Mubadalah.id – Beberapa waktu belakangan, tren “10 ribu di tangan istri yang tepat” merebak di berbagai platform media sosial, terutama Tiktok. Sekilas, tren ini nampak memperlihatkan kekreatifan para perempuan dalam mengelola keuangan. Akan tetapi, lama-lama terasa seperti boomerang bagi perempuan itu sendiri.
Awal Mula Kemunculan
Tren ini bermula dari akun Tiktok dengan username @ha1nina yang sering membagikan resep-resep masakan untuk keluarga dengan budget tidak sampai 10 ribu rupiah. Konten tersebut menuai beragam komentar dari warganet.
Ada yang menyanjung, ada juga yang sampai memiliki pemikiran bahwa kehidupan setelah menikah itu menakutkan. Pemikiran ini wajar saja muncul setelah melihat konten tersebut, karena siapa yang tidak takut kehidupannya berubah drastis setelah menikah.
Jika kita melihat dari kacamata yang realistis, di tengah kondisi perekonomian masa kini –dimana harga-harga pokok melambung tinggi, mustahil rasanya bisa mencukupi kebutuhan pokok keluarga hanya dengan uang 10 ribu.
Memupuk Subur Patriarki
Sejak dahulu kala, patriarki sudah menjadi musuh abadi bagi seluruh perempuan. Patriarki mengatur dan mengekang hidup perempuan, bahkan saat sebelum lahir. Untuk menghapusnya pun membutuhkan waktu yang sangat lama.
Tren yang toxic ini turut menyuburkan patriarki. Hal ini karena melabeli perempuan layak disebut istri yang tepat atau tidak dengan nominal uang. Jika seorang perempuan yang menjadi istri tidak bisa mengolah uang 10 ribu, maka ia akan dicap istri yang tidak tepat.
Akan tetapi, tidak pernah ada pembahasan yang serupa untuk laki-laki.
Rasanya tidak adil menilai seorang perempuan dengan nominal uang –karena sejatinya tidak boleh ada ukuran yang bersifat materialistik untuk perempuan.
Meromantisasi Kemiskinan Struktural
Sebetulnya, tren ini juga membuka mata kita bahwa banyak masyarakat di Indonesia yang belum merdeka secara finansial. Harga bahan pokok yang melambung tinggi namun tidak beriringan dengan tingkat penyerapan tenaga kerja dan lapangan kerja.
Namun di lain sisi, kebijakan pemerintah yang tidak menyentuh seluruh lapisan masyarakatlah yang membuat kemiskinan struktural sulit terhapuskan. Penyebabnya ialah tidak lain dan tidak bukan adalah birokrasi yang serampangan –membuat kebijakan lahir asal-asalan.
Tren “10 ribu ditangan istri yang tepat” menjadi alarm bahaya bagi negara, terutama dalam hal perekonomian.
Akan tetapi, pencetus tren ini juga terasa meromantisasi kemiskinan yang sedang ia hadapi. Padahal kemiskinan itu bukan sesuatu yang romantis dan menyenangkan.
Si pembuat ini seakan tidak sadar bahwa konten-kontennya tersebut mendapatkan ribuan views –yang artinya ribuan orang dari berbagai kalangan telah melihat.
Bagaimana jika ada istri-istri orang lain yang tidak bisa belanja dengan uang 10 ribu dan berakhir mendapatkan perlakuan tidak mengenakkan dari suaminya? Apakah si pembuat tren akan bertanggung jawab.
Sudah banyak konten-konten lain yang menanggapi tren ini dan keseluruhannya mengecam tren tersebut. Karena memang tren ini toxic dan merugikan perempuan itu sendiri.
Penutup
Sebagai penutup, tren “10 ribu di tangan istri yang tepat” seharusnya menjadi refleksi, bukan glorifikasi. Fenomena ini membuka mata kita bahwa perempuan masih sering terbebani standar yang tidak adil, bahkan dalam hal ekonomi rumah tangga.
Mengelola keuangan keluarga memang penting, tetapi tidak semestinya menjadi tolak ukur kelayakan seorang istri.
Masyarakat perlu lebih kritis dalam menanggapi tren semacam ini agar tidak terus memproduksi nilai-nilai patriarki dan meromantisasi kemiskinan.
Sudah saatnya kita berfokus pada keadilan ekonomi dan kesetaraan gender, bukan pada tren yang justru mengekang perempuan.
Penting untuk membangun kesadaran kolektif untuk memahami bahwa kesejahteraan keluarga merupakan tanggung jawab bersama, bukan hanya beban salah satu pihak.
Perempuan berhak memperoleh dukungan, akses terhadap pendidikan finansial, serta kesempatan ekonomi yang setara dengan laki-laki.
Dengan demikian, konsep “istri yang tepat” tidak lagi berasal dari seberapa hemat ia bisa mengatur uang, melainkan dari bagaimana pasangan saling menghargai, bekerja sama, dan membangun keluarga yang sehat secara emosional maupun finansial. []










































