau benda apapun ke lubang telinga untuk menggaruknya karena gatal) timpal bi Jariah sambil tertawa lepas. aku dan yang lainnya pun kembali terbahak.
Masih sepagi ini, kami begitu ceria seolah bermacam-macam masalah yang ada tertinggal semua di rumah masing-masing. Di sepanjang perjalanan sampai di tengah sawah sekalipun, apa yang kami lihat menjadi puluhan bahkan mungkin ratusan tema pembicaraan yang selalu silih berganti. Apalagi bahasan yang berbau cabul seperti yang Bi Sun lontarkan tadi. Semuanya pasti komentar dan kami akhiri tawa yang menggelegar.
Jaragan tandur atau pekerjaan buruh tani yang lainya, meskipun melelahkan, selalu menjadi momen yang menguntungkan untukku. Di antara rasa kehilanganku sepeninggal kang Tarso dan gempuran ekonomi untuk menghidupi kedua buah cintaku dan kang Tarso, tawa dan canda mereka menjadi hiburan tersendiri bagiku.
***
Ketika itu belum musim panen, kami menyebutnya mratak untuk menamai tanaman padi yang sudah keluar bunga padinya. Cerita Wong Dermayu, para juragan sawah semakin gelisah, setelah hama wereng, sekarang sawah mereka terserang hama tikus, dalam satu malam 80% tanaman padi dalam satu petak rusak akibat ulah hama tersebut.
Sudah berbagai macam cara yang mereka lakukan; menggunakan racun tikus, perangkap tikus manual, tembakan api, bahkan mereka begadang ronda setiap malam memburu tikus-tikus sampai ke lobang-lobangnya. Meskipun sudah berkarung-karung tertangkap tapi tetap masih ada saja yang kecolongan..
Walaupun tidak memiliki sawah, kami yang buruh juga ikut terdampak ancaman, kalau juragan sawahnya gagal panen, kami juga ikut gagal memanen rezeki dari sawah mereka. dipikir-pikir, pantas saja koruptor dilambangkan dengan tikus, kecerdasan dan kerakusan yang dimiliki hewan pengerat tersebut memang cukup mewakili.
Matahari baru saja pulang meninggalkan rasa hangat, kebul pawon (tungku masak terbentuk dari susunan batu bata) yang meninggalkan jelaga di seluruh atap rumah semakin membuatku gerah. Setelah selesai mengulek sambal terasi kesukaan kang Tarso, aku pun keluar menemui kang Tarso yang menanyakan senter.
“Nok, mana senter kakang?” tanya kang Tarso.
Alat Setrum Tikus
Usia kami memang sudah tidak muda lagi. Tapi begitulah kang Tarso,meskipun jarang berbicara, ia selalu memanggilku dengan panggilan nok yang umumnya memang kami gunakan untuk anak kecil atau pasangan muda. dengan panggilan itu aku merasakan kelembutan hati dan rasa cintanya padaku masih tetap sama seperti dulu.
“sedang di cas kang. Kang, kalau masih kurang enak badan lebih baik di rumah saja, gak usah ngobor walang (cari belalang di malam hari) pintaku”
“malam ini kakang tidak cari belalang nok, tadi wa kaji Soleh memintaku menemaninya untuk mencoba alat baru pengusir tikus yang baru saja di pasang”
“kenapa gak ditolak aja kang, sampean kan masih belum sehat” jawabku menahan.
“gak enak nok, kemarin kan kakang sudah bon untuk beli sepatunya Wulan” jawab kang Tarso sambil siap-siap dengan memasang senter di kepalanya.
“ya, ya kang, alat yang dimaksud setrum listrik bukan kang? soalnya kemarin waktu aku cari sayuran di warung orang-orang lagi pada ngobrolin alat itu”
“ya nok, memang lagi jadi perbincangan, desa sebelah juga sudah banyak yang menggunakan. Katanya memang ampuh, padinya utuh dan banyak tikus yang kena, emang praktis nok, ya sudah ya nok, kakang pergi dulu gak enak kalau wa kaji Soleh nunggu lama. setelah bersalaman kang Tarso pergi dengan sepedanya”
***
Aku sangat bersyukur mempunyai suami seperti kang Tarso. Meskipun keadaan ekonomi kami pas-pasan, bahkan mungkin kurang, aku merasa bahagia. Kehidupan rumah tangga kami selama 20 tahun ini adem ayem. Kang Tarso bekerja sebagai pawongan (buruh tani tetap pada satu majikan/juragan) pada Wa Kaji Soleh.
Segala pekerjaan yang berkaitan dengan pertanian ia kerjakan, mulai dari menraktor sawah, gegaleng (merapikan pembatas tepi atau jalan setapak di tengah sawah), menebar pupuk, hingga derep (memanen padi dengan sistem catu, di mana setiap kelipatan 6 kilogram berarti Kang Tarso mendapatkan 1 kilogram padi) kalau dibutuhkan kadang aku pun ikut bekerja menanam padi, menyiangi sawah dan membantu kang Tarso memanen padi wa Kaji Soleh.
Upah sebagai pawongan, jika bekerja sampai sore, adalah 140 ribu rupiah berikut rokok dan kadang sarapan atau gorengan pengganjal perut. Kalau bekerja setengah hari, kang Tarso mendapatkan upah 100 ribu rupiah. Sebetulnya, masalah upah antara pawongan dan buruh biasa sama saja. Hanya saja, pawongan biasanya boleh kasbon terlebih dahulu.
