Mubadalah.id – Beberapa waktu yang lalu, tepatnya pada 20 September 2025 saya mengikuti sebuah talkshow dan pelatihan dialog lintas iman. Kegiatan ini merupakan program dari pusat studi dan pengembangan perdamaian Universitas Kristen Duta Wacana. Tema dalam talkshow ini adalah “Tantangan Sosial dan Strategi Membangun Dialog dalam Interaksi Lintas Agama”
Kesadaran bahwa Indonesia merupakan rumah bersama bagi keberagaman agama, budaya, bahasa, dan tradisi menjadi gagasan utama acara ini. Keanekaragaman ini adalah anugerah, namun juga menghadirkan tantangan nyata dalam menjaga kerukunan. Data mencatat adanya peningkatan kasus intoleransi dan pelanggaran kebebasan beragama dalam dua tahun terakhir.
Dalam dialog ini ada dua narasumber yang membantu peserta dalam mengikuti kegiatan ini. Kedua narasumber ini adalah Vania Sharleen Setyono, M.Si., Teol, dan Dr. Martinus Joko Lelono, Pr., M. Hum. Dalam artikel ini, saya akan membagikan pengalaman saya dalam mengikuti dialog lintas iman ini.
Dinamika Toleransi dan Intoleransi yang Terjadi
Pada sesi pertama, Ibu Vania membawakan topik tentang dinamika intoleransi dan tantangan sosial dalam interaksi lintas agama di Indonesia. Salah satu keprihatinan yang terjadi akhir-akhir ini adalah banyaknya kasus intoleransi yang terjadi. Ini bukanlah fenomena yang bisa, tetapi fenomena yang cukup memprihatinkan.
Intoleransi sendiri bisa terjadi dalam berbagai bentuk, misalnya penolakan terhadap rumah ibadah, diskriminasi dalam layanan publik, dan Ujaran kebencian di media sosial. Polarisasi politik, mis-informasi, dan pemahaman agama yang eksklusif seringkali memperparah fenomena yang terjadi. Hal ini juga terjadi karena tidak adanya dialog yang mendukung.
Namun, ada juga contoh-contoh positif, misalnya kota Salatiga yang meraih indeks toleransi tertinggi tahun 2024. Hal ini menjadi bukti bahwa kerukunan bisa dijaga dengan komitmen kolektif. Selain itu, hal ini menujukkan bahwa dialog antar agama masih sangat terjaga dalam kehidupan bersama.
Dua fenomena ini menjadi hal yang selalu berkesinambungan. Toleransi terjadi karena adanya kesadaran untuk saling menghargai, melindungi, dan menguatkan. Sedangkan intoleransi terjadi karena tidak adanya dialog yang memadai untuk menjembatani perbedaan yang ada.
Peran Media Sosial dalam Membangun Dialog Lintas Iman
Untuk sesi kedua ini, Rm. Joko membawakan topik yang tidak kalah menarik. Beliau membawakan topik “Perspektif Teoritik tentang Peran Media Sosial dalammembangunrelasi lintas Iman”. Memang menjadi sesuatu yang cukup menarik bahwa media sosial menjadi salah satu platform yang mendukung terciptanya dialog lintas iman atau malah melanggengkan intoleransi. Kedua hal ini menjadi resiko dari penggunaan media sosial yang semakin berkembang.
Media sosial telah mengubah cara manusia berkomunikasi. Dengan jangkauan luas dan akses yang mudah, ia menjadi ruang dialog lintas budaya dan lintas iman. Di Indonesia, media sosial bukan hanya saluran informasi, tetapi juga arena tempat nilai, identitas, dan keyakinan dinegosiasikan. Namun, media sosial juga bisa menjadi ladang intoleransi.
Menarik bahwa Rm. Joko memperlihatkan dua hal penting dalam media sosial, yaitu echo chamber dan epistemic bubble. Echo chamber adalah situasi ketika seseorang hanya berinteraksi dengan orang-orang yang sepemikiran. Sedangkan epistemic bubble kondisi ketika seseorang secara tidak sadar hanya menerima informasi dari satu lingkaran sumber.
Dalam konteks lintas iman, echo chamber memperkuat stereotip negatif antaragama. Hal ini akan mempersulit terciptanya dialog iman karena masing-masing menganggap yang lain adalah ancaman. Sedangkan epistemic bubble membuat seseorang tidak mengenal wajah agama lain secara otentik.
Media sosial adalah ruang yang tak bisa dihindari dalam kehidupan lintas iman. Ini bisa menjadi jebakan dalam penyampaian informasi, tetapi juga bisa menjadi jembatan dialog lintas iman. Media sosial harus sungguh menjadi arena atau tempat untuk menyebarkan benih-benih toleransi dan bukan sebaliknya.
Bergandengan Tangan dalam Menciptakan Toleransi
Pada akhirnya, menciptakan dialog lintas iman bukan hanya soal memahami perbedaan, melainkan juga keberanian untuk bergandengan tangan merawat keberagaman sebagai rahmat. Prinsip saling kesetaraan mengingatkan bahwa toleransi sejati tidak berhenti pada sikap “saling membiarkan,” tetapi harus sungguh terwujud dalam kesalingan yang aktif. Hal tersebut bisa dengan saling mendukung, saling melindungi, dan saling menguatkan.
Dalam situasi kasus intoleransi dan ujaran kebencian yang semakin marak di media sosial, bergandengan tangan menjadi sesuatu yang sangat penting. Bergandengan tangan berarti berani melawan arus narasi eksklusif dengan menghadirkan cerita damai dan solidaritas dialog lintas iman.
Generasi muda memiliki peran penting dalam hal ini. Dengan kreativitas digital, mereka dapat menciptakan ruang baru untuk perjumpaan, membangun jejaring solidaritas, dan membangun dialog yang mengangkat martabat setiap manusia. Ini memang bukan perkara yang mudah, namun ketika saling bekerja sama, maka hal ini tidak mustahil untuk terwujud.
Sebagai kesimpulan, saya mengutip kata-kata dari Rm. Joko dalam seminar ini. Kata-katanya demikian
“Tidak usah mendramatiskan keadaan. Setiap generasi punya medan perjuangan dan pahlawannya masing-masing. Tahun 90 an ada Rm. Mangun dan Gus Dur. Saat ini kita juga punya pahlwannya, yaitu saya dan kalian”.
Jadi, mari kita bergandengan tangan menjadi pahlawan untuk menciptakan ruang dialog lintas iman dalam situasi yang tidak mudah ini. []