Mubadalah.id – Sepekan lalu, saya bersama kelompok perempuan saya, Selisik Diri menggalang donasi pembalut dan popok untuk penyintas bencana Sumatra dan Aceh. Niat kami sederhana: memastikan kebutuhan dasar yang sering luput agar tetap tersedia. Namun alih-alih dukungan, komentar nyinyir justru datang. “Donasi kok pembalut? Donasi itu makanan! Bisa menstruasi tapi nggak bisa hidup, buat apa?”
Komentar “donasi kok pembalut, yang penting makanan” adalah contoh false dilemma atau dikotomi palsu. Seolah dalam situasi bencana hanya ada satu kebutuhan yang sah, yaitu makanan, sementara kebutuhan lain harus disingkirkan.
Logika ini keliru karena kebutuhan dasar manusia tidak tunggal. Penyintas perempuan tetap menstruasi, dan menstruasi tanpa pembalut berisiko infeksi, luka, dan masalah kesehatan serius yang justru bisa mengancam kelangsungan hidup. Menghadapkan makanan dan pembalut sebagai pilihan yang saling meniadakan adalah cara berpikir sempit yang mengabaikan realitas tubuh perempuan.
Selain itu, komentar tersebut juga memuat straw man fallacy, karena memelintir niat donasi seolah-olah memperjuangkan pembalut berarti tidak peduli pada makanan atau keselamatan hidup.
Ini diperparah oleh argument from privilege. Pandangan yang lahir dari tubuh yang tidak pernah menstruasi dan pengalaman yang tidak pernah berada di posisi perempuan penyintas bencana. Alih-alih rasional, argumen itu justru menunjukkan bias dan minim empati. Ini menjadi bukti mengapa isu kesehatan reproduksi masih sering diremehkan, bahkan oleh mereka yang berpendidikan.
Kalimat-kalimat ini bukan sekadar pendapat pribadi, tapi potret cara berpikir yang masih menganggap tubuh perempuan sebagai tubuh yang bisa menunggu, menahan, dan menyesuaikan diri dengan situasi apa pun.
Seolah-olah menstruasi adalah urusan sepele, bisa tertunda demi bertahan hidup, atau bahkan tidak layak kita perjuangkan dalam kerja kemanusiaan. Padahal justru di situlah letak masalahnya, masih belum selesai memahami apa itu hidup yang layak bagi perempuan.
Menstruasi Bukan Sesuatu yang Bisa Ditahan
Masih banyak orang memandang menstruasi seperti buang air kecil. Bisa kita tahan, bisa kita atur, bisa nanti saja. Cara berpikir ini keliru dan berbahaya. Menstruasi bukan respon sesaat tubuh, melainkan proses biologis alami ketika lapisan dinding rahim luruh karena tidak terjadi pembuahan. Proses ini berlangsung selama beberapa hari, terjadi secara rutin, dan tidak bisa terhenti atas kehendak seseorang.
Darah menstruasi yang keluar terus-menerus membutuhkan penanganan yang layak. Tanpa pembalut, perempuan berisiko mengalami infeksi, iritasi, hingga gangguan kesehatan jangka panjang pada organ reproduksi.
Dalam situasi normal saja, menstruasi bisa beserta nyeri, lemas, perubahan emosi, dan rasa tidak nyaman. Bayangkan jika itu terjadi di pengungsian, dengan air bersih terbatas, privasi nyaris tidak ada, dan kondisi psikologis yang sudah tertekan akibat bencana.
Menyuruh perempuan bertahan dulu tanpa pembalut sama saja dengan memaksa perempuan mengorbankan tubuhnya. Inilah mengapa komentar yang meremehkan pembalut sesungguhnya adalah bentuk kekerasan simbolik yang nyata.
Menstruasi Bukan Hal yang Hina
Islam dengan tegas menempatkan menstruasi sebagai kondisi biologis yang manusiawi, bukan aib dan bukan kehinaan. Nabi Muhammad SAW bahkan menormalisasi kedekatan dan penghormatan terhadap perempuan yang sedang haid.
Aisyah r.a. meriwayatkan, “Aku minum ketika aku sedang haid, lalu Rasulullah mengambil bejana itu dan minum pada tempat yang sama dariku” (HR. Muslim, Kitab al-Haidh, no. 300). Dalam riwayat lain, Aisyah r.a. berkata, “Rasulullah bersandar di pangkuanku ketika aku sedang haid, lalu beliau membaca Al-Qur’an” (HR. Muslim, Kitab al-Haidh, no. 301).
Hadis-hadis ini menegaskan bahwa haid tidak menjadikan perempuan kotor secara sosial maupun kemanusiaan, dan tidak pernah menjadi alasan untuk menjauhkan, merendahkan, atau mengabaikan kebutuhannya.
Lebih jauh, ketika Aisyah r.a. bersedih karena mengalami haid saat melaksanakan haji, Rasulullah SAW menenangkan beliau dengan berkata, “Sesungguhnya ini adalah sesuatu yang telah Allah tetapkan bagi anak-anak perempuan Adam” (HR. Bukhari, Kitab al-Haidh, no. 294; HR. Muslim, Kitab al-Hajj, no. 1211).
Menstruasi terakui sebagai ketetapan Allah atas tubuh perempuan yang harus kita hormati, bukan dinegasikan. Maka, meremehkan kebutuhan menstruasi termasuk dalam kerja kemanusiaan bukan hanya abai terhadap realitas biologis, tetapi juga bertentangan dengan teladan Rasuluulah SAW serta nilai keadilan dan kasih sayang yang diajarkan Islam itu sendiri.
Bencana Tidak Pernah Netral terhadap Tubuh
Saat bencana terjadi, ada tubuh-tubuh yang lebih rentan, lebih terdampak, dan lebih sering terlupakan. Perempuan adalah salah satunya. Perempuan memiliki pengalaman biologis yang khas yaitu menstruasi, hamil, melahirkan, nifas, dan menyusui. Selain perempuan, ada pula anak-anak, lansia, penyandang disabilitas.
Dalam situasi bencana, perempuan sering memikul beban ganda. Mengurus keluarga, memastikan anak-anak aman, sekaligus menghadapi kebutuhan tubuhnya sendiri. Ketika pembalut tidak tersedia, perempuan terpaksa memilih antara kenyamanan orang lain dan keselamatan dirinya.
Donasi pembalut dan popok bukan tambahan manja dalam bantuan kemanusiaan. Ia adalah kebutuhan dasar. Makanan memang penting, tetapi hidup tidak hanya soal mengisi perut. Tubuh yang sehat, aman, dan nyaman adalah bagian dari hak hidup itu sendiri.
Ketika masih ada yang mempertanyakan, untuk apa pembalut? Sesungguhnya yang sedang kita pertanyakan bukan barangnya, melainkan sejauh mana kita mau mengakui kemanusiaan perempuan secara utuh.
Kesehatan reproduksi belum selesai kita bicarakan, apalagi kita praktikkan. Dan selama pembalut masih dianggap tidak penting, selama itu pula kita harus terus bersuara. []











































