• Login
  • Register
Jumat, 20 Juni 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Difabel dan Kekerasan Seksual: Luka yang Sering Tak Dianggap

Menuliskan dan mengangkat cerita korban difabel bukan sekadar "berita hangat", tetapi bentuk keberpihakan pada mereka yang sering tak terdengar.

arinarahmatika arinarahmatika
20/06/2025
in Publik
0
Kekerasan Seksual

Kekerasan Seksual

958
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Bayangkan jika kamu adalah seorang anak perempuan. Kamu tidak bisa mendengar. Kamu tidak bisa berbicara. Dunia berputar tanpa suara bagimu, dan kamu belajar memahami orang lain lewat bahasa tubuh, tatapan, atau gerak bibir. Tapi suatu hari, seseorang yang seharusnya menjagamu, justru melukaimu.

Bukan hanya secara fisik, tapi juga secara batin. Kamu mencoba memberi tahu orang-orang lewat isyarat yang kamu bisa. Tapi mereka bilang kamu salah. Mereka bilang kamu pasti salah paham. Atau lebih menyakitkan lagi, mereka tidak mempercayaimu. Inilah kenyataan yang dihadapi oleh banyak penyandang disabilitas ketika menjadi korban kekerasan seksual. Tidak terlihat, tidak dianggap, dan seringkali tidak dipercaya.

Antara Tidak Bisa Bicara dan Tidak Didengarkan

Kekerasan seksual bisa terjadi pada siapa pun, baik laki-laki maupun perempuan, tua atau muda, kaya atau miskin. Tapi bagi penyandang disabilitas, terutama perempuan dan anak-anak, kerentanan itu menjadi berlipat ganda.

Banyak penelitian dan laporan organisasi hak asasi manusia, termasuk UN Women dan Human Rights Watch, menunjukkan bahwa penyandang disabilitas memiliki risiko lebih tinggi mengalami kekerasan seksual dibandingkan non-difabel. Bahkan dalam beberapa kasus, risiko itu bisa mencapai 2 hingga 4 kali lebih besar.

Kenapa bisa begitu? Karena banyak penyandang disabilitas mengalami keterbatasan komunikasi, keterbatasan fisik, atau ketergantungan terhadap orang lain. Kondisi ini menjadikan difabel sebagai sasaran empuk bagi pelaku kekerasan.

Baca Juga:

Dr. Nur Rofiah Tegaskan Pentingnya Mengubah Cara Pandang untuk Hentikan Kekerasan Seksual pada Anak

Sebuah Refleksi atas Kekerasan Seksual di Pesantren Disabilitas

Ketika Rumah Tak Lagi Aman, Rumah KitaB Gelar Webinar Serukan Stop Kekerasan Seksual Anak di Lingkup Keluarga

Realita Disabilitas dalam Dunia Kerja

Terlebih, banyak masyarakat masih menganggap bahwa difabel tidak memahami seksualitas, atau bahkan tidak punya hasrat seksual, sehingga menganggap kasus kekerasan seksual terhadap difabel sebagai hal yang “aneh”, tidak mungkin, atau tidak penting.

Salah satu tantangan besar dalam kasus kekerasan seksual terhadap difabel adalah soal komunikasi. Banyak korban difabel tidak bisa menyampaikan apa yang mereka alami dengan bahasa yang kita mengerti. Mereka butuh metode komunikasi alternatif seperti bahasa isyarat, simbol, atau pendamping khusus. Tapi sayangnya, sistem hukum dan sosial kita belum sepenuhnya siap.

Dalam banyak proses hukum, penyidik belum terlatih untuk berkomunikasi dengan korban disabilitas. Misalnya, di ruang persidangan, tidak selalu ada juru bahasa isyarat. Dalam proses visum atau pemeriksaan medis, petugas kesehatan belum tentu memahami kondisi korban. Akhirnya, suara korban sering kali tenggelam, bukan karena mereka tidak mau bicara, tapi karena mereka tidak diberi ruang untuk didengar.

Ketika Tempat Aman Jadi Sumber Luka

Apa yang kamu pikirkan tentang sekolah atau pondok pesantren? Sebuah tempat belajar, bermain, dan tumbuh bersama teman-teman, bukan?

Tapi bagi sebagian anak difabel, sekolah atau pondok pesantren justru menjadi tempat munculnya trauma. Beberapa kasus kekerasan seksual terhadap penyandang disabilitas justru terjadi di institusi pendidikan. Ironisnya, pelakunya bukan orang asing, tapi ustadz, kyai, guru, wali kelas, atau staf sekolah.

Dalam sebuah kasus yang tengah bergulir di Pengadilan Negeri Makassar, seorang guru Sekolah Luar Biasa (SLB) diduga melakukan kekerasan seksual terhadap siswi disabilitas tuli. Korban mengalami luka fisik di tangannya, dan mengalami trauma berat hingga akhirnya memutuskan pindah sekolah. Sidangnya masih berlangsung, tapi prosesnya memunculkan banyak pertanyaan.

Yang paling menyedihkan, banyak saksi justru membela pelaku. Mereka adalah rekan-rekan guru di sekolah yang sama. Mereka bersaksi bahwa pelaku “tidak mungkin” melakukan kekerasan, karena “selalu bersama” saat di sekolah. Bahkan ketika hakim meragukan kesaksian tersebut, mereka tetap bersikukuh membela pelaku. Padahal, korban memiliki tiga lapisan kerentanan, yaitu perempuan, masih anak-anak, dan memiliki disabilitas.

