• Login
  • Register
Sabtu, 5 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Ekofasisme dan Korona

Tia Isti'anah Tia Isti'anah
18/04/2020
in Publik
0
ekofasisme, corona
104
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Korona menyebabkan beberapa kota melakukan pembatasan sosial. Kota-kota itu lalu menjadi sepi karena banyak orang yang memilih terus berada di rumah. Beberapa wacana kemudian tersebar karena hal tersebut. Salah satunya adalah bahwa Korona menyelematkan bumi, karena dengannya bumi bisa bernafas kembali. Global warming menurun. Binatang-binatang bisa berkeliaran ke tempat-tempat yang tidak biasa bagi mereka.

Dalam wacana ekologi, saya kira contoh wacana di atas bisa dikategorikan sebagai ecofacism (ekofasisme) yaitu sebuah teori yang menjadikan ekologi sebagai satu-satunya tolak ukur kemajuan tanpa memperhatikan masalah kemanusiaan sebagai konteksnya. Padahal banyak orang mati, banyak pekerja yang dirumahkan, banyak pedagang kecil yang tidak tau bagaimana besok harus hidup.

Wacana terkait ekofasisme muncul sudah cukup lama, Thomas Robert Malthus menulis dengan begitu fasis di bukunya The Essay of the Principle of Population. Ia menyatakan bahwa masyarakat ideal yang dicita-citakan Godwin (seorang tokoh yang membicarakan terkait masyarakat ideal) tidak akan terwujud karena populasi penduduk akan meningkat seperti deret ukur (geometric ratio) yaitu 1,2,4,8,16 dan seterusnya sementara pertumbuhan sumberdaya pangan meningkat seperti deret hitung (arithmetic ratio) yaitu 1,2,3,4,5 dan seterusnya.

Nah menurut Malthus, karena populasi tidak akan terkendali dan ketersediaan pangan tidak akan cukup, maka perlu penghambat pertumbuhan populasi. Dengan apa? Dua hal, yaitu positive checks (peningkatan angka kematian) dengan wabah penyakit, bencana kelaparan, dan sebagainya serta preventive checks (pengurangan angka kelahiran) dengan penggunaan alat kontrasepsi, penundaan usia perkawinan dan lain-lain.

Teori Ekofasisme Malthus tersebut kemudian diimplementasikan pada banyak kebijakan terkait populasi saat ini. Masalahnya, siapa yang akan menjadi korban atau target dari kebijakan itu? Tentu saja masyarakat miskin, dan rentan yang tidak memiliki privilege. Kaum marjinal dianggap sebagai “virus” karena mereka membuat overpopulasi dan akhirnya mereka dianggap tidak layak memiliki anak.

Baca Juga:

Ironi: Aktivis Lingkungan Dicap Wahabi Lingkungan Sementara Kerusakan Lingkungan Merajalela

Wahabi Lingkungan, Kontroversi yang Mengubah Wajah Perlindungan Alam di Indonesia?

Film 17 Surat Cinta Membuka Mata Indonesia Tentang Deforestasi

Pakar dan Aktivis Lingkungan Jaringan Ulama Perempuan: Soal Tambang, KUPI Harus Menaikkan Level Politisnya

Padahal tentu saja kita sama-sama mengetahui bahwa Indonesia memiliki sumber pangan yang melimpah ruah. Akan tetapi kerakusan para pengusaha membuat sawah-sawah manusia marjinal itu harus dijual untuk pabrik. Ketika terjadi overpopulasi, yang ditekan tentu saja adalah kaum marjinal (lagi).

Korona sebagai wabah penyakit juga membuat cluster kelas semakin terlihat. Orang-orang yang cukup berprivelese bisa melakukan social-distancing dengan tenang karena gaji tetap mengalir. Sementara para pekerja yang tidak berprivilese mereka harus memutar otak bagaimana cara untuk hidup. Mereka tidak dibayar, ingin pulang kampung tidak bisa sementara pekerjaan tidak tersedia di masa pandemi.

Jadi saya kira, stop menggunakan wabah Korona sebagai sarana bersyukur bahwa bumi bernafas kembali. Sudah banyak angka kematian tercatat (kebanyakan adalah para working class). Sudah banyak juga air mata keluarga yang tumpah karena tidak tahu harus mencari uang dari mana lagi di masa pandemi ini. Apakah itu hanya angka dan cerita agar kita puas mendengarkan burung bernyanyi di pagi hari? []

Tags: aktivis lingkunganCovid-19EkofasismeGender dan Lingkungan
Tia Isti'anah

Tia Isti'anah

Tia Isti'anah, kadang membaca, menulis dan meneliti.  Saat ini menjadi asisten peneliti di DASPR dan membuat konten di Mubadalah. Tia juga mendirikan @umah_ayu, sebuah akun yang fokus pada isu gender, keberagaman dan psikologi.

Terkait Posts

Tahun Hijriyah

Tahun Baru Hijriyah: Saatnya Introspeksi dan Menata Niat

4 Juli 2025
Rumah Tak

Rumah Tak Lagi Aman? Ini 3 Cara Orang Tua Mencegah Kekerasan Seksual pada Anak

4 Juli 2025
Kritik Tambang

Pak Bahlil, Kritik Tambang Bukan Tanda Anti-Pembangunan

4 Juli 2025
Isu Iklim

Komitmen Disabilitas untuk Isu Iklim

3 Juli 2025
KB sebagai

Merencanakan Anak, Merawat Kemanusiaan: KB sebagai Tanggung Jawab Bersama

3 Juli 2025
Poligami atas

Bisnis Mentoring Poligami: Menjual Narasi Patriarkis atas Nama Agama

3 Juli 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Rumah Tak

    Rumah Tak Lagi Aman? Ini 3 Cara Orang Tua Mencegah Kekerasan Seksual pada Anak

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Belajar Inklusi dari Sekolah Tumbuh: Semua Anak Berhak Untuk Tumbuh

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pesan Pram Melalui Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tahun Baru Hijriyah: Saatnya Introspeksi dan Menata Niat

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pak Bahlil, Kritik Tambang Bukan Tanda Anti-Pembangunan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Belajar Inklusi dari Sekolah Tumbuh: Semua Anak Berhak Untuk Tumbuh
  • Tahun Baru Hijriyah: Saatnya Introspeksi dan Menata Niat
  • Pesan Pram Melalui Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer
  • Rumah Tak Lagi Aman? Ini 3 Cara Orang Tua Mencegah Kekerasan Seksual pada Anak
  • Berjalan Bersama, Menafsir Bersama: Epistemic Partnership dalam Tubuh Gerakan KUPI

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID