Seharusnya, seorang perempuan tidak menghadapi hal itu sendirian dan laki-laki atau suami harus menemani istrinya selama proses tersebut. Dukungan dan bantuan bukan hanya pada hari sang bayi dilahirkan tapi juga setelah bayi dilahirkan.
Mubadalah.Id– Dalam Islam, anak tanggung jawab siapa? Beberapa waktu lalu, aku menyaksikan kakak iparku melahirkan setelah kurang lebih sembilan bulan hamil menantikan buah hatinya. Ada tas bayi dan tas keperluan melahirkan yang telah disiapkan sejak kehamilannya memasuki usia 7 bulan.
Selain itu, sejak mengetahui bahwa ASI (Air Susu Ibu) adalah yang terbaik bagi bayi, dia juga menyiapkan mental dan menguatkan niatnya untuk kembali memberikan ASI pada anak keduanya nanti. Sampai di sini, aku melihat betapa persiapan ‘menyambut anak’ adalah tugas perempuan dan minim perlibatan laki-laki.
Minimnya perlibatan laki-laki dari proses hamil dan melahirkan ini diperkuat dengan kebijakan pemerintah terkait cuti melahirkan. Sampai dengan saat ini, Indonesia merupakan salah satu negara yang tidak memberikan cuti melahirkan bagi laki-laki.
Sementara itu, beberapa negara maju sudah menerapkan cuti melahirkan bagi laki-laki di antaranya adalah Swedia, Finlandia, dan Norwegia. Di Indonesia sendiri, cuti tersebut hanya diberikan kepada perempuan. Kebijakan terkait hal tersebut tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor: 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil (PNS), yang ditandatangani oleh Presiden Jokowi pada 30 Maret 2017.
Melahirkan dianggap sebagai tugas perempuan dan tidak banyak membutuhkan laki-laki. Jika pun ada tugas laki-laki, maka hal tersebut sebatas pada tugas pemenuhan yang bersifat materi dan bukan non-materi. Non-materi seperti persiapan fisik dan mental sang ibu, serta yang lain, menjadi tanggung jawab perempuan sendiri. Inilah perbedaan tugas dan kewajiban berdasarkan nature dan nurture.
Artinya, Perempuan dan laki-laki mendapatkan tugas dan kewajiban berbeda berdasarkan perbedaan fisiknya. Cara pandang inilah yang memunculkan seperangkat kebijakan pemerintah seperti yang ada saat ini. Melahirkan dianggap semata berkaitan dengan fisik dan dianggap sebagai wilayah perempuan.
Dalam al-Qurán disebutkan bahwa keseluruhan proses hamil sebagai sesuatu yang berat (wahnan ala wahnin). Seharusnya, seorang perempuan tidak menghadapi hal itu sendirian dan laki-laki atau suami harus menemani istrinya selama proses tersebut.
Dukungan dan bantuan bukan hanya pada hari sang bayi dilahirkan tapi juga setelah bayi dilahirkan. Kelahiran seorang bayi merupakan proses berat dan sang ibu membutuhkan adaptasi pada awal-awal kehadirannya. Merawat dan menjaganya bersama akan memudahkan seorang perempuan dalam menghadapi hal tersebut.
Perbedaan fisik tidak seharusnya membatasi tugas dan kewajiban seseorang terhadap keluarga. Kelahiran seorang anak harus dipersiapkan, disambut dan dirayakan oleh kedua orang tua.
Kembali pada peran pemerintah, pemerintah harus dapat menghadirkan laki-laki dalam keluarga melalui pemberian cuti melahirkan. Hal ini bukan semata karena mengikuti beberapa negara maju yang sudah lebih dahulu melakukannya tapi karena kesadaran akan pentingnya kehadiran laki-laki, suami dan ayah dalam keluarga untuk mendukung dan membantu keluarga.
Selain itu, ini juga dapat menjadi bukti keseriusan pemerintah dalam memperhatikan persoalan bangsa yang dimulai dari pemberian perhatian pada kebutuhan mendasar setiap individunya.
Demikian penjelasan terkait dalam Islam, anak tanggung jawab siapa? (Baca juga: Apakah Walimah Hanya Sekadar Pesta?).