• Login
  • Register
Senin, 19 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Aktual

Derita Berlipat Perempuan Yaman di tengah Konflik dan Pandemi

"Kami berteriak kesakitan, tapi tidak ada yang mendengar... "

Hasna Azmi Fadhilah Hasna Azmi Fadhilah
05/10/2020
in Aktual, Rekomendasi
0
177
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

“Tak ada lagi yang namanya pahlawan di Yaman, hanya ada penjahat dan sisa lainnya adalah korban,” Radhya Al Mutawakel mengeluh lirih.

Negaranya telah porak poranda. Ia sudah lama kehilangan harapan, pemerintahnya tak pernah bisa diandalkan. Rakyat pun tak berkutik, tiap hari seakan-akan hanya menunggu malaikat pencabut nyawa untuk mengambil tiket antrian kematian.

Sebagai perempuan yang bekerja sebagai penyidik pelanggaran HAM, Radhya setiap hari harus berhadapan dengan para korban beserta cerita pilu mereka yang tak berdaya. Kisah tragis mereka bagaikan menu harian yang selalu terdengar semakin mengiris hati dari waktu ke waktu.

Hal ini yang akhirnya mendorong Radhya dan suaminya, Abdulrasheed Al-Faqih menginisiasi terbentuknya Mwatana, kelompok pencari fakta yang mendokumentasikan seluruh pelanggaran kemanusiaan yang dilakukan oleh pihak-pihak tak bertanggungjawab, baik dari pihak pemerintah maupun pemberontak.

Dengan pekerjaan penuh risiko tersebut, keduanya sudah kenyang makan asam garam ‘mencicipi’ pahitnya hidup di balik dinding sel dan gertakan ancaman pembunuhan. Meski begitu, mereka tak pernah gentar untuk berjuang. Jihad kelas berat itu harus mereka lakukan dengan harapan keadilan suatu saat nanti akan ditegakkan, meski sekarang masih diliputi oleh awan tebal nan gelap tanpa secercah cahaya yang memantik jalan keluar. Konsekuensinya, mereka memilih untuk tidak memiliki anak. Keputusan tersebut bukan tanpa pertimbangan.

Baca Juga:

Memanusiakan Manusia Dengan Bersyukur dalam Pandangan Imam Fakhrur Razi

Merangkul yang Terasingkan: Memaknai GEDSI dalam terang Dialog Antar Agama

Kashmir: Tanah yang Disengketakan, Perempuan yang Dilupakan

Membuka Tabir Keadilan Semu: Seruan Islam untuk Menegakkan Keadilan

Kondisi perempuan dan anak di Yaman adalah salah satu terburuk di dunia. Tanpa konflik, negara dengan ibukota Sana’a ini sebenarnya sudah dihadapkan oleh pelayanan publik yang kacau balau, tingkat pengangguran tinggi, hingga urusan pangan yang tak pernah dijamin oleh pemerintah.

Kondisi yang sudah buruk tadi, diperparah dengan perang sipil yang meluluhlantakkan tanah para Waliyullah ini sejak tahun 2015. Bagaikan sudah jatuh tertimpa tangga, derita rakyat Yaman makin pelik saat wabah corona datang. Selain mendorong lebih banyak nyawa melayang, mereka yang masih hidup pun tak luput dari berbagai macam cobaan.

Pada pertengahan Mei, saat kasus corona pertama menyeruak di sana, anggaran yang awalnya dialokasikan untuk kesehatan reproduksi segera dialihkan untuk penanganan pandemi. Sontak pusat layanan kesehatan ibu dan anak yang berjumlah 180, mau tidak mau harus dipangkas menjadi 40 saja. Dengan penurunan drastis ini, sudah tidak terhitung lagi berapa banyak nyawa ibu dan buah hatinya yang tak dapat diselamatkan.

Seperti kisah sedih Maryam, janda korban perang dengan 4 anak perempuan yang ditinggal mati suami dalam kondisi hamil. Suatu ketika, ia mengalami pendarahan hebat. Dengan badan lemah tak berdaya, ia terpaksa pergi ke satu-satunya klinik kesehatan di distrik tempat tinggalnya. Namun, malang tak dapat ditolak, sesampainya disana ia tak lagi menemukan layanan persalinan. Naas, Mariam akhirnya meninggal dunia dalam kondisi kritis, tak terselamatkan.