Kasus kekerasan seksual terhadap difabel sering kali berakhir bukan di pengadilan, tetapi di ruang mediasi. Banyak pelaku atau institusi yang mencoba menyelesaikan secara kekeluargaan dengan keluarga korban. Bahkan terkadang, disertai tekanan moral, bujuk rayu, atau bahkan ancaman.

Tapi kita perlu ingat, kekerasan seksual bukan soal konflik pribadi yang bisa terselesaikan lewat permintaan maaf. Ini soal pelanggaran terhadap tubuh dan martabat manusia. Jalan damai sering kali hanya menguntungkan pelaku, dan membuat korban merasa tidak berharga.

Yang lebih mengkhawatirkan, praktik “damai” ini bisa jadi preseden buruk. Pelaku merasa aman karena tidak dihukum. Korban merasa gagal karena tidak didukung. Dan Masyarakat bisa jadi makin apatis, menganggap kekerasan seksual sebagai hal yang sepele.

Difabel Berhak Atas Tubuh dan Suara

Dalam semua situasi ini, ada satu hal yang harus kita ingat, bahwa difabel punya hak atas tubuhnya. Difabel punya hak untuk mengatakan “tidak”. Difabel punya hak untuk bicara, didengar, dan diproses secara adil dalam sistem hukum.

Kita perlu mendorong sistem hukum yang lebih inklusif, dengan menyediakan juru bahasa isyarat di setiap proses hukum, melatih aparat penegak hukum untuk menangani kasus dengan perspektif difabel, dan melibatkan organisasi difabel dalam penyusunan kebijakan.

Selain itu, kita juga perlu mengubah cara pandang masyarakat. Masih banyak orang yang memandang difabel sebagai “anak-anak selamanya” yang tidak bisa memahami persoalan seksual. Atau sebaliknya, memandang difabel sebagai beban, sehingga ketika terjadi kekerasan, dianggap bukan prioritas.

Meski realitasnya berat, kita tidak boleh menyerah. Semakin banyak organisasi masyarakat sipil, lembaga bantuan hukum, dan aktivis disabilitas yang bekerja tanpa lelah mendampingi para korban. Koalisi seperti Koalisi Bantuan Hukum Inklusif (KBRN), LBH, dan komunitas difabel mulai bersuara lebih nyaring.

Media juga punya peran penting. Menuliskan dan mengangkat cerita korban difabel bukan sekadar “berita hangat”, tetapi bentuk keberpihakan pada mereka yang sering tak terdengar. Dan kita, sebagai Masyarakat juga punya peran untuk percaya pada korban. Jangan menyalahkan mereka. Dukung mereka. Dan jika bisa, bantu menyuarakan kasus-kasus yang selama ini tenggelam.

Kekerasan seksual terhadap difabel bukan cerita baru. Tapi setiap kali terjadi, ia tetap menyisakan luka yang dalam. Korban kehilangan rasa aman. Dunia yang sudah sulit karena disabilitas, menjadi lebih gelap karena trauma yang tak sembarang orang mengerti.

Karena tubuh difabel adalah tubuh manusia. Karena suara difabel adalah suara yang sah. Dan karena keadilan harus berlaku untuk semua, tanpa kecuali. []

Tags: Hak DisabilitasKekerasan seksualPenyandang DisabilitasRuang AmanRuang Inklusi
arinarahmatika

arinarahmatika

Terkait Posts

Ekoteologi Kemenag

Menakar Ekoteologi Kemenag Sebagai Kritik Antroposentrisme

20 Juni 2025
Revisi Sejarah

Ibnu Khaldun sebagai Kritik atas Revisi Sejarah dan Pengingkaran Perempuan

19 Juni 2025
Greta Thunberg

Nelayan Perempuan Madleen, Greta Thunberg, dan Misi Kemanusiaan Palestina

18 Juni 2025
SIS Malaysia

Berproses Bersama SIS Malaysia

18 Juni 2025
Penulisan Ulang Sejarah Indonesia

Dari Indonesia-sentris, Tone Positif, hingga Bisentris Histori dalam Penulisan Ulang Sejarah Indonesia

18 Juni 2025
Raja Ampat

Surga Raja Ampat dan Ancaman Pertambangan Nikel

18 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Pasangan Hidupnya

    Jangan Rampas Hak Perempuan Memilih Pasangan Hidupnya

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tastefully Yours : Membongkar Konstruksi Sosial dari Dapur

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Perkawinan Bukan Perbudakan: Hak Kemandirian Perempuan dalam Rumah Tangga

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Lelaki Patriarki : Bukan Tidak Bisa tapi Engga Mau!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ibnu Khaldun sebagai Kritik atas Revisi Sejarah dan Pengingkaran Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Membangun Rumah Tangga yang Berdimensi Akhlak Mulia
  • Berumah Tangga adalah Seni Kehidupan
  • Menakar Ekoteologi Kemenag Sebagai Kritik Antroposentrisme
  • Pernikahan adalah Pilihan, Bukan Paksaan
  • Difabel dan Kekerasan Seksual: Luka yang Sering Tak Dianggap

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID