Mubadalah.id – Sejak Islam didakwahkan banyak sekali tindakan-tindakan revolusioner dan radikal yang merubah tatanan sosial di tengah masyarakat, khususnya masyarakat Kota Makkah yang semula gelap menuju kepada kondisi yang terang benderang. Tidak terkecuali mitos perempuan tentang akal dan pemahaman agamanya.
Hal ini tentu tidak serta merta diterima oleh masyarakat Makkah. Tentu banyak kontradiksi dan penolakan, karena pembaharuan-pembaharuan risalah kenabian yang didakwahkan dianggap sebagai sesuatu yang baru, asing, melanggar norma yang selama ini berlaku.
Untuk menyebut beberapa, seperti perbudakan, menganggap perempuan sebagai the others, sebagai liyan, sebagai setengah manusia ketika memberikan kesaksian, sebagai yang kurang agamanya karena tidak melaksanakan ibadah ketika haid, dan banyak lagi yang lain.
Kemudian, semua hal negatif dan mengakar tersebut perlahan sirna, digantikan dengan kondisi yang begitu damai dan manusiawi. Derajat perempuan-perempuan di masa itu diangkat dengan langkah-langkah yang tidak pernah terduga oleh umat di jaman itu. Sayyidah Khadijah tetap berperan mendukung dakwah Rasulullah Saw., padalah tentunya di jaman itu asing sekali saling dukung-mendukung antar pasangan. Yang ada peran perempuan terbatas sekali ruang geraknya.
Selain itu, Sayyidah Aisyah menjadi periwayat hadis terbanyak karena terus menerus membersamai Rasul Muhammad Saw. dan tentunya merekam dengan baik hadis-hadis yang disampaikannya dalam bentuk perkataan, perbuatan, dan ketetapan.
Meski masih sangat kental sekali diskriminasi terhadap perempuan untuk mendapatkan ruang yang setara dengan laki-laki dalam ranah pendidikan di jaman itu, meskipun hal itu dapat dibantah dan Sayyidah Aisyah dapat menjadi salah satu role model perempuan cerdas dan trengginas.
Perempuan tidak dianggap cakap dan berpengetahuan bukan karena kapasitas atau memori otaknya berbeda dengan laki-laki. Tetapi karena perempuan tidak diberi ruang yang setara dengan laki-laki yang bebas mengepakkan sayapnya terbang kemanapun ia pergi. Karena itulah perempuan dikenal sebagai manusia yang naqish aqluha (kurang akal) kemudian disusul lagi dengan kurang agamanya.
Bahkan doktrin ini amat melekat sampai abad ke-21. Doktrin tersebut masih saja kuat dan dipercaya. Bahkan sering sekali diulang-ulang meski dengan kalimat dan konotasi yang berbeda, tetapi maksud dan tujuannya masih tetap sama, merujuk pada ‘kurang akal dan agamanya.’
Katakan saja seperti perempuan disebut sering mengalami mood swing daripada laki-laki. Konotasi ini merujuk pada kondisi perempuan yang kurang akal, alias kurang logis, yang dominan adalah perasaannya ketimbang akalnya. Sementara laki-laki disebut sebagai individu yang dominan akalnya, tidak disebut sebagai individu yang mengalami mood swing, kontras sekali denga napa-apa yang disematkan kepada perempuan.
Memang, perempuan akan mengalami perubahan hormon ketika mendekati masa-masa menstruasi, ketika menstruasi, atau bahkan ketika menstruasi selesai. Perubahan hormone pada tubuh perempuan tentunya ,mempengaruhi kondisi perempuan yang menstruasi. Dan, pengaruh tersebut bisa berbentuk nyeri menstruasi atau mood swing.
Mengutip alodokter.com nyeri ketika menstruasi terjadi karena ada peningkatan produksi hormon prostaglandin sementara mood swing disebabkan oleh hormon estrogen yang tidak stabil. Hal tersebut lumrah terjadi, terkait mood swing dan nyeri menstruasi tidak semua perempuan mengalaminya lho.
Iseng-iseng penulis pernah melakukan survey kecil-kecilan kepada kaum laki-laki. Apakah pernah mengalami mood swing juga sekalipun laki-laki tidak mengalami menstruasi? Dan hasil survey kecil-kecilan menunjukkan laki-laki juga kerap kali mengalami mood swing, perasaan yang ‘ga jelas’ pokoknya ga enak untuk melakukan apapun. Kurang lebih sama seperti apa yang dialami oleh perempuan.
Dari hasil survey kecil-kecilan ini, mood swing atau ketika perasaan yang sedang mendominasi sementara logika sedang tidak berperan lebih, artinya tidak hanya berlaku pada perempuan. Tetapi juga pada laki-laki. Jika survey iseng tersebut dilanjutkan dengan lebih serius, bisa jadi ada hasil yang lebih ril dan atau secara jelas menentukan bahwa mood swing yang sering disebut sebagai kondisi khas perempuan juga terjadi pada laki-laki.
Pertanyaannya sekarang adalah “Mengapa sulit sekali mengikis doktrin bahwa perempuan kurang akal dan agamanya? Dari mana doktrin tersebut datang, atau nash mana yang menyatakan hal demikian?
Padahal, sejak awal Islam didakwahkan tidak pernah sedikitpun disebutkan bahwa perempuan itu kurang akal dan agamanya. Memang, ada hadis yang menyebutkan perempuan kurang akal karena kesaksiannya seorang perempuan dianggap setengah, dan kurang agama karena tidak melaksanakan ibadah akibat konsekuensi kepatuhan untuk meninggalkan ibadah ketika haid. Padahal meninggalkan ibadah ketika haid adalah rukhsah, malah salah dan menyalahi syariat jika sedang menstruasi tetap melaksanakan salat.
Konteks atau kondisi ketika hadis tersebut disampaikan adalah ketika Nabi Saw. sedang bersenda gurau dengan sahabat-sahabat perempuan karena pada saat itu sedang merayakan Idulfitri atau Iduladha. Jadi, Konteksanya jika diterjemahkan ulang hari ini, kurang lebih seperti ini
“Yaa, sebelum aku (Nabi Saw.) diutus para perempuan dianggap kurang akal dan kurang agama ya? Hal tersebut karena kesaksian seorang perempuan dianggap sebagi setengah kesaksian dan mengalami menstruasi sehingga tidak melaksanakan ibadah, sabar ya bestie, aku salut lho dengan perempuan-perempuan yang tangguh dan dapat mengalahkan laki-laki meski terus didiskriminasi.”
Begitu kira-kira jika diilustrasikan.
Malah, hadis tersebut menurut Syeh Ramadhan al-Buthy Nabi Saw. bertujuan sedang bersenda gurau atau memuji perempuan, karena sudah tangguh bertahan hingga sampai risalah kenabian didakwahkan dan keadaan menjadi lebih baik. Bukan sebaliknya, menyatakan bahwa perempuan kurang akal dan agamanya.
Hadis tersebut bukan berupa hukum atau kemudian menjadi norma yang harus disetujui bahwa perempuan adalah kurang akal dan agama oleh umatnya, melainkan hadis tersebut adalah cara nabi berkomunikasi dan bersenda gurau bersama para sahabat perempuan. Seperti ilustrasi di atas, saling bersenda gurau mengingat masa-masa kelam perempuan sebelum Nabi Saw. diutus.
Kemudian, dari mana doktrin perempuan kurang akal dan agamanya berasal? Usut punya usut ternyata statement tersebut ditemukan dalam Kitab Midrash, yaitu kitab tafsirnya Kitab taurat yang merupakan pedoman untuk kaum Yahudi. Kitab Midrash ini dianggap sebagai kitab yang penting bagi agama Yahudi dan isinya dianggap ajaran suci.
Dalam Midras disebutkan bahwa “secara substansi penciptaan perempuan dan laki-laki itu dibedakan. Laki-laki diciptakan dengan kognitif intelektual (cognition–by-intellect) sementara perempuan diciptakan dengan kognitif insting (cognition–by-instinct).”
Penjelasannya kurang lebih seperti yang sekarang sering diucapkan dan diulang-ulang bahwa laki-laki memiliki sembilan akal dan satu nafsu sementara perempuan memiliki satu akal dan Sembilan nafsu. Meski setiap umat memiliki perbedaan metode yang berbeda-beda dalam menafsirkan kitab pedomannya, juga tidak mudah memahami apa-apa yang tersurat dalam kitab suci masing-masing umat.
Bagi kalangan masyarakat kisah-kisah yang tersurat memiliki di dalam kitab suci ada yang memahaminya sebagai mitos atau ada juga yang memahaminya sebagai fakta dan kenyataan, bahkan doktrin dalam sebuah agama.
Jika sampai hari ini mitos tersebut masih berlaku dan dianggap doktrin agama, apa gunanya al-Quran diturunkan sebagai pelengkap kitab-kitab terdahulu? Banyak kandungan di dalam al-Quran yang merevisi kitab-kitab terdahulu termasuk posisi antara perempuan dan laki-laki.
Jika sampai hari ini kita masih mempercayai mitos perempuan sebagai kurang akal dan agama, artinya kita lebih dekat dengan ajaran-ajaran sebelum Islam dibanding ajaran Islam yang begitu positif memposisikan perempuan.
Apa yang harus dilakukan sebagai umat Islam sekarang? Kita harus moving forward. Move on bestie! Jangan berlarut-larut di masa lalu. Berjalan menuju kenyataan yang benar-benar nyata bahwa perempuan memiliki akal yang utuh dan sebagai penganut Islam yang utuh pula. selain itu, mulailah merevisi mitos-mitos perempuan yang negatif dan beredar, serta diyakini di masyarakat. Kemudian lebih dekat dengan al-Quran sebagai kitab penyempurna kitab terdahulu. Dan yang terakhir harus mulai berlaku adil sejak dalam pikiran. []