Prolog
Perpisahan yang menakutkan adalah ketika benar benar sudah mulai melupakan, namun kembali dipertemukan. Durroh, seorang perempuan yang menyukai musik, menyukai buku dan menyukai kesendirian. Dia sangat sadar betul, ketika memutuskan kembali ke kota ini, dia tak akan mampu menyiapkan dirinya saat takdir membawanya bertemu seseorang yang ingin dia lupakan.
Mubadalah.id – Terkadang takdir pun aneh, saat tidak ingin berpisah, perpisahan datang begitu saja. Saat tidak ingin berjumpa, manusia tak berdaya menolaknya.
“Kenapa tidak menjawab pertanyaanku?” tanya Zain, orang yang ingin Durroh lupakan.
Awalnya bagi Durroh memilih pekerjaan sebagai editor penerbitan buku yang baru berdiri ini dan jauh dari rumah Zain adalah pilihan tepat, karena kemungkinan kecil akan terjadi sebuah pertemuan. Namun, Durroh sama sekali tidak pernah menyangka kalau pemilik penerbitan ini suami Nurul, adik dari Zain.
Durroh merasa dirinya terbawa ombak dan tak mampu melawan arus. Keputusannya untuk bekerja telah membawanya bertemu orang – orang yang ingin dia lupakan, namun sesungguhnya di dalam hatinya penuh kerinduan.
“Kamu baik-baik saja kan?”
Ini aneh, pikir Durroh. Pertanyaan itu selalu diucapkan Zain saat Durroh merasa tidak sedang baik-baik saja.
“Aku baik – baik saja ka Zain. Aku gak nyangka kita bakal ketemu di sini,” katanya mencoba berpura-pura. Zain terlihat tersenyum, wajahnya yang menawan tak menampakkan dirinya sudah berusia 34 tahun.
“Jadi, kapan Nurul menikah? Aku sampai tidak tahu kalau Adnan adalah suami Nurul,” kata Durroh.
“Ehm… sudah lama, sekitar tiga tahun yang lalu.”
“Fauzan juga sudah menikah?”
Zain mengangguk. “Iya, baru beberapa bulan yang lalu.”
Durroh mengangkat wajahnya, memandangi Zain dan menanyakan hal yang sama, yang sangat ingin dia ketahui.
“Kalau Kak Zain, sudah berapa lama menikah?” Durroh berpikir, jika Nurul dan Fauzan sudah menikah, maka Zain sebagai kakak pertama pasti juga sudah menikah.
Zain menatap mata Durroh dan mendekatkan wajahnya. “Aku belum menikah.” Jawaban yang mengejutkan bagi Durroh.
Tidak, tidak mungkin dia belum menikah. Durroh tertawa dengan tawa yang dipaksakan, “bercanda ya kak?” Zain menggeleng. “Jika memang kak Zain belum menikah, pasti sudah punya tunangan atau orang yang dicintai.”
Zain menarik nafas, “Sayangnya aku tidak punya waktu untuk berpacaran juga aku belum punya tunangan. Tapi memang, aku sudah mencintai seseorang.” Durroh mengangguk. Oh, jadi dia sudah mencintai seseorang. Bisik hari Durroh.
“Durroh sudah menikah?” Zain balik tanya.
“Kak Zain lupa? aku sudah pernah bilang, kalau aku tidak akan menikah.”
“Aku tidak pernah melupakan kalimatmu itu. Orang bisa berubah, tidak ingin menikah bukan berarti kamu tidak bisa mencintai seseorang kan? Apa ada orang yang kamu cintai?
“Aku mencintai semua orang, hanya satu orang yang tidak bisa kucintai, dan kak Zain tahu siapa orang itu.”
“Aku sedang berbicara makna cinta yang berbeda.”
“Apa yang berbeda? Ada berapa banyak makna tentang cinta?” Durroh berpura pura tidak memahami pertanyaan Zain.
Pelayan kafe membawakan pesanan mereka dan menaruhnya di atas meja.
