Mubadalah.id – Salah satu godaan saat berselancar di mesin pencari jurnal akademik adalah ketika menemukan judul yang memancing rasa penasaran. Begitulah saya akhirnya sampai pada artikel ini, judulnya menggelitik: “Dads Who Do Diapers.”
Entah apa kata kunci yang saya gunakan waktu itu (kemungkinan besar “maternal gatekeeping” atau “mother involvement’, tapi yang jelas, saya langsung berhenti dan keasyikan membaca isinya, membelokkan saya pada tujuan awal pencarian.
Catatan ini mengingatkan saya ketika anak-anak masih kecil, jelang tidur saya masih di depan laptop menyelesaikan tugas-tugas kuliah, anak-anak mulai mapan sama bapaknya, jam mendongeng pun mulai:
“Pada suatu hari, ada kancil nok…” cerita belum selesai sudah dilanjutkan oleh anaknya, saya nguping si bapak cuma mengoreksi cerita yang anak-anak lanjutkan sampai tertidur entah sudah sampai mana. Lalu satu-persatu mereka kabur dari tempat tidur dan kembali nyamperin emboke. Begitu saja kebiasaannya, akhirnya emboke menutup laptop. Niatnya nidurin anak saja, praktiknya biasanya bablas sampai pagi.
Sebagai orang tua yang pernah merawat dua anak sejak bayi di luar negeri, saya dan suami memang terbiasa berbagi peran. Kami belajar bersama dari hari ke hari, mulai dari googling cara memandikan bayi baru lahir, bertanya pada orang tua dan teman, hingga menonton video mengganti popok.
Namun, membaca artikel Dad’s Who Do Diapers ini memberi saya sudut pandang baru. Bagaimana keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak terbentuk oleh banyak faktor yang lebih dalam dari sekadar “membantu istri”.
Dulu, mengganti popok, memandikan anak, atau mendandani balita hampir selalu kita anggap sebagai tugas ibu. Tapi kini, kita mulai melihat pemandangan berbeda, ayah yang menyuapi anak, mengganti popok, bahkan bergantian berjaga malam ketika anak rewel, terutama pada bulan-bulan awal pasca kelahiran anak.
Pertanyaannya, siapa sebenarnya para “ayah baru” ini? Apa yang membuat mereka tergerak untuk ambil bagian dalam pekerjaan yang dulu kita anggap “bukan tugas laki-laki”?
Faktor Ayah Terlibat dalam Pengasuhan
Sebuah studi dari Amerika Serikat oleh Akiko Yoshida mencoba menjawab pertanyaan ini. Ia menganalisis data dari 613 ayah yang menikah atau tinggal bersama pasangan dan memiliki anak di bawah usia lima tahun. Hasilnya? Ternyata ada banyak faktor yang membuat seorang ayah terlibat dalam perawatan fisik anak secara harian, bukan cuma sesekali.
Pertama, ayah yang dibesarkan oleh ayah kandungnya sendiri cenderung lebih terlibat dalam merawat anak. Mungkin karena mereka punya panutan langsung yakni sosok ayah yang hadir dan peduli sejak kecil. Artinya, pengalaman masa kecil turut membentuk cara laki-laki memandang dan menjalani peran mereka sebagai orang tua.
Kedua, tingkat pendidikan juga berpengaruh. Ayah yang lebih berpendidikan cenderung lebih egaliter dalam membagi peran domestik. Mereka tidak merasa “terancam” ketika harus mengganti popok atau memandikan anak, suatu aktivitas yang secara kultural sering dilekatkan pada perempuan.
Ketiga, studi ini menunjukkan bahwa ayah akan lebih aktif dalam pengasuhan jika pasangan mereka bekerja, apalagi bila bekerja penuh waktu. Dalam situasi ini, peran tradisional sebagai satu-satunya pencari nafkah menjadi kurang relevan, dan ayah pun perlu ambil bagian dalam tugas rumah tangga termasuk mengurus anak.
Dari penelitian ini juga menemukan bahwa ayah dari keluarga yang menerima bantuan sosial juga ditemukan lebih aktif dalam merawat anak. Ini bisa jadi karena mereka membentuk identitas baru sebagai “pengasuh” saat peran sebagai pencari nafkah tidak lagi dominan. Dalam kondisi ini, pengasuhan justru menjadi sumber harga diri dan peran sosial yang berarti bagi mereka.
Fakta unik lainnya adalah bahwa ayah lebih aktif merawat anak laki-laki dibanding anak perempuan. Sedangkan dalam hal bermain, tidak ada perbedaan signifikan. Peneliti menduga hal ini bisa berkaitan dengan norma budaya atau rasa canggung ayah terhadap anak perempuan, terutama dalam perawatan fisik seperti mandi dan ganti pakaian.
Peran Ayah dalam Keluarga
Secara umum, sekitar 80% ayah dalam studi ini bermain dengan anak setiap hari, tapi hanya sekitar 50% yang rutin melakukan perawatan fisik seperti mengganti popok dan memandikan. Ini menunjukkan bahwa bermain, meskipun penting bukan ukuran tunggal keterlibatan ayah dalam pengasuhan harian.
Padahal, kehadiran ayah dalam perawatan fisik anak terbukti membawa banyak manfaat. Ia mempererat hubungan ayah-anak, memperkuat keharmonisan dengan pasangan, dan mendukung kesetaraan gender di rumah. Bahkan, ayah yang terlibat aktif cenderung lebih bahagia secara psikologis.
Hal menarik lain dari penelitian ini adalah penggunaan laporan langsung dari para ayah, bukan sekadar berdasarkan pandangan ibu atau pihak ketiga. Ini penting, karena ayah juga punya suara dan perspektif sendiri yang layak kita hargai dalam diskusi tentang pengasuhan.
Peran ayah dalam keluarga memang sedang bergeser. Ayah masa kini bukan hanya pencari nafkah, tapi juga sahabat, perawat, dan mitra setara dalam pengasuhan. Mereka mungkin belum sempurna, tapi langkah-langkah kecil seperti mengganti popok atau menemani anak tidur adalah bagian dari transformasi besar menjadi orang tua yang lebih hadir dan setara.
Apa yang dapat saya refleksikan dari tulisan ini adalah, mengajak kita untuk membuka ruang lebih luas bagi cerita dan pengalaman para ayah. Bukan sekadar untuk memuji keterlibatan mereka, tapi untuk mengakui bahwa pengasuhan adalah kerja kolektif yang bisa dan harus terbagi.
Semoga makin banyak ayah yang tak segan menggulung lengan baju, bukan hanya untuk bekerja di luar rumah, tapi juga untuk mengganti popok dan menemani tumbuh kembang anak-anaknya setiap hari. []