Yang lebih menyedihkan, tenaga kesehatan di sana juga tak dapat berbuat apa-apa, mereka sendiri pun adalah korban. Tak ada jaminan jika dalam satu distrik terdapat satu bidan. Oleh karenanya banyak pasangan suami istri yang putus asa, “sering saya dapati laki-laki yang pulang dengan tangan hampa dan burai air mata karena di tak mendapati pelayanan kehamilan maupun bidan yang mampu menolong istrinya,” cerita salah satu perawat yang bekerja di daerah pelabuhan bernama Hudaydah.

Di Yaman, jangankan untuk mengoperasikan layanan kesehatan, pasokan kebutuhan dasar seperti air saja sangatlah terbatas. Dampaknya, warga Yaman banyak yang tewas mengenaskan, selain karena korban perang, juga akibat kebutuhan dasar yang tak terpenuhi seperti makan minum minimal tiga kali sehari. Mati kelaparan sudah dianggap hal yang biasa, termasuk korbannya adalah anak-anak yang tidak dapat dipenuhi kebutuhan gizi standar oleh ayah ibunya.

Konsekuensinya, sebelum corona mengintai, Yaman sudah terlebih dulu kolaps karena wabah kolera yang menyebabkan ribuan nyawa melayang. Kini, dengan munculnya pandemi baru corona, PBB memperingatkan bahwa Yaman akan semakin terpuruk di titik terendahnya. Terlebih bila pihak-pihak berperang tetap bersikukuh melanjutkan konflik berkepanjangan yang telah memakan waktu lima tahun lebih itu.

Sayang beribu sayang, di tengah krisis kemanusiaan berkepanjangan di sana, seluruh pihak yang terlibat meyakini bahwa mereka tidak punya beban moral apalagi kemauan untuk bertanggungjawab. Radhya menyebut istilahnya sebagai impunitas, “para pelaku peperangan itu meyakini bahwa mereka tidak akan dipidana.”

Sembari menarik napas panjang, ia dan suami tetap bertekad meneruskan perjuangan. Ia juga berharap akan ada lebih banyak pihak yang mendengarkan kisah-kisah tragis mereka dan mewartakannya. Tujuannya jelas: meminta dukungan dunia untuk mendorong kelompok elit di sana agar segera duduk bersama dan bersepakat menyudahi peperangan. Sambil menerawang jauh dan menunggu itu terjadi, ia kembali mengabarkan dengan nada sedih pada dunia, “kami berteriak kesakitan, tapi tidak ada yang mendengar.” []

Tags: kemanusiaanPandemi Covid-19PerdamaianYaman
Hasna Azmi Fadhilah

Hasna Azmi Fadhilah

Belajar dan mengajar tentang politik dan isu-isu perempuan

Terkait Posts

Nyai Nur Channah

Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah

19 Mei 2025
Rieke Kebangkitan Ulama Perempuan

Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

19 Mei 2025
Mendokumentasikan Peran Ulama Perempuan

KUPI Dorong Masyarakat Dokumentasikan dan Narasikan Peran Ulama Perempuan di Akar Rumput

19 Mei 2025
Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

Alasan KUPI Jadikan Mei sebagai Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

19 Mei 2025
Mei sebagai Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan

KUPI Resmi Deklarasikan Mei sebagai Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

18 Mei 2025
Nyai A’izzah Amin Sholeh

Nyai A’izzah Amin Sholeh dan Tafsir Perempuan dalam Gerakan Sosial Islami

18 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Kekerasan Seksual Sedarah

    Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • KUPI Resmi Deklarasikan Mei sebagai Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Alasan KUPI Jadikan Mei sebagai Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Stop Inspirational Porn kepada Disabilitas!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah
  • Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia
  • Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama
  • KUPI Dorong Masyarakat Dokumentasikan dan Narasikan Peran Ulama Perempuan di Akar Rumput
  • Memanusiakan Manusia Dengan Bersyukur dalam Pandangan Imam Fakhrur Razi

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version