“Terima kasih,” kata Durroh. Dia meminum jus tomat yang penuh dengan buih di permukaannya. Beberapa saat mereka diam, namun Durroh merasa Zain memandanginya, dia sedikit tidak nyaman.
“Apa kabar Ibu Umi?” ujarnya, mengalihkan.
“Beliau sehat dan masih merindukanmu,” Zain berhenti sejenak, “sepulang kerja, mampirlah!”
Durroh menghela nafasnya, dia juga merasa sangat merindukan Ibu Umi. Dulu, Ibu Umi adalah orang yang selalu ada untuknya di saat orang lain tidak ada.
“Pasti ibu bahagia bisa bertemu denganmu,” lanjut Zain.
“Sampaikan salamku untuk beliau. Salam takdzim dan rindu,” kata Durroh.
“Kau tidak merindukanku?” Zain kembali membuat Durroh tidak nyaman.
“Kalau boleh jujur, aku tidak ingin bertemu denganmu kak, apakah orang yang tidak ingin bertemu bisa dikatakan rindu?”
“Bisa, maknai saja pertemuan ini karena kita saling merindukan, maka Allah mempertemukan.”
“Ada berapa banyak makna tentang rindu? Aku baru tahu, kalau rindu bermakna takdir untuk bertemu.”
Zain kembali tersenyum dan menatap Durroh yang kembali merasa tidak nyaman. Zain yang menyadari itu segera mengambil cangkir kopinya dan meminumnya sedikit. Zain tampak mengambil gawainya, terlihat dia mengetik sebuah pesan dan mengirimkannya. Durroh yang juga asik melihat gawainya tak menyadari bahwa Zain diam – diam mengambil gambarnya.
“Sudah lama di jogja?” Zain kembali membuka obrolannya. Durroh melihat jam tangannya, dia merasa jam istirahat berjalan begitu lambat. Dia ingin segera kembali ke kantor dan menjauh dari Zain, tapi dia tak memiliki alasan untuk pergi dari kafe ini, kecuali jam istirahat sudah berakhir.
“Sudah tiga bulan,” jawabnya singkat.
“Sekarang tinggal di mana?”
“Sebuah desa kecil yang jauh dari keramaian.”
“Tinggal bersama siapa?”
“Mbok Yam,” jawabnya singkat. Durroh yakin Zain masih mengingat nama itu, Mbok Yam adalah orang yang mengasuh Durroh sejak kecil.
“Kenapa gak pulang ke rumah ayahmu saja.”
Durroh menelan ludah mendengar pertanyaan ini, Ia menggerakkan bola matanya seolah mencari sesuatu tapi ia sendiri tak tahu mencari apa? nafasnya seolah menahan amarah, menahan tangis dan menahan kesedihan.
“Maaf, lupakan saja pertanyaanku itu,” kata Zain tampak menyadari perasaan Durroh. “Di mana pun kamu tinggal, semua akan baik-baik saja. Jadi, tenanglah!”
Kalimat ajaib, aku kembali mendengar kalimat ajaib ini secara langsung, pikir Durroh. Tak lama mendengar kalimat dari Zain, Durroh sudah merasa tenang dan merasa lebih baik. Mereka kembali terdiam, masing masing sibuk dengan gawainya.
“Aku harus kembali ke kantor, jam istirahatku sudah hampir selesai,” kata Durroh, Zain menengok jam tangannya dan mengangguk.
Durroh berdiri dan bergegas meninggalkan Zain, namun Zain menghentikannya.
“Tunggu, beri tahu aku jika kamu ingin mengunjungi ibuku.”
“Kontrak kerjaku hanya enam bulan, pekerjaanku cukup banyak, ada enam naskah tebal yang harus aku edit. Jika selesai semua, aku sudah punya rencana untuk pergi ke Bandung. Semoga sebelum itu, aku bisa berkunjung ke rumahmu.” Durroh mengatakan rencana yang tidak pernah direncanakan, rencana yang muncul sesaat setelah bertemu dengan Zain.