Dan tentunya, karena Wa Kaji adalah majikan yang baik, setiap Lebaran Idul Fitri, Kang Tarso selalu mendapatkan THR berupa kaos dan makanan. Beruntung, majikan Kang Tarso adalah orang yang baik dan rajin beribadah, jadi selain mendapatkan keuntungan secara ekonomi kang Tarso juga mendapatkan bimbingan secara spiritual. Meskipun sejak kecil Kang Tarso tidak pernah belajar mengaji, berkat menjadi pawongan Wa Kaji Soleh, ia mulai belajar mengerjakan salat tepat waktu.
Nama adalah Doa
Saat malam tiba, kadang kang Tarso ngolong walang (mencari belalang) dengan alat sederhana seperti caduk dan senter di pekarangan atau di tengah hutan dekat kampung kami. Satu botol air minum 600 ml biasanya kami jual seharga 25-30 ribu rupiah.
Di kampung kami, belalang kami olah dengan cara digoreng kemudian kami makan sebagai lauk. Kalau musim penghujan tiba, Kang Tarso kadang mencari rebung di tengah hutan untuk kami jual sebagai sayuran. Kadang juga ia nyetrum iwak (mengambil ikan dengan cara disetrum).
Pagi harinya, aku bertugas menawarkan hasil tangkapan Kang Tarso keliling kampung, dan biasanya barang dagangan kami selalu habis terjual. Keuletan Kang Tarso dalam bekerja dan ketulusannya dalam menyayangi kami membuatku merasa sangat beruntung memilikinya sebagai suami.
Berkat kerja kerasnya, meskipun kami hanya buruh tani, anak-anak kami dapat bersekolah. Anak pertama kami, Siti Barokah, kini sudah kelas XII di Madrasah Aliyah. Ia adalah gadis yang cerdas dan rajin, selalu menjadi kebanggaan kami. Anak kedua kami, Rizki Wulan Barokah, baru masuk Tsanawiyah. Ia juga tak kalah rajin dan selalu menunjukkan semangat belajar yang tinggi.
Nama anak-anak kami Wa Kaji Soleh yang mmeberikannya. Katanya, nama harus mengandung harapan dan doa. Oleh karena itu, Siti dan Wulan dinamai dengan harapan agar rezeki keluarga kami selalu barokah. Kami menerima nama itu dengan senang hati, karena kami percaya bahwa nama adalah doa, dan doa adalah harapan yang selalu kami pegang erat.
***
Malam sudah larut, aku terbangun mendengar teriakan keras menggedor-gedor pintu rumahku.
“Bi Turini…!
Bi Turini…!”
Aku bergegas keluar dan mendapati seorang tetangga terengah-engah di depan rumah.
“Kenapa, Mang? Ada apa?” tanyaku, panik.
“Ayo ikut!” Tanganku langsung ditarik, dan tanpa penjelasan lebih lanjut, aku diminta bonceng sepeda motornya.
Aku tidak tahu apa yang terjadi, tetapi firasat buruk menyelimuti hatiku. “Mang, kenapa Kang Tarso, Mang?” tanyaku sambil mengguncang-guncang pundak Mang Dakul.
“Nanti saja, Bi. Ayo, kita ke sana,” jawabnya, suaranya tegang dan tergesa-gesa.
Dengan hati yang penuh kecemasan, aku langsung menangis. Motor Mang Dakul membelah gelapnya malam, menyusuri jalan kecil di tepi sungai di tengah hamparan luasnya sawah. Dari kejauhan, terlihat kerumunan orang dengan cahaya senter yang berkelip-kelip. Aku menjerit dan menangis, semakin kuat. “Mang, ada apa, Mang? Mang Dakul, ada apa dengan Kang Tarso?”
Separuh Jiwaku Pergi
Sesampainya di tempat itu, badanku lemas, gemetar, mataku berkunang-kunang. Dua sosok terbaring di tengah jalan.
“Itu istrinya datang!” seru seseorang.
“Mang Tarso dan Wa Kaji Soleh kesetrum!!!” cletuk beberapa orang.
“Kasihan Mang Tarso,” sahut yang lain.
“Wa Kaji Soleh tadi magrib masih jamaah di masjid,” kata yang lain lagi.
“Umur itu nggak bisa ditebak ya. Tadi aku ketemu Mang Tarso beli kopi dan lotion anti nyamuk di warung, sekarang sudah meninggal.”
“Keluarga Wa Kaji Soleh sudah dikasih tahu belum?”
Berbagai pertanyaan dan jawaban kudengar dengan jelas. Namun suara-suara itu semakin lama semakin jauh… jauh… dan menjauh.
“Nok, Kang Tarso pamit mau pulang bertemu emak dan bapak. jaga keluarga kita, Titip Siti dan Wulan ya. Bilang sama Siti, keinginannya untuk jadi TKI di Hong Kong urungkan saja. Susah senang lebih baik kumpul bersama keluarga. Dan untuk Wulan, dia kan selalu ngomong, ‘Pak, kenapa hanya kita yang rumahnya jelek? Yang lain pada bagus-bagus, rumahnya gedong. Kalau Yayu Siti ke Hong Kong, kan rumah kita juga nanti bakal jadi bagus.’ Katakan padanya, belajar yang pintar, jadi orang baik, dan jangan tinggalkan sholat. Jangan ikut-ikutan pengen ke luar negeri juga, kata wa kaji Soleh sebaik-baiknya mencari rezeki, adalah mencari di negeri sendiri. Maafkan Kakang yang belum bisa menjadi suami dan bapak yang dapat memenuhi semua keinginan anak-anak.” Kang Tarso menyalami dan mencium keningku.
“Bi Turini pingsan!” seru seseorang.
Suara-suara itu semakin ramai. Namun terdengar semakin menjauh hingga semuanya gelap dan separuh jiwaku pun ikut pergi bersamanya. []