“Kenapa tidak punya rencana untuk melanjutkan kontrak kerjamu di sini saja? Aku yakin Adnan tidak keberatan dan Nurul pasti bahagia. Bukankah Kau tahu, sejak kecil Nurul sangat mengagumimu,”
Karena di sini ada kamu kak, kamu akan selalu muncul di depanku, perhatianmu membuatku merasa lemah, dan akan semakin lemah karena kau sudah mencintai seseorang, akan semakin lemah ketika aku melihatmu bersanding dengan orang lain. Teriak hati Durroh.
“Andai bisa aku di sini, pasti aku memilih untuk di sini,” jawab Durroh.
“Sepertinya kamu menghindariku.” Zain menyadari sikap Durroh.
“Aku tidak akan membiarkan kehadiranku ini membuatmu tidak nyaman. Bekerjalah dengan kebahagiaan, aku tidak akan muncul di hadapanmu tanpa izinmu.”
“Bukan seperti itu kak,” Durroh merasa tidak enak.
“Tapi aku mohon, ketika kau mulai mencintai seseorang dan merasa bahagia dengan orang itu kemudian memutuskan untuk menikah, beri tahu aku.”
Durroh tersenyum sembari menghela nafasnya, “sudah kukatakan, aku tidak akan menikah.”
“Durroh, sangat mudah bagi Allah untuk menciptakan cinta dalam dirimu dan merubah keputusanmu.”
“Ya, orang bisa dengan mudah jatuh cinta, begitu pun orang juga bisa dengan mudah membenci yang dicintainya. Orang bisa dengan mudah memberi kebahagiaan, begitu pun orang juga bisa dengan mudah menorehkan penderitaan.”
Zain menarik nafas, “bukan itu yang kumaksud,” ujarnya.
“Ada apa denganmu kak? Sejak dulu sampai sekarang kau melakukan banyak hal untukku.”
“Aku hanya ingin memastikan kamu bahagia,” kata Zain dengan suara lembut.
“Aku bahagia atau tidak, itu hidupku. Sudah cukup kau mencampuri kehidupanku.”
“Bertahun-tahun kau menghilang Durroh, dan sekarang kau di depanku, perasaan itu masih sama. Aku tidak bisa menahannya.”
“Perasaan apa maksudmu?”
Oh tidak, kenapa aku harus menanyakan perasaannya. Jangan, jangan jawab pertanyaanku itu. Tolong kak Zain, abaikan pertanyaanku itu. Aku tidak akan mampu mendengarnya. Aku akan semakin lemah. Durroh begitu gelisah.
Zain menarik nafas dan menghelanya dengan cepat. “Aku tidak perlu menjawabnya, karena kuyakin kau sudah tahu jawabannya.” Kembali Zain memberikan senyumannya.
Durroh menatap Zain yang masih berdiri di hadapannya. Entah kenapa genangan air mata yang tertampung di pelupuk matanya terjatuh begitu saja. Zain melihat air mata itu dan berjalan mendekatinya. Durroh melangkah mundur, namun kakinya mengenai kursi. Zain mengangkat tangannya dan meletakkan telapaknya di atas kepala Durroh yang tertutup jilbab coklat.
Durroh mengelak, namun tangan Zain terlalu kuat untuk mencegahnya. Durroh mengingat sesuatu, Zain selalu melakukan hal ini, setiap dirinya menangis di depan Zain. Durroh tahu betul kalimat yang akan diucapkan Zain.
“Tidak apa – apa, menangislah tapi jangan menangis sendirian dan izinkan aku membuatmu tersenyum bahagia.”
Tidak kak, jangan pernah ulangi kalimatmu. Itu akan membuatku semakin lemah. Durroh memejamkan matanya beberapa detik, kemudian membukanya dan membalas tatapan Zain yang masih menatapnya. (bersambung)
Wonocatur, 08 Maret